oleh : ahmad sholihin
Mengingat banyak terjadinya kasus para wanita yang hamil diluar nikah  (wal 'iyyadzubillah) maka kami menganggap sangat penting untuk membahas  masalah ini dengan lebih terperinci dalam kajian Bab Nikah. Bagaimanakah  hukumnya pernikahan wanita yang dilaksanakan dalam keadaan hamil  itu?yaitu setelah hamil baru kedua orantuanya ''terpaksa'' menikahkannya  dan permasalahan lain yang semisalnya.Tentu jadi membuat ukhti muslimah  semakin penasaran ingin mengetahui penjelasannya.Nah, marilah kita  simak bersama,....!
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah  harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa  harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab dengan meminta pertolongan dari 
Allah Al-'Alim Al-Hakim sebagai berikut :
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu , Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua , Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak  terjadi di zaman ini �Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga  kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.Adapun perempuan  hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas  'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan
sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
''Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya''. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah 
Haram dan nikahnya 
Batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
''Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya''. (QS. Al-Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini :
''Yaitu jangan kalian melakukan 
Akad  nikah sampai lepas 'iddah-nya''. Kemudian beliau berkata : ''Dan para  'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah''.
Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih  meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi  diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan 
Hidayah dari Allah Al-'Alim Al-Khabir,masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
1. Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak,  dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan  pendapat dikalangan para 'ulama.Secara global para 'ulama berbeda  pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan  perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat.
Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat.
Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan  disyaratkan untuk bertaubat.Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam  Al-Fatawa 32/109 :
''Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah  yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah  yang benar tanpa keraguan''. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah  'Azza Wa Jalla :''Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan  perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang  berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau  laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum  mu`minin''. (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata :
''Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang  dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan  (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : ''Maka  saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu  saya berkata : ''Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?''. Martsad berkata :  ''Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : ''Dan perempuan yang berzina  tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki  musyrik''. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan  beliau berkata : ''Jangan kamu nikahi dia''. (Hadits hasan, riwayat Abu  Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra  3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.  1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih  Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan  pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau  ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan  pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala  alihi wa sallam :
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa  baginya''. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83  dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat  An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh  (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini  (yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah  secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan  pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum  bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan  6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny  9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat  Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan :
Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat  perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia  menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh  Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas  dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125  kelihatan condong ke pendapat ini.Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny  9/564 berpendapat lain, beliau berkata : ''Tidak pantas bagi seorang  muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena  permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal  berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk  mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan  dalam merayunya untuk berzina ?''.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana  ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima  syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari 
Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A'lam.
Syarat Kedua : Telah lepas 'iddah.
Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah merupakan  syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua  pendapat :
Pertama : Wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin  'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan  antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh  untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh  ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu  adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya  dan boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang  yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang  yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh  ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin)  dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut  dalamkeadaanhamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi  shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan  perang Authos :
''Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali''.
(HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212,  Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan  Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang  bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya  yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari  beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya  oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
''Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia  menyiramkan airnya ke tanaman orang lain''. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud  no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam  Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115,  Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa`  no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa  'ala alihi wa sallam : ''Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir  melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : ''Barangkali orang itu  ingin menggaulinya ?''. (Para sahabat) menjawab : ''Benar''. Maka  Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :  ''Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang  dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal  baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal  baginya''.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : ''Dalam (hadits) ini ada dalil yang  sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu  karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu  nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena  ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina''.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan  pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,  Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa  Saudi Arabia). Wallahu A'lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil  karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi  perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman  firman Allah 'Azza Wa Jalla :
''Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya''. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya  diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan  yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah  istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat :  tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak. Dan yang  dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup  dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan  oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan  'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi  perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam  firman Allah Jalla Sya`nuhu :
''Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri  (menunggu) selama tiga kali quru`(haid)''. (QS. Al-Baqarah : 228).
Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua  syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan  nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah sebagai berikut :
� kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan.
� kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid satu  kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197,  Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349,  Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa  32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan  Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah  2/582-585, 847-850.
Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil  karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai  melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah  adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap  melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya  tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap  pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau  negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu  Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : ''Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa 'iddah?''.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama. Jumhur  (kebanyakan) 'ulama berpendapat : ''Perempuan tersebut tidak diharamkan  baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya''.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa  perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau  berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang  menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga merupakan  pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat  bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir  ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau  melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu  Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin Khaththab  radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan  pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah  kembali setelah lepas iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu  Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan  keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka  berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap berzina dan wajib  atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di  dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.  Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan  hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara  keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang  telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak  mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
''Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya  batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk  padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya,  dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak  mempunyai wali''.
(HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm  5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb  sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq  bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284,  Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.  1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu  Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175,  Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu  Ya'la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam  Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy  7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam  Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu  'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany  dalam Al-Irwa` no.1840).
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di  masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam  hadits mencakup semuanya.Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah  dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia  melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman  firman Allah Ta'ala :
''Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan'' (QS. An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
''Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban''.(QS.An-Nisa` : 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.