Wednesday, 27 November 2013

Ijtihad



BAB I
PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Abu Zahrah mengatakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan yang terdapat pada seorang ahli hukum Islam dalam beristinbath (menggali) hukum Islam yanjg bersifat praktis dari dalil yang terperinci.
Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
Dari beberapa definisi tentang ijtihad dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah sebagai berikut :
1.      Pengerahan akal pikiran para fuqaha atau ushuliyyin;
2.      menggunakan akalnya dengan sungguh-sungguh karena adanya dalildalil yang zhanni dari Al Qur’an dan Al Hadits;
3.      Berkaitan dengan hukum syar’i yang amaliyah;
4.      Menggali kandungan hukum syar’i dengan berbagai usaha dan pendekatan;
5.      dali-dali yang ada dirinci sedemikian rupa sehingga kehilangan ke-zhanni-annya;
6.      Hasil ijtihad berbentuk fiqh sehingga mudah diamalkan.
Enam ciri ijtihad tersebut memberikan gambaran bahwa ijtihad adalah salah satu metode penggalian hukum Islam dengan menggunakan akal atau ra’yu, maka alat utama ijtihad adalah akal.
2. Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1.      Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.      Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.      Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma'agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4.      Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5.      Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangattinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6.      Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an danHadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabiyang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
7.      Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakangsuatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
8.      Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatuHadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih(screening).
9.      Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10.  Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya. 

3. Macam-macam Tingkatan Ijtihad
              Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1.      Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidahistinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandangperlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab empat.
                 
2.     Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, maka mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya dari mazhab Syafi’i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari mazhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu yusuf. Sebagian ulama’ menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthlaq/mustaqil.

3.    Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan mazhab tertentu. pada prinsipnya merekamengikuti norma-norma istinbath imamnya, deemikian juga mengenai hukum furu’/fiqh yang telah dihasilkan imamnya. ijtihad mereka berkisar pada masalah-masalh yang memang blum diijtihadi imamnya. mentarjikhkan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti imam Ghazali dan juwaini dari mazhab Syafi’i.

4.    Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai  mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.

4. Taqlid, Ittiba’ dan Talfiq
a. Taqlid
Dalam bahasa yang sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau tindakan di mana ijtihad dilarang untuk dilakukan. Dan pada masa ini lebih memberikan aspek legal-formal pada ulama-ulama yang telah memberikan produk hukumnya masing-masing. Sehingga pada periode ini, Islam lebih terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang menjadi panutan.
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau abad 10 M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau pengikut Ahmad saja.
Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu. Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.
b. Ittiba’
Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba’ ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
c. Talfiq
Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
5.      Metode-metode Berijtihad
Ada beberapa metode dalam berijtihad, diantaranya adalah sebagai berikut kami paparkan :
1.      Ijma’
Yang dimaksud dengan Ijma’ sendiri adalah persetujuana atau persesuaian penadapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Namun pada masa sekarang sukar dicari suatu cara dan sarana yang dapat diperguanakan untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli  mengenai suatu masalah pada suatu ketika di tempat yang berbeda, hal ini dikarenakan luasnya bagian dunia yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Ijma’ yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa sekarang Ijma’ hanya berarti persetujuan ataun kesesuaian penadapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam Al Qur’an.  
2.      Qiyas
Yang dimaksud dengan Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannyadalam Al Qur’an dan As Sunnah atau Al Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan illat (penyebab atau alasannya).
3.      Istidal
Yang dimaksud dengan Istidal yakni menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam.
4.      Masalih al-Mursalah
Yang dimaksud dengan Masalih al Mursalah yakni cara menemukan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
5.      Istihsan
Yang dimaksud dengan Istihsan yakni cara menetukan hukum  dengan cara menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan merupakan metode yang unik dalam menggunakan akal pikiran dengan mengesampingkan analogi yangketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan.
6.      Istishab
Yang dimaksud dengan Istishab yakni menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan Istishab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
7.      ‘Urf
Yang dimaksud dengan ‘Urf yakni berbagai tradisi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat, baik berupa perbuatan atau perkataan. Yang dimaksud dengan ‘urf perbuatan adalah berupa tinadakan atau perbuatan tang telah menjadi kesepakatan masyarakat, dan mempunyai implikasi hukum, sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf perkataan adalah kebiasaan penggunaan kata-kata tertentu yang mempunyai implikasi hukum, yang telah disepakati secara bersama oleh masyarakat.

BAB II
KESIMPULAN

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, istiqsan, maslahah mursalah, istishab, syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain sebagainya.

Hakekat Peserta Didik



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dikalangan ilmuan pendidikan Islam setidaknya ada istilah yang digunakan untuk menandai konsep pendidikan, yaitu : Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib. Kata Tarbiyah menurut Abdurrahman Al- Nahlawi yang berarti pendidikan yang diartikan sebagai usaha memelihara fitrah anak, menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya mengarhkan fitrah dan seluruh bakat agar menjadi baik dan sempurna, serta bertahap dalam prosesnya. Adapun kata Ta’lim oleh penggunanya dipahami sebagai proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembanganfungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangakau wilayah psikomotorik dan afektif. Sedangkan kata Ta’dib dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara luas meningkatkan peeradaban.
Ilmu pengetahuan ditanamkan sejak dini oleh Allah kepada manusia. Oleh karena itu, bayi yang baru dilahirkan telah memiliki pengetahuan tentang Tuhan denga fitrahnya, pengetahuan dengan pebdebfaran dan perasaannya. Sekalipun demikian, semua potensi akal manusia haru dikembangkan melalui pendidikan yang berkarakter, artinya pendidikan yang mengikuti perkembangan dan kebutuhan manusai sebagai mahluk yang kreatif dan dinamis.
Filsafat Pendidikan Islam adalah salah satu mata kuliah yang disajikan guna mengembangkan cara berfikir manusia tentang pendidikan Islam sebagai suatu sistem yang didalamnya mengajarkan sistem pendidikan yang berkaitan dengan akal, hati, dan pendidikan jasmani.[1]
Dengan membaca uraian tentang pendidikan di atas, dapat dipahami bahwa obyek atau peserta didik merupakan satu unsur penting dalam kegiatan dan proses pendidikan Islam, karena adalah tidak mungkin jika pelaksanaan pendidikan Islam tidak bersentuhan dengan manusia-manusia yang berkedudukan sebagai obyek atau peserta pendidikan. Manusia sebagai peserta didik menempati posisi yang menentukan dalam sebuah interaksi pembelajaran. Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran peserta didik sebagai subjek pendidikan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa peserta didik adalah kunci yang menentukan untuk terjadinya interaksi edukatif . Hal inilah yang menyebabkan kajian tentang peserta didik masih menarik dan dianggap perlu dilakukan, terutama yang berkaitan dengan hakekat peserta didik, sifat-sifat ideal peserta didik, tugas dan tanggung jawab peserta didik dan etika penuntut ilmu dalam pendidikan Islam dan makalah ini diupayakan akan memberi wawasan bagi pembaca khususnya yang tertarik terhadap topik / kajian dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah hakekat peserta didik itu ?
2. Apakah sifat-sifat ideal peserta didik ?
3. Apakah tugas dan tanggung jawab peserta didik ?
4. Bagaimana etika peserta didik dalam pendidikan Islam ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hakekat peserta didik itu
2. Untuk mengetahui sifat-sifat ideal peserta didik
3. Untuk mengetahui tugas dan tanggung jawab peserta didik
4. Untuk mengetahui etika peserta didik dalam pendidikan Islam



BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakekat Peserta Didik
Dalam pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat peserta didik, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang hakikat manusia, karena manusia hasil dari suatu proses pendidikan. (Abdurrahman Shaleh,1990:45). Menurut konsep ajaran Islam manusia pada hakikatnya, adalah makhluk ciptaan Allah yang secara biologis diciptakan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung secara evolutif, yaitu melalui proses yang bertahap. Sebagai makhluk ciptaan, manusia memiliki bentuk yang lebih baik, lebih indah dan lebih sempurna dibandingkan makhluk lain ciptaan Allah, hingga manusia dinilai sebagai makhluk lebih mulia, sisi lain manusia merupakan makhluk yang mampu mendidik, dapat dididik, karena manusia dianugerahi sejumlah potensi yang dapat dikembangkan. Itulah antara lain gambaran tentang pandangan Islam mengenai hakikat manusia, yang dijadikan acuan pandangan mengenai hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam. Peserta didik dalam pendidikan Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan hakikat yang disandangnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam peserta didik tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan, melainkan pula sekaligus sebagai subyek pendidikan.[2]

Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam :
1.      Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya didalam keluarga;
2.      Anak didik adalah semua anak yang berada dibawah bimbingan pendidik di lemabaga pendidikan formal maupun non formal, seperti di sekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPQ, majelis taklim, dan sejenis, bahwa peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu sekaliatau sebulan sekali, semuanya orang-orang yang menimba ilmu yang dapat dipandang sebagai anak didik;
3.      Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.[3]
Beberapa hal yang terkait dengan hakekat peserta didik yaitu :[4]
  • Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri.
  • Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan
  • serta tempo dan iramanya, yang harus disesuiakan dalam proses pendidikan.
  • Peserta didik memiliki kebutuhan diantaranya kebutuhan biologis, rasa aman, rasa kasih sayang, rasa harga diri dan realisasi diri.
  • Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat dan lingkungan yang mempengaruhinya.
  • Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia, walaupun terdiri dari banyak segi tetapi merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
  • Peserta didik merupakan obyek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif. Anak didik bukanlah sebagai objek pasif yang biasanya hanya menerima, mendengarkan saja (Abdul Mujib dan Muhaimin, 1993 : 177-181)
Anak didik dapat didlihat dari beberapa tingkatan, misalny aanak didik dilihat dari usia, sejaka anaka didik mulai dari taman kanak-kanak, tingkat SLTP-SMA, dan mahasiswa berkaitan dengan usia anak didik. Demikian  pula, anak didikdilihat dari perkembangan psikologisnya, misalnyaperkembangan psikologis anak didik usia 12-15 tahun di SLTP berbeda denan perkembangan psikologis anak didik usia 16-19 tahun di SMA, demikian pula perkembangan psikologis anak didik usia perguruan tinggi, bahkan perkembangan cara berpikirnya pun berubah menuju kedewasaan berpikir, terutama dalam menyusun cara berpikir logis dan sistematis.
Tugas utama anak didik adalah belajar, menurut ilmu dan mempraktikkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila anak didik menerima mata pelajaran ilmu agama Islam yang didalamnya terdapat materi ibadah shalat, ilmu yang diterimanya dapat menjadi penuntun kehidupan ibadahnya. Ilmu tentang shalat bukan hanya untuk dihafal, tetapi harus diamalkan, sebagaimana ilmu akhlak, mengajarkan tata cara berprilaku menurut ajaran Islam maka ilmu akhlak pun bukan untuk dihafal, tetapi untuk diamalkan dalamkehidupan sehari-hari.
Dalam psikologi belajar, sebagaimana dikemukakan oleh Syaiful Bahri Djamarah (2002: 46) anak didik yang mengerti tugasnya dalam belajar adalah anak didik yang konsentrasinya penuh dalam memperhatikan pelajaran. Anak didik yang mendengarkan guru yang mengajar, memperhatikan dan mengarahkan pandangannya khusus kepada guru yang sedang mengajar di depan kelas. Aktivitas belajar demikian sangat membantu peningkatan pemahaman anak didik, tetapi perlu diperhatikan bahwa konsentrasi dalam belajar harus diiringi oleh fokusnya alam pikiran kepada yang dilihat dan didengar. Meskipun pandangan mata kearah guru yang sedang mengajar, jika pikirannya melayang-layang entah ke mana, tidak akan ada belajar. Karena pikiran yang melayang-layang dan kurang konsentrasi dalam belajar tidak mampu meregup penjelasan yang disampaikan oleh pendidik.
Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Anak didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunyai akal. Anak didik adalah unsur manusiawi yang penting dalam kegiatan interaksi edukatif. Ia dijadikan sebagai pokok persoalan dalam dalam semua gerak kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sebagai pokok persoalan, anak didik memiliki kedudukan yang menempati posisi yang menentukan dalam sebuah interaksi. Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran anak didik sebagai subjek pembinaan. Jadi, anak didik adalah kunci yang menentukan untuk terjadinya interaksi edukatif.

B. Sifat-sifat Ideal Peserta Didik
            Sesuai dengan karakter dasarnya, dalam Islam, ilmu itu datangnya dari al-haq dan karenanya ia merupakan al-nur atau cahaya kebenaran yang akan menerangi kehidupan para pencarinya. Sebagai al-haq, Allah Swt maha suci, dan kesuciannya hanya bisa dihampiri oleh yang suci pula. Karenanya, sifat utama dan pertama yang harus dimiliki peserta didik adalah mensucikan diri atau jiwanya (tazkiyah) sebelum menuntut ilmu pengetahuan. Karena maksiat hanya akan mengotori jasmani, akal, jiwa dan hati manusia, sehingga membuatnya sulit dan terhijab dari cahaya, kebenaran, atau hidayah Allah Swt.[5]
Untuk terwujudnya kegiatan pembelajaran yang baik, serta terjalin kerjasama antara guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik sekaligus mitra didik, setiap pesrta didik dituntut mengerti, memahmi, memiliki dan dapat merealisasikan sifat-sifat berikut :
  1. Bersikap tawadhu’ atau rendah hati . Hendaklah pelajar tidak takabur atas ilmu dan tidak menguasai orang yang mengajar, melainkan menyerahkan kepada pengajar kendali urusannya secara keseluruhan dalam setiap perincian. Juga pelajar harus menurut nasehat pengajar dan seyogyanya pelajar merendahkan diri kepada pengajarnya, mencari pahala dan kemuliaan dengan melayaninya.
  2. Peserta didik hendaknya berhias dengan moral yang baik seperti berkata benar, ikhlas, taqwa, rendah hati, zuhud menerima apa yang ditentukan Tuhan serta menjauhi sifat-sifat tercela.
  3. Bersunguh-sungguh dan tekun belajar.
  4. Sifat saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antara siswa sehingga merupakan anaka-anak yang se-bapak.
  5. Peserta didik harus penuh semangat dan kegiatan, serta mengahadapi tugasnya dengan penuh kegairahan dan minat
  6. Senantiasa memiliki ketabahan dalam mencari ilmu pengetahuan dan supaya merantau.
  7. Bersifat wara’ dan menjaga agar setiap kebutuhan dan keluarga, makan, minum, pakaian tempat tinggal dan lain-lain, selalu dari bahan dan diperoleh lewat cara yang halal.
Dalam hadis Shahih Muslim dan Bukhari dalam mengemukakan sifat dan karakter yang dimiliki anak didik. Berikut beberapa sifat dan karakter yang harus dimiliki seorang anak didik:
1) Memiliki sifat tamak dalam menuntut ilmu dan tidak malu-malu. Mujahid berkata, “Pemalu dan orang sombong tidak akan dapat mempelajari pengetahuan agama.” Aisyah berkata, “sebaik-baik kaum wanita adalah kamu wanita sahabat Anshar. Merak tidak dihalang-halangi rasa malu tidak dihalang-halangi rasa malu untuk mempelajari pengetahuan yang mendalam tentang agama.”
2) Selalu mengulang pelajaran di waktu malam dan tidak menyia-nyiakan waktu malam dan tidak menyia-nyiakan waktu.
3) Memanfa’atkan/mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Memiliki keinginan/motivasi mencari ilmu pengetahuan.[6]
C. Tugas Dan Tanggung Jawab Peserta Didik
Tujuan dari setiap proses pembelajaran adalah menta’lim, mentarbiyah, atau menta’dibkan al-‘ilm ke dalam diri setiap peserta didik. Al-‘ilm yang akan dita’-lim, ditarbiyah, atau dita’dibkan tersebut adalah al-haqq, yaitu semua kebenaran yang datang dan bersumber dari Allah Swt, baik yang didatangkan-Nya melalui Nabi dan Rasul, (al-ayah al-quraniyah), maupun yang dihamparkan-Nya pada seluruh alam semesta, termasuk diri manusia itu sendiri (al-ayah al-kauniyah). Al-‘ilm tersebut merupakan penunjuk jalan bagi peserta didik untuk mengenali dan meneguhkan kembali syahadah primordialnya terhadap Allah Swt sehingga ia mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan keserharian. Karenanya, dalam konteks ini, tugas utama setiap peserta didik adalah mempelajari al-‘ilm dan mempraktikkan atau mengamalkannya sepanjang kehidupan.[7]
Berkenaan dengan tanggung jawab, dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, tanggung jawab utama peserta didik adalah memelihara agar semua potensi yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya dapat diberdayakan sebagaimana mestinya. Dimensi jismiyah wajib dipelihara, agar secara fisikal peserta didik mampu melakukan aktivitas belajar, meskipun harus melakukan rihlah ke berbagai tempat. Demikian pula, dimensi ruhiyah juga wajib dipelihara, agar bisa difungsikan sebagai energi atau kekuatan untuk melakukan aktivitas belajar. Ketika peserta didik tidak mampu memelihara dimensi jismiyah dan ruhiyahnya, maka energi, daya, atau kemampuan membelajarkan diri akan terganggu, bahkan bisa menjadi tidak mampu. Karenanya, sebagaimana juga dikemukakan Nata, agar tetap mampu melakukan aktivitas belajar, setiap peserta didik memerlukan kesiapan fisik prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang tenang. Untuk itu, perlu adanya upaya pemeliharaan dan perawatan secara sungguh-sungguh semua potensi yang bisa digunakan untuk belajar atau menuntut ilmu pengetahuan.[8]
Athiyah al-Abrasyi mengemukakan bahwa kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa dilakukan peserta didik adalah :
  1. Sebelum memulai aktivitas pembelajaran, peserta didik harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari sifat yang buruk, karena belajar mengajar itu merupakan ibadah dan ibadah harus dilakukan dengan hati yang bersih.
  2. Peserta didik belajar harus dengan maksud mengisi jiwanya dengan berbagai keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Bersedia mencari ilmu ke berbagai tempat yang jauh sekalipun, meskipun harus meninggalkan
  4. keluarga dan tanah air.
  5. Tidak terlalu sering menukar guru, dan hendaklah berpikir panjang sebelum menukar guru.
  6. Hendaklah menghormati guru, memuliakan dan mengangungkannya karena Allah serta berupaya menyenangkan hatinya dengan cara yang baik.
  7. Jangan merepotkan guru, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat duduknya, dan jangan mulai bicara sebelum diizinkan guru.
  8. Jangan membukakan rahasia kepada guru atau meminta guru membukakan rahasia, dan jangan pula menipunya.
  9. Bersungguh-sungguh dan tekun dalam belajar
  10. Saling bersaudara dan mencintai antara sesama peserta didik.
  11. Peserta didik harus terlebih dahulu memberi salam kepada guru dan mengurangi percakapan dihadapan gurunya.
  12. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajaran, baik diwaktu senja dan menjelang subuh atau diantara waktu Isya’ dan makan sahur
  13. Bertekad untuk belajar seumur hidup.[9]
D. Etika Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
            Sebagaimana perihal guru, Al Ghozali telah menggambarkan beberapa syarat yang tegas dan ketat bagi para murid. Upaya-upaya tersebut hendaknya dilakukan dengan ikhlas dan tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dibawah ini akan kami uraikan beberapa etika peserta didik yang sesuai dengan ajaran Islam, yakni :
  1. Sebelum memulai belajar murid hendaknya mencampakkan semau kebiasaan yang kotor dan rendah, dan perilaku yang tercela.
  2. Murid harus selalu menjaga pikiran, telinga, dan matanya agar tetap terbuka untuk memperoleh pelajaran dari setiap fenomena (gejala) dunia yang bagus ataupun yang jelek.
  3. Pendamping imam (murid) yang baru hendaknya menuruti pengajar atau gurunya dengan cara yang sama seperti pasien yang dengan penuh keyakinan melaksanakan perintah-perintah dokter untuk kesembuhannya.
  4. Murid harus menspesialisasikan diri dalam suatu cabang tertentu diantara ilmu pengetahuan yang kreatif dan positif sebagai bagian dari manfaat yang asli daripada menjadi orang yang serba tahu, tetapi tidak menguasai satupun.
  5. Seyogyanya seorang murid tidak memperturutkan segala pertentangan akademik dari permulaan karirnya sebagai murid.
  6. Didalam spesialisasipun seorang murid harus mendapatkan ilmu pengetahuan yang khusus dengan mencapai tingkat yang memadai, bukan asal-asalan yang sembarangan.[10]
BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
  1. Peserta didik merupakan unsur terpenting bagi terlaksanya kegiatan pendidikan. Sebab ia merupakan obyek dan sekaligus subyek dan mitra pendidikan, sehingga sehebat dan selengkap apapun unsur-unsur lainnya, jika peserta didik tidak ada atau tidak dipedulikan, maka dapat dipastikan kegiatan pendidikan tidak dapat terlaksana dan berjalan dengan baik.
  2. Diantara sifat-sifat yang harus dimiliki bagi peserta didik adalah : Bersikap tawadhu’ atau rendah hati, berhias dengan moral dan akhlaq yang baik, bersungguh-sungguh dan tekun belajar, saling mempererat tali persaudaraan, memiliki sifat tabah, dan wira’.
  3. Tugas dan tanggung jawab peserta didik diantaranya : sebelum belajar hendaknya membersihkan hati dari sifat tercela, bersedia mencari ilmu walaupun meninggalkan keluarga, tempat jauh, bertekad mencari ilmu sepanjang hayat, menjaga pikiran dari pertentangan aliran, mempelajari ilmu terpuji dan mendalam,
  4. Peserta didik dalam mencari ilmu harus memiliki etika yang baik diantaranya : niat karena Allah, sopan-santun pada guru, berakhlaq yang baik terhadap guru maupun temannya

B. Saran-Saran
  1. Sebaiknya sebagai seorang murid, niat belajar karena Allah, belajar dengan sungguh-sungguh dan hormat kepada guru.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, M. Athiah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Dojhar Bahry, Jakarta : Bulan Bintang, 1990, Cet. VI
Jalaluddin. Teologi Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. III
Khan, Shafique Ali, Filsafat Pendidikan Al Ghozali : Gagasan, Konsep, Teori dan Filsafat Ghozali mengenai Pendidikan, Pengetahuan dan Belajar, Bandung: CV Pustaka Setia, 2005.
Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami : Membangun Kerangka Ontologi, Epistomologio dan Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung : Cipta Pustaka Media Perintis, 2008.
Syafaruddin, et-al. Ilmu Pendidikan Islam : Melejitkan Potensi Budaya Umat, Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2008, Cet. II
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam : Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu memanusiakan manusia, Bandung : PT Remaja Rosdaka karya,2008.
Zainuddin dan Mohd. Nasir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Cipta Pustaka Media Perintis, 2010.




[1] Ahmad Tafsir,Filsafat Pendidikan Islam : Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu memanusiakan manusia, (Bandung : PT Remaja Rosdaka karya,2008),  cet. 3
[2] Jalaluddin. Teologi Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. III, hal 145
[3] Ibid hal 88
[4] Syafaruddin, et-al. Ilmu Pendidikan Islam : Melejitkan Potensi Budaya Umat, (Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2008), Cet. II, h. 46-47
[5] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/12/peserta-didik-dalam-perspektif-filsafat.html
[6] Zainuddin dan Mohd. Nasir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Cipta Pustaka Media Perintis, 2010),
[7] Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami : Membangun Kerangka Ontologi, Epistomologio dan Aksiologi Praktik Pendidikan, (Bandung : Cipta Pustaka Media Perintis, 2008), h. 152
[8] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/12/peserta-didik-dalam-perspektif-filsafat.html
[9] M. Athiah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Dojhar Bahry (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), Cet. VI, h. 147-148
[10] Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al Ghozali : Gagasan, Konsep, Teori dan Filsafat Ghozali mengenai Pendidikan, Pengetahuan dan Belajar (Bandung: CV Pustaka Setia).2005 h. 109-111