Wednesday, 4 January 2012

Rukun Nikah

Rukun Nikah
 
oleh : ahmad sholihin
Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengandemikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupaungkapan kata
(shighah)
. Karena dari shighah ini secara langsung akan menyebabkantimbulnya sisa rukun yang lain.
o
 
Ijab
: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
o
 
Qabul
: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.Dari shighah
ijab
dan
qabul 
, kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:
o
 
Adanya kedua mempelai (calon suami dan calon istri)
o
 
Wali
o
 
SaksiShighah akad bisa diwakilkan oleh dua orang yang telah disepakati oleh syariat, yaitu:
o
 
Kedua belah pihak adalah asli: suami dan istri
o
 
Kedua belah pihak adalah wali: wali suami dan wali istri
o
 
Kedua belah pihak adalah wakil: wakil suami dan wakil istri
o
 
Salah satu pihak asli dan pihak lain wali
o
 
Salah satu pihak asli dan pihak lain wakil
o
 
Salah satu pihak wali dan pihak lain wakil
Syarat-syarat Nikah
 Akad pernikahan memiliki syarat-syarat syar’i, yaituterdiri dari 4 syarat:
o
 
Syarat-syarat akad
o
 
Syarat-syarat sah nikah
o
 
Syarat-syarat pelaksana akad (penghulu)
o
 
Syarat-syarat luzum (keharusan)
1. Syarat-syarat Akad
a). Syarat-syarat shighah:
lafal bermakna ganda, majelis ijab qabul harus bersatu,kesepakatan kabul dengan ijab, menggunakan ucapan ringkas tanpa menggantukan ijabdengan lafal yang menunjukkan masa depan.
b). Syarat-syarat kedua orang yang berakad:
± keduanya berakal dan mumayyiz± keduanya mendengar ijab dan kabul , serta memahami maksud dari ijab dan qabuladalah untuk membangun mahligai pernikahan, karena intinya kerelaan kedua belah pihak.
c). Syarat-syarat kedua mempelai:
o
 
suami disyaratkan seorang muslimistri disyaratkan bukan wanita yang haram untuk dinikahi, seperti; ibu, anak perempuan,saudara perempuan, bibi dari bapak dan dari ibunya.
o
 
disyaratkan menikahi wanita yang telah dipastikan kewanitaannya, bukan waria.
2. Syarat-syarat Sah Nikah
a). Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suamib). Kesaksian atas pernikahan
³ keharusan adanya saksi³ waktu kesaksian, yaitu kesaksian arus ada saat pembuatan akad
 
³ Hikmah adanya kesaksianPernikahan mengandung arti penting dalam islam, karena dapat memberi kemaslahatandunia dan akhirat. Dengan demikian ia harus diumumkan dan tidak disembunyikan. Dancara untuk mengumumkannya adalah dengan menyaksikannya.³ Syarat-syarat saksi¥ berakal, baligh, dan merdeka¥ para saksi mendengar dan memahami ucapan kedua orang yang berakad¥ jumlah saksi, yatu dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Q. S. Al-Baqoroh : 282¥ Islam¥ adil
c). Lafal (Shighah) akad perkawinan bersifat kekal 
Demi keabsahan akad nikah, shighah disyaratkan untuk selamanya (kekal) dan tidak  bertempo (nikah mut’ah).
3. Syarat-syarat Pelaksana Akad (Penghulu)
Maksudnya ialah orang yang menjadi pemimpin dalam akad adalah orang yang berhak melakukannya.
a). Setiap suami istri berakal, baligh, dan merdekab).
Setiap orang yang berakad harus
memiliki sifat syar’I 
:
asli, wakil 
, atau
wali dari salah satu kedua mempelai.
4. Syarat-syarat Luzum (Keharusan)
a).
Orang yang mengawinkan
orang yang tidak memiliki kemampuan adalah orang yang
dikenal dapat memilihkan pasangan yang baik 
, seperti
keluarga atau kerabat dekat.b). Sang suami harus setara dengan istric). Mas kawin harus sebesar mas kawin yang sepatutnya atau semampunya.d). Tidak ada penipuan mengenai kemampuan sang suami.e).Calon suami harus bebas dari sifat-sifat buruk 
yang menyebabkan diperbolehkannyatuntutan perpisahan (perceraian).
Pertanyaan-pertanyaan:
1. BayuS: Kenapa wali dalam perkawinan harus laki-laki dan bukan perempuan?J: janganlah perempuan menikahkan perempuan-perempuan lain, dan jangan pulaseorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.”(H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni)2. ZainalS: a). Apa yang dimaksud ‘telah dipastikan / disahkan kewanitaannya’? b). Apa yang dimaksud ‘mas kawin sepatutnya’?J: a). Maksudnya ialah orang yang akan dijadikan istri adalah benar-benar seorangwanita, bukan waria. Cara mengetahui bahwa ia seorang wanita atau waria, yaitu dalam proses ta’aruf atau masa perkenalan, kita bisa melihat dari sikapnya, pergaulannya (dngansiapa ia bergaul), dari keluarganya, serta dari tetangga atau kerabat dekatnya. b). Sepatutnya disini mas kawin/ mahar yang diberikan dengan kesepakatan dankeridhaan kedua belah pihak. Definisi
‘sepatutnya’ 
biasanya lebih condong ke permpuan,laki-laki menyesuaikan dengan keadaan perempuan.Sedangkan
‘semampunya’ 
lebih condong ke laki-laki dalam menentukan mahar, tidak memberatkan pihak laki-laki karena sesuai kemampuan laki-laki.
 
3. KhadijahS: Dalam ijab qabul tidak disbutkan yang menikah itu sesame manusia, bagaimana kalausalah satu pihaknya jin atau syaithan?J: Kembali lagi ke tujuan menikah, kalau memang tidak tercapai maka tidak bisa.Menikah adalah ibadah dan kalau ibadah itu sbaiknya dicari yang di perintahkan, bukandicari yang dilanggar. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk menyukai sesamamanusia, bukan terhadap hal yang ghaib dan menentang syara’. Allah swt. telahmnciptakan manusia berpasang-pasangan, yaitu manusia dengan manusia yang brlainan jenisnya (laki-laki dan perempuan).4. Ibu SariS: a). Kenapa rukunnya hanya ijab dan qabul? b). Bagaimana kalau menikah tetapi wali (ayah kandung) tidak diketahui keberadaannya?J: a). Kami meringkas menjadi ijab qabul saja, karena dalam ijab qabul itu sendiri rukunlainnya sudah pasti termasuk dalam ijab qabul itu. Rukun lengkapnya yaitu: shighat (Ijabdan Qabul), kedua mempelai (calon suami dan calon istri), wali, dan saksi. b). Berusaha mencari ayah kandungnya dulu, karena yang diberi hak menikahkananaknya terutama yang perawan adalah ayah kandung. Ayah mmiliki keistimewaan dariwali yang lain. Jika memang tidak ditemukan maka walinya adalah wali jauh, ika tidak ada wali jauh maka wali hakim.5. MaulanaS: a). Bagaimana menikah dengan orang yang berbeda agama? b). Bagaimana hukumnya menikah dibawah tangan (nikah sirri)?J: a). Tidak halal perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki musyrik dan sebaliknyadan uga ahli kitab. Lihat Q.S. Al-mumtahanah: 10 dan Q.S. Al-Baqarah: 22. b). Menikah dibawah tangan sah hukumnya menurut agama, tetapi tidak tercatat di KUA.Hendaknya dalam pernikahan dipakai konsep
halalan toyyiban.
Menikah jenis inimemang baik dan sah menurut rukun dan syaratnya, tapi konsekuensi dari pernikahan iniagak lebih berisiko. Selain itu, tujuan adanya pencatatan di KUA agar kedua belah pihak  bisa mempunyai hak yang sama di mata hokum dan tidak ada yang dirugikan. Selamatujuan dari pemerintah dalam mengadakan pencatatan sipil adalah baik, maka kita harusmematuhinya.6. IndahS: Lebih baik mana ijab qabul secara terpisah atau digabung antara kedua calonmempelai?J: Baiknya secara terpisah agar tidak terjadi kontak fisik sebelum menjadi muhrim. Akantetapi, dilihat kondisinya, jika dalam kesehariannya calon mempelai biasa dengankhalwat ataupun tidak memakai syari’at Islam dalam membina hubungan sebelummenikah, maka penggunaan hijab tidak akan ada manfaatnya.7. Nur MawadahS: Bagaimana jika
walimatu ‘ursy
dipisah antara ikhwan dengan akhwat?J: Tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Jika keduanya sepakat untuk dipisahatau digabung, pastinya mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Selain itu,lihatlah kondisi adat (kebiasaan) dan budaya yang biasa dipakai, karena masing-masingdaerah maupun negara mempunyai adat dan budaya yang berbeda dalam hal ini

TUJUAN NIKAH bagi mu'min

TUJUAN NIKAH bagi mu'min


oleh : ahmad sholihin


1.Mendapatkan Ridho ALLAH, sesuai dengan firman ALLAH
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.(QS Al-bayyinah :5)

2.Bukti taat kita kepada ALLAH ,karena zina adalah dosa besar dan terkutuk.
sesuai yang ALLAH firmankan
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.(QS Al-Israa' :32)
dan sekali zina membakar 40 tahun amal ibadah kita,demikian kecam Rasulullah

3.Bukti cinta Rasul, "Nikah sunnahku,siapa yang membencinya bukan umatku".

4.Untuk mewujudkan hasrat cinta biologis-psikologis (mawaddah-rahmah)

5.Meraih kebahagian & ketenangan hidup
sesuai yang digambarkan ALLAH dalam Al-Qur'an
" Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".(QS Ar-ruum :21)

5.Demi memperbanyak umat Rasul & generasi Dakwah.

definisi, hukum dan pelaksanaan nikah

Definisi Nikah

oleh : ahmad sholihin
Arti Nikah Menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah Ahli Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.
Hukum Nikah
Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyah) adalah mubah. Yakni tidak mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
Nikah menurut majasi (wadl’iyah) ada empat kemungkinan:
1.      Kemungkinan bisa menjadi Sunnah bila Nikah menjadikan sebab ketengan dalam beribadah. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
2.      Kemungkinan bisa menjadi wajib bila Nikah menghindarkan dari perbuatan zina dan dapat meningkatkan amal ibadah wajib. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
3.      Kemungkinan bisa menjadi haram bila nikah yakin akan menimbulkan kerusakan. Mendapat ancaman siksa bagi orang yang mengerjakan dan dan mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan.
4.      Kemungkinan bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi orang yang mengerjakan.
Pelaksanaan Nikah
Menurut hukum Islam, praktik Nikah ada tiga perkara:
1.      Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, dan mengetahui ilmunya. Nikah seperti ini mendapat pahala dari Allah SWT.
2.      Nikah yang sah tetapi haram ialah: Pelaksanaan akad nikah secara benar sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak mengetahui ilmunya. Praktik nikah seperti ini jelas berdosa.
3.      Nikah yang tidak sah dan haram ialah: Pelaksanaan akad nikah yang tidak sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, karena tidak mengetahui ilmunya dan praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik nikah seperti ini mengakibatkan berdosa.
____________________________________________________________________________________
Terjemahan kitab : Tabyin al Ishlah li Muridi an-Nikah karangan Syaikh min ahli as-Syariah wa at-Thariqah wa al Haqiqah, al ‘Allamah Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum bin Abu Syuja’

Syarat dan Hukum Aqad Nikah

SYARAT- SYARAT AQAD NIKAH

oleh : ahmad sholihin

Telah kami sebutkan di awal bab satu tentang makna nikah dan hukumnya dan akan kami sebutkan dalam bab ini syarat-syarat syar'i yang harus dipenuhi untuk syahnya nikah serta hukum-hukum syar'i yang timbul darinya. Sesungguhnya aqad nikah itu suatu ungkapan dari 'ijab' dan 'qobul', yang memulai aqad disebut 'al-mujib' dan pihak yang lain disebut 'qabil'. Dan mungkin adanya 'ijab' dari laki-laki atau wakilnya, dan bisa jadi dari wanita atau wakilnya, demikian pula 'qobul'.
Dan lafadh yang shohih untuk 'aqad nikah' yang tidak ada khilaf padanya adalah : (� 'zawwajtuka... '(saya kawinkan engkau�), atau (....`ankahtuka ...' (Aku nikahkan engkau...). Ketika seorang wanita berkata "Kukawinkan diriku ...." atau berkata wakilnya "Kukawinkan engkau...", maka telah terwujud 'ijab dari satu sisi. Bila di sisi lain telah berkata : ('Qobiltu'(aku terima)), maka telah terjadilah 'aqad nikah', bila telah terpenuhi syarat-�syaratnya. Antara lain :

1. Tatkala ijab qobul disebutkan 'maharnya', baik kontan atau pun hutang. Dan disebutkan syarat lain jika ada, seperti dijadikannya kekuasaan atau perlindungan di tangan isteri sehingga dia bisa menentukan kapan cerainya, atau sampai batas waktu tertentu dengan perceraian sekali yang ba'in (selamanya).

2. Dan syarat nikah yang terpenting adalah hadirnya dua saksi yang merdeka, baligh, berakal, muslim, untuk pernikahan muslim dan muslimat, yang mendengar ucapan aqad nikah, dan faham bahwa itu aqad nikah dan syah jika dua saksi itu dari kerabat suami istri, seperti bapak atau saudara laki-laki atau anaknya.

B. HUKUM-HUKUM AQAD NIKAH
Sesungguhnya aqad nikah merupakan ikatan yang kokoh dan kuat, karena masing-masing suami isteri terikat dengan ikatan ini dengan haq-haqnya, dan jadilah suami bertanggung jawab kepada isterinya dengan menjaga sebagian syarat-syarat yang tidak diterangkan disini. Dan hukum yang terpenting dari ikatan ini adalah:

� Tetapnya pernikahan diantara dua orang yang Berakal dan mengenai keduanya hukum-hukum pernikahan,dan halal bersenang-senang satu sama lainnya, dan jadilah Haram ibu dari isterinya, dan tetaplah waris dari kedua belah pihak (suami isteri).

� Wajib bagi suami dengan sekedar aqad nikah :

1. Memberi 'mahar' baik kontan maupun hutang
2. Memberi nafkah dengan segala macamnya, yaitu : makanan,
pakaian, tempat tinggal, dll, kepada wanita yang dinikahi.

� Yang harus dilakukan suami atas isterinya :

1. Ditetapkan bagi suami harus mendidik si isteri dengan cara yang baik, karena suami tersebut adalah pemimpin atas isterinya.
2. Isteri wajib mentaatinya dalam hal-hal yang mubah dan memelihara kehormatannya dan wajib tinggal di rumah dan tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya atau karena keadaan darurat.
3. Bagi isteri tidak boleh menghalangi hak suami untuk bersenang-senang dengannya kecuali karena udzur seperti haidh.

C. MENIKAH DENGAN SELAIN MUSLIMIN DAN MUSLIMAH
Kami ingin menjelaskan hukum syar 'i tentang perkawinan perempuan muslimah dengan lelaki non-muslim dan sebaliknya sebab perkawinan ini berkaitan dengan syarat-syarat dan hukum-hukumnya. Penjelasan adalah sebagai berikut:

Perkawinan Muslimah dengan Lelaki Non-Muslim

Sudah diketahui secara syar'i bahwasanya tidak boleh bagi seorang muslimah untuk kawin dengan lelaki non-muslim secara mutlak apapun agama dan keyakinannya termasuk ahlul kitab. Kalau hal ini terjadi maka perkawinannya tidak syah atau batil. Dan tidak mengakibatkan satu hukumpun dari hukum-hukum perkawinan, sehingga tidak ditetapkan nasab anak kepada bapaknya, dan tidak saling mewarisi setelah kematian salah satunya. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
["Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, sekalipun dia menarik hatimu. "] AI-Baqarah : 221

Dan yang terpenting dari masalah ini kami ingin mengingatkan kepada kaum muslimin khususnya para wali dan para pemudi untuk betul-betul memperhatikan dalam memilih suami sebab bukan merupakan suatu hal yang penting untuk segera mengawinkan perempuan dengan sembarang orang, tanpa meneliti aqidahnya, pola pikirnya, dan tanpa mengenal apakah dia itu mukmin atau mulhid, muslim atau ahlul kitab, penyembah berhala atau budha.

Sesungguhnya ikatan perkawinan adalah ikatan yang barokah yaitu ikatan hati dan pikiran, sebelum ikatan jasad dan syahwat. Maka seorang muslimah butuh kepada pada lelaki yang bisa berjalan bersamanya, tidak saling bertentangan antara aqidah dan agamanya, supaya jangan sampai suami menghalangi isteri untuk menunaikan kewajiban agamanya. Dan kita lihat bagaimana suami yang zindik, kafir dan mulhid melarang isterinya berpakaian yang menutup auratnya dan memaksa isterinya untuk telanjang di ko!am renang umum, mengha!angi mereka menunaikan sholat, puasa, dan semua perintah-perintah agama, mengajak minum khomr, dan mengajak ke kekejian. Apakah yang demikian itu suami yang baik?

Bukankah lebih baik bagi seorang perempuan untuk tidak memiliki suami seumur hidupnya daripada kawin dengan laki-laki yang kafir, keras hatinya seperti ini? Yang tidak memahami esensi perkawinan kecuali hanya syahwat saja. Tidakkah perempuan itu bertanya pada dirinya kenapa saya kawin dengan lelaki seperti ini? Kalau dia itu menikah karena kegantengannya, kedudukan yang tinggi, maka sangatlah mungkin baginya untuk mendapatkan lelaki muslim yang sholeh yang memiliki sfat-sifat seperti itu juga. Kalau dia terlanjur sangat mencintainya, tergila-gila kepadanya kemudian sampai melemparkan kebenaran itu maka ini adalah perempuan yang jelek yang meninggalkan agamanya dan mengikuti syahwatnya.

Perkawinan Lelaki Muslim dengan Perempuan Non-Muslim

Sudah diketahui bahwasanya lelaki muslim tidak boleh menikahi perempuan non-muslim kecuali ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), selain itu perkawinannya haram. Tidak boleh menikahi perempuan mulhid, budha, hindu, penyembah berhala maupun yang murtad dari islam. Kami nasehatkan juga bagi para lelaki untuk memilih isteri yang baik yaitu muslimah yang sebenarnya, yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bukan seperti perempuan yang tumbuh di lingkungan muslimin tapi memiliki fikrah yang membenci dan memusuhi Islam. Membenci untuk menutup Aurat (berpakaian secara syar'i), maka dia bukan muslimah. Demikian juga perempuan yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya serta hukum-hukum agama maka dia bukan muslimah. Meskipun dia lahir dari orang tua yang muslim.

Wahai lelaki muslim..., pilihlah isteri-isterimu dengan sebaik-pilihan supaya kamu tidak menyesal sebab penyesalan tiada guna. Dan telah kita sebutkan tentang bolehnya menikahi perempuan ahlul kitab menurut hukum syar'i, tetapi hal ini perlu penjelasan, sebagai berikut:
Sesungguhnya orang muslim menikahi perempuan ahlul kitab adalah makruh bagaimanapun keadaannya. Karena seorang mukminah itu lebih baik. Dan syari'at tidak mernbolehkan menikahi perempuan ahlul kitab kecuali dengan syarat, kalau syarat itu tidak terpenuhi maka tidak boleh bahkan menjadi haram.
Diantara syarat-syarat itu adalah :

1. Perempuan itu betul-betul ahlul kitab secara perbuatan dan kenyataan. Maksudnya adalah betul-betul memiliki aqidah Yahudi atau Nashara (yang asli). Jika perempuan itu telah lepas dari keyahudiannya dan kenasroniannya kemudian menjadi mulhid (Budha, Hindu) maka tidak boleh menikahinya. Ini adalah syarat yang sangat penting bagi kaum muslimin yang be!ajar di negeri timur dan Barat yang ingin menikah di sana. Maka wajib baginya untuk memastikan keadaaan perempuan ahlul kitab tersebut dengan perbuatannya, supaya syah pernikahannya meskipun hal itu dibenci atau makruh.

2. Hendaknya lelaki tersebut seorang muslim yang sesungguhnya, bukan hanya sekedar Islam KTP, supaya tidak memberi kesempatan kepada isterinya mempengaruhi agama dan akhlaq anak-anaknya. Dan tidak seorangpun yang mampu untuk berpura-pura tidak mengetahui tentang akibat jelek yang menimpa para pemuda kita, yang tinggal dia negeri kafir mereka menikah dengan perempuan negeri tersebut. Maka berapa banyak kaum muslimin yang tenggelam dalam syahwatnya di sana dan terjerumus ke dalam masyarakat yang seperti itu sehingga lupa agamanya. Berapa banyak kaum muslimin yang kehilangan kekuasaan atas anak-anak mereka disebabkan oleh peraturan-�peraturan jelek yang dibuat oleh isteri-isteri mereka. Maka jadilah anak�-anaknya itu kafir padahal mereka keturunan muslim. Kalau keadaanya seperti ini, maka menikahi perempuan-perempuan kafir, hukumnya menjadi haram. Karena menimbulkan kerusakan-kerusakan. Ringkasnya syari'at tidak menganjurkan untuk menikah dengan selain muslimah. Bahkan menganjurkan untutk menikahi muslimah dalam segala keadaan. Sebab dia itu lebih memenuhi hak-hak suami dan lebih menjaga terhadap anak-anaknya sebagaimana firman Allah Ta'ala :
("Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih balk dari wanita musrik, walaupun dia menarik perhatianmu') AI-Baqarah : 221

Rukun dan Syarat Akad Nikah

oleh : ahmad sholihin

akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Footnotes:
  1. Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
  2. Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
  3. Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
  4. Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.

Rukun, Larangan & Syarat Perkawinan/Pernikahan/Menikah/Kawin Agama Islam

oleh : ahmad sholihin

Dalam menikah dalam ajaran agama islam ada aturan yang perlu dipatuhi oleh calon mempelai serta keluarganya agar perkawinan yang dilakukan sah secara agama sehingga mendapat ridho dari Allah SWT. Untuk itu mari kita pahami dengan seksama aturan, rukun, pantangan dan persayaratan dalam suatu perkawinan.
A. Syarat-Syarat Sah Perkawinan/Pernikahan
1. Mempelai Laki-Laki / Pria
- Agama Islam
- Tidak dalam paksaan
- Pria / laki-laki normal
- Tidak punya empat atau lebih istri
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh
- Bukan mahram calon istri
- Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi
- Cakap hukum dan layak berumah tangga
- Tidak ada halangan perkawinan
2. Mempelai Perempuan / Wanita
- Beragama Islam
- Wanita / perempuan normal (bukan bencong/lesbian)
- Bukan mahram calon suami
- Mengizinkan wali untuk menikahkannya
- Tidak dalam masa iddah
- Tidak sedang bersuami
- Belum pernah li'an
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah
3. Syarat Wali Mempelai Perempuan
- Pria beragama islam
- Tidak ada halangan atas perwaliannya
- Punya hak atas perwaliannya
4. Syarat Bebas Halangan Perkawinan Bagi Kedua Mempelai
- Tidak ada hubungan darah terdekat (nasab)
- Tidak ada hubungan persusuan (radla'ah)
- Tidak ada hubungan persemendaan (mushaharah)
- Tidak Li'an
- Si pria punya istri kurang dari 4 orang dan dapat izin istrinya
- Tidak dalam ihram haji atau umrah
- Tidak berbeda agama
- Tidak talak ba'in kubra
- Tidak permaduan
- Si wanita tidak dalam masa iddah
- Si wanita tidak punya suami
5. Syarat-Syarat Syah Bagi Saksi Pernikahan/Perkawinan
- Pria / Laki-Laki
- Berjumlah dua orang
- Sudah dewasa / baligh
- Mengerti maksud dari akad nikah
- Hadir langsung pada acara akad nikah
6. Syarat-Syarat/Persyaratan Akad Nikah Yang Syah :
- Ada ijab (penyerahan wali)
- Ada qabul (penerimaan calon suami)
- Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara.
- Ijab dan kabul jelas, saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihrom haji/umroh.
B. Rukun-Rukun Pernikahan/Perkawinan Sah
- Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
- Ada wali pengantin perempuan
- Ada dua orang saksi pria dewasa
- Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)
C. Pantangan / Larangan-Larangan Dalam Pernikahan/Perkawinan
- Ada hubungan mahram antara calon mempelai pria dan wanita
- Rukun nikah tidak terpenuhi
- Ada yang murtad keluar dari agama islam
D. Menurut Undang-Undang Perkawinan
- Perkawinan/pernikahan didasari persetujuan kedua calon mempelai
- Bagi calon yang berusia di bawah 21 tahun harus punya izin orang tua atau wali yang masih ada hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau melalui putusan pengadilan
- Umur atau usia minimal untuk menikah untuk pria/laki-laki berusia 19 tahun dan untuk wanita/perempuan berumur paling tidak 16 tahun.

hukum nikah

oleh : ahmad sholihin

Nikah termasuk sunnah para rasul yang sangat ditekankan. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan." (Ar-Ra'd:38).
Dan dianggap makruh meninggalkan nikah tanpa 'udzur, berdasarkan hadits Anas bin Malik ra, ia berkata, "Telah datang tiga (sahabat) orang ke rumah isteri-isteri Nabi saw., mereka bertanya tentang ibadah Rasulullah saw.. Maka tatkala dijelaskan kepada mereka seolah-seolah mereka beranggapan ibadah mereka sedikit (kalau dihubungkan dengan kondisi mereka), lalu mereka berkata, "Apakah artinya kita, jika dibandingkan dengan Rasulullah? Sungguh beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang." Kemudian salah satu di antara mereka berkata,"Adapun saya, maka saya akan shalat semalam suntuk selama-lamanya." Yang lain mengatakan, "saya akan berpuasa sepanjang masa, dan tidak akan berbuka." Yang lain (lagi) mengatakan, "Saya akan menjauhi perempuan, dan tidak akan kawin selama-lamanya." Tak lama kemudian datanglah Rasulullah saw. lalu bertanya, "Kalian yang menyatakan begini dan begini? Demi Allah, sungguh saya adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah dan yang paling bertakwa di antara kalian kepada-Nya; Namun saya berpuasa, dan juga berbuka, saya mengerjakan shalat dan juga tidur, dan (juga) menikahi perempuan termasuk dari golonganku." (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari IX:104 no:5063 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim II:1020 no:1401 dan Nasa'i VI:60). Namun nikah menjadi wajib atas orang yang sudah mampu dan ia khawatir terjerumus pada perbuatan zina. Sebab zina haram hukumnya, demikian pula hal yang bisa mengantarkannya kepada perzinaan serta hal-hal yang menjadi pendahulu perzinaan (misalnya; pacaran, pent.).Maka, barangsiapa yang merasa mengkhawatirkan dirinya terjerumus pada perbuatan zina ini, maka ia wajib sekuat mungkin mengendalikan nafsunya. Manakala ia tidak mampu mengendalikan nafsunya, kecuali dengan jalan nikah, maka ia wajib melaksanakannya." (tulis pengarang kitab as-Salul Jarrar II:243).
Barangsiapa yang belum mampu menikah, namun ia ingin sekali melangsungkan akad nikah, maka ia harus rajin mengerjakan puasa, hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Mas'ud bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada kami, "Wahai para muda barangsiapa yang telah mampu menikah di antara kalian, maka menikahlah, karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi kemaluan: dan barangsiapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa; karena sesungguhnya puasa sebagai tameng." (Muttafaqu 'alaih: Fathul Bari IX:112 no:5066. Muslim II:1018 no:1400, 'Aunul Ma'bud VI:39 no:2031, Tirmidzi II:272 no:1087, Nasa'i VI:56 dan Ibnu Majah I:592 no:1845).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 532 -- 534.

Hukum Nikah Dalam Keadaan Hami

oleh : ahmad sholihin

Mengingat banyak terjadinya kasus para wanita yang hamil diluar nikah (wal 'iyyadzubillah) maka kami menganggap sangat penting untuk membahas masalah ini dengan lebih terperinci dalam kajian Bab Nikah. Bagaimanakah hukumnya pernikahan wanita yang dilaksanakan dalam keadaan hamil itu?yaitu setelah hamil baru kedua orantuanya ''terpaksa'' menikahkannya dan permasalahan lain yang semisalnya.Tentu jadi membuat ukhti muslimah semakin penasaran ingin mengetahui penjelasannya.Nah, marilah kita simak bersama,....!

1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?

3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?


Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-'Alim Al-Hakim sebagai berikut :

1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :

Satu , Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.

Dua , Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini �Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan

sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

''Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya''. (QS. Ath-Tholaq : 4).

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah Haram dan nikahnya Batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :

''Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya''. (QS. Al-Baqarah : 235).

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini :
''Yaitu jangan kalian melakukan Akad nikah sampai lepas 'iddah-nya''. Kemudian beliau berkata : ''Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah''.
Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.



Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan Hidayah dari Allah Al-'Alim Al-Khabir,masalah ini kami uraikan sebagai berikut :

1. Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para 'ulama.Secara global para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :

Satu : Disyaratkan bertaubat.

Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.

Dua : Tidak disyaratkan taubat.

Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah.

Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
''Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan''. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla :''Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin''. (QS. An-Nur : 3).

Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata :
''Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : ''Maka saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu saya berkata : ''Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?''. Martsad berkata : ''Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : ''Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik''. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : ''Jangan kamu nikahi dia''. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).


Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :

Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya''. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.


Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.


Catatan :

Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : ''Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?''.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :

1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A'lam.

Syarat Kedua : Telah lepas 'iddah.

Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :
Pertama : Wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin 'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.


Kedua : Tidak wajib 'iddah.

Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalamkeadaanhamil.


Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos :

''Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali''.
(HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).

2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
''Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain''. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).

3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam : ''Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : ''Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?''. (Para sahabat) menjawab : ''Benar''. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : ''Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya''.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : ''Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina''.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A'lam.

Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah 'Azza Wa Jalla :
''Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya''. (QS. Ath-Tholaq : 4).



Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak. Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :

''Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid)''. (QS. Al-Baqarah : 228).



Kesimpulan Pembahasan :

1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah sebagai berikut :

� kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan.
� kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.


Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.

Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.


Kalau ada yang bertanya : ''Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa 'iddah?''.

Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama. Jumhur (kebanyakan) 'ulama berpendapat : ''Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya''.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).

3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :

''Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali''.
(HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu Ya'la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu 'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala :
''Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan'' (QS. An-Nisa` : 4).

Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

''Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban''.(QS.An-Nisa` : 24)

Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.