BAB
I
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada.
Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut
bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara
berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah
mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional
dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
Sementara Imam al-Amidi mengatakan
bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’
yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan
batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad
sempurna).
Abu Zahrah
mengatakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan yang terdapat pada
seorang ahli hukum Islam dalam beristinbath (menggali) hukum Islam yanjg
bersifat praktis dari dalil yang terperinci.
Menurut
kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari
seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu
hukum syara’. Jadi,
yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa
ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad
ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan
dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
Dari beberapa
definisi tentang ijtihad dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah sebagai berikut
:
1. Pengerahan akal
pikiran para fuqaha atau ushuliyyin;
2. menggunakan
akalnya dengan sungguh-sungguh karena adanya dalildalil yang zhanni dari Al
Qur’an dan Al Hadits;
3. Berkaitan
dengan hukum syar’i yang amaliyah;
4. Menggali
kandungan hukum syar’i dengan berbagai usaha dan pendekatan;
5. dali-dali yang
ada dirinci sedemikian rupa sehingga kehilangan ke-zhanni-annya;
6. Hasil ijtihad
berbentuk fiqh sehingga mudah diamalkan.
Enam ciri ijtihad tersebut memberikan
gambaran bahwa ijtihad adalah salah satu metode penggalian hukum Islam dengan
menggunakan akal atau ra’yu, maka alat utama ijtihad adalah akal.
2. Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa
persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1.
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas
tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
pengertian ia mampu membahas ayat-ayat
tersebut untuk menggali hukum.
2.
Berilmu pengetahuan yang luas
tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
arti ia sanggup untuk membahas
hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.
Menguasai seluruh masalah yang
hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma'agar ia tidak berijtihad yang hasilnya
bertentangan dengan ijma'.
4.
Mengetahui secara mendalam tentang
masalah qiyas dan dapat mempergunakannya
untuk menggali hukum.
5.
Menguasai bahasa Arab secara
mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun
dalam bahasa Arab yang sangattinggi gaya
bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6.
Mengetahui secara mendalam tentang
nasikh-mansukh dalam al-Qur'an danHadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
ayat al-Qur'an atau Hadits Nabiyang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali
hukum.
7.
Mengetahui latar belakang turunnya
ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakangsuatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar
ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
8.
Mengetahui sejarah para periwayat
hadits, supaya ia dapat menilai sesuatuHadist, apakah Hadits itu dapat diterima
ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat
tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad
Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan
melakukan ta'dil tajrih(screening).
9.
Mengetahui ilmu logika/mantiq agar
ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan
hukum dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai
kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia
mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum
suatu permasalahan yang akan diketahuinya.
3. Macam-macam Tingkatan Ijtihad
Ijtihad terdiri dari
bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad
Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidahistinbath yang
dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum.
Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandangperlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab empat.
2.
Ijtihad Muntasib, yaitu
ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan
kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq). Jadi untuk menggali hukum
dari sumbernya, maka mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan
imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang
dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya dari mazhab
Syafi’i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari mazhab Hanafi seperti Muhammad bin
Hasan dan Abu yusuf. Sebagian ulama’ menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthlaq/mustaqil.
3. Ijtihad
mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid fatwa, yaitu ijtihad yang
dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan mazhab tertentu. pada prinsipnya
merekamengikuti norma-norma istinbath imamnya, deemikian juga mengenai hukum
furu’/fiqh yang telah dihasilkan imamnya. ijtihad mereka berkisar pada
masalah-masalh yang memang blum diijtihadi imamnya. mentarjikhkan pendapat
imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang
shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti imam Ghazali dan juwaini dari
mazhab Syafi’i.
4. Ijtihad di bidang
tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa
pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari
berbagai mazhab yang ada dengan memilih
mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling
sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i,
hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama
mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali
perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya
satu tingkatan.
4. Taqlid, Ittiba’ dan Talfiq
a. Taqlid
Dalam
bahasa yang sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau tindakan di mana ijtihad
dilarang untuk dilakukan. Dan pada masa ini lebih memberikan aspek legal-formal
pada ulama-ulama yang telah memberikan produk hukumnya masing-masing. Sehingga pada
periode ini, Islam lebih terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang
menjadi panutan.
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau abad 10 M. Pada masa
ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang
mempengaruhi kebangkitan umat islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam
pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan
ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan
dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan
Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa
puas dengan cara bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak
kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu
Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau pengikut Ahmad saja.
Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu.
Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam
saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya
berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu
terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa
peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.
b. Ittiba’
Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah
mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan
Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam
sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba’
ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari
mana atau asal pendapat itu. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash.
Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Ulama berbeda pendapat, ada yang
membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa
ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak
boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para
ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris
para Nabi).
c. Talfiq
Menurut istilah, talfiq ialah
mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan
mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi
adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah
tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan
dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk
melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari
pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang
tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang
paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang
dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
5.
Metode-metode Berijtihad
Ada beberapa metode dalam berijtihad,
diantaranya adalah sebagai berikut kami paparkan :
1. Ijma’
Yang dimaksud dengan Ijma’ sendiri
adalah persetujuana atau persesuaian penadapat para ahli mengenai suatu masalah
pada suatu tempat di suatu masa. Namun pada masa sekarang sukar dicari suatu
cara dan sarana yang dapat diperguanakan untuk memperoleh persetujuan seluruh
ahli mengenai suatu masalah pada suatu
ketika di tempat yang berbeda, hal ini dikarenakan luasnya bagian dunia yang
didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Ijma’
yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa
sekarang Ijma’ hanya berarti persetujuan ataun kesesuaian penadapat di suatu
tempat mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam Al Qur’an.
2. Qiyas
Yang dimaksud dengan Qiyas adalah
menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannyadalam Al Qur’an dan
As Sunnah atau Al Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al
Qur’an dan Sunnah Rosul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena
persamaan illat (penyebab atau alasannya).
3. Istidal
Yang dimaksud dengan Istidal yakni
menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan
dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam.
4. Masalih al-Mursalah
Yang dimaksud dengan Masalih al
Mursalah yakni cara menemukan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya
baik di dalam Al Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
5. Istihsan
Yang dimaksud dengan Istihsan yakni
cara menetukan hukum dengan cara
menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
Istihsan merupakan metode yang unik dalam menggunakan akal pikiran dengan
mengesampingkan analogi yangketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan
masyarakat dan keadilan.
6. Istishab
Yang dimaksud dengan Istishab yakni
menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada
dalil yang mengubahnya. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan Istishab adalah
melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain
yang membatalkannya.
7. ‘Urf
Yang dimaksud dengan ‘Urf yakni berbagai
tradisi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat, baik berupa perbuatan atau
perkataan. Yang dimaksud dengan ‘urf perbuatan adalah berupa tinadakan atau
perbuatan tang telah menjadi kesepakatan masyarakat, dan mempunyai implikasi
hukum, sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf perkataan adalah kebiasaan
penggunaan kata-kata tertentu yang mempunyai implikasi hukum, yang telah
disepakati secara bersama oleh masyarakat.
BAB II
KESIMPULAN
Ijtihad
adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam
kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan
kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks
di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, istiqsan, maslahah mursalah, istishab,
syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain sebagainya.
No comments:
Post a Comment