Wednesday 27 November 2013

Ijtihad



BAB I
PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Abu Zahrah mengatakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan yang terdapat pada seorang ahli hukum Islam dalam beristinbath (menggali) hukum Islam yanjg bersifat praktis dari dalil yang terperinci.
Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
Dari beberapa definisi tentang ijtihad dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah sebagai berikut :
1.      Pengerahan akal pikiran para fuqaha atau ushuliyyin;
2.      menggunakan akalnya dengan sungguh-sungguh karena adanya dalildalil yang zhanni dari Al Qur’an dan Al Hadits;
3.      Berkaitan dengan hukum syar’i yang amaliyah;
4.      Menggali kandungan hukum syar’i dengan berbagai usaha dan pendekatan;
5.      dali-dali yang ada dirinci sedemikian rupa sehingga kehilangan ke-zhanni-annya;
6.      Hasil ijtihad berbentuk fiqh sehingga mudah diamalkan.
Enam ciri ijtihad tersebut memberikan gambaran bahwa ijtihad adalah salah satu metode penggalian hukum Islam dengan menggunakan akal atau ra’yu, maka alat utama ijtihad adalah akal.
2. Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1.      Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.      Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.      Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma'agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4.      Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5.      Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangattinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6.      Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an danHadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabiyang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
7.      Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakangsuatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
8.      Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatuHadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih(screening).
9.      Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10.  Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya. 

3. Macam-macam Tingkatan Ijtihad
              Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1.      Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidahistinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandangperlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab empat.
                 
2.     Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, maka mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya dari mazhab Syafi’i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari mazhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu yusuf. Sebagian ulama’ menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthlaq/mustaqil.

3.    Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan mazhab tertentu. pada prinsipnya merekamengikuti norma-norma istinbath imamnya, deemikian juga mengenai hukum furu’/fiqh yang telah dihasilkan imamnya. ijtihad mereka berkisar pada masalah-masalh yang memang blum diijtihadi imamnya. mentarjikhkan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti imam Ghazali dan juwaini dari mazhab Syafi’i.

4.    Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai  mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.

4. Taqlid, Ittiba’ dan Talfiq
a. Taqlid
Dalam bahasa yang sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau tindakan di mana ijtihad dilarang untuk dilakukan. Dan pada masa ini lebih memberikan aspek legal-formal pada ulama-ulama yang telah memberikan produk hukumnya masing-masing. Sehingga pada periode ini, Islam lebih terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang menjadi panutan.
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau abad 10 M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau pengikut Ahmad saja.
Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu. Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.
b. Ittiba’
Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba’ ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
c. Talfiq
Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
5.      Metode-metode Berijtihad
Ada beberapa metode dalam berijtihad, diantaranya adalah sebagai berikut kami paparkan :
1.      Ijma’
Yang dimaksud dengan Ijma’ sendiri adalah persetujuana atau persesuaian penadapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Namun pada masa sekarang sukar dicari suatu cara dan sarana yang dapat diperguanakan untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli  mengenai suatu masalah pada suatu ketika di tempat yang berbeda, hal ini dikarenakan luasnya bagian dunia yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Ijma’ yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa sekarang Ijma’ hanya berarti persetujuan ataun kesesuaian penadapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam Al Qur’an.  
2.      Qiyas
Yang dimaksud dengan Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannyadalam Al Qur’an dan As Sunnah atau Al Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan illat (penyebab atau alasannya).
3.      Istidal
Yang dimaksud dengan Istidal yakni menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam.
4.      Masalih al-Mursalah
Yang dimaksud dengan Masalih al Mursalah yakni cara menemukan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
5.      Istihsan
Yang dimaksud dengan Istihsan yakni cara menetukan hukum  dengan cara menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan merupakan metode yang unik dalam menggunakan akal pikiran dengan mengesampingkan analogi yangketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan.
6.      Istishab
Yang dimaksud dengan Istishab yakni menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan Istishab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
7.      ‘Urf
Yang dimaksud dengan ‘Urf yakni berbagai tradisi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat, baik berupa perbuatan atau perkataan. Yang dimaksud dengan ‘urf perbuatan adalah berupa tinadakan atau perbuatan tang telah menjadi kesepakatan masyarakat, dan mempunyai implikasi hukum, sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf perkataan adalah kebiasaan penggunaan kata-kata tertentu yang mempunyai implikasi hukum, yang telah disepakati secara bersama oleh masyarakat.

BAB II
KESIMPULAN

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, istiqsan, maslahah mursalah, istishab, syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain sebagainya.

No comments:

Post a Comment