Oleh : Ahmad Sholihin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Taqwa adalah
kumpulan semua kebaikan yang hakikatnya merupakan tindakan seseorang untuk
melindungi dirinya dari hukuman Allah dengan ketundukan total kepada-Nya.
Asal-usul taqwa adalah menjaga dari kemusyrikan, dosa dari kejahatan dan
hal-hal yang meragukan (syubhat).
Seruan Allah pada
surat Ali Imran ayat 102 yang berbunyi, “Bertaqwalah kamu sekalian dengan
sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam
keadaan muslim”, bermakna bahwa Allah harus dipatuhi dan tidak ditentang,
diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.
Taqwa adalah
bentuk peribadatan kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya dan jika kita
tidak melihat-Nya maka ketahuilah bahwa Dia melihat kita. Taqwa adalah tidak terus menerus melakukan maksiat
dan tidak terpedaya dengan ketaatan. Taqwa kepada Allah adalah jika dalam
pandangan Allah seseorang selalu berada dalam keadaan tidak melakukan apa yang
dilarang-Nya, dan Dia melihatnya selalu.
Umar bin Abdul
Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa “ketakwaan bukanlah menyibukkan diri
dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib”. Beliau rahimahullah
berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari,
sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan
kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan
segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu
dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan
Termasuk dalam
cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah
dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata
cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di
setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan
selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian
atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy
al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah
B. Rumusan Masalah
1.
Apa itu taqwa?
2.
Bagaimana ruang lingkup taqwa?
3.
Bagaimana ciri- ciri orang bertaqwa?
C. Tujuan Penulisan
1.
Ingin mengetahui apa itu taqwa?
2.
Ingin mengetahui bagaimana ruang lingkup taqwa?
3.
Ingin mengetahui bagaimana ciri- ciri orang
bertaqwa?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Kedudukan Taqwa
Taqwa
berasal dari kata waqa, yaqi dan wiqayah yang berarti takut, menjaga,
memelihara dan melindungi. Maka taqwa dapat diartikan sebagai
sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengalaman ajaran agama islam. Taqwa secara bahasa berarti penjagaan/
perlindungan yang membentengi manusia dari hal-hal yang
menakutkan dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, orang
yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah
berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan perintah-Nya dan
tidak melanggar larangan-Nya kerena takut terjerumus ke
dalam perbuatan dosa.
Taqwa
adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat dan waspada terhadap
sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar,
pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan pada orang lain,
diri sendiri dan lingkungannya.
Dari
berbagai makna yang terkandung dalam taqwa, kedudukannya sangat penting
dalam agama islam dan kehidupan manusia karena taqwa adalah
pokok dan ukuran dari segala pekerjaan seorang muslim.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa “ketakwaan bukanlah
menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib”.
Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan
berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan
tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang
diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa
yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan
di atas kebaikan.
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang
datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at,
bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah
itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya
seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan
tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang
(lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah
- Hubungan manusia dengan Allah SWT
- Hubungan manusia dengan hati nuranui dan dirinya sendiri
- Hubungan manusia dengan sesama manusia
- Hubungan manusia dengan lingkungan hidup
Hubungan dengan Allah SWT
Seorang yang
bertaqwa (muttaqin) adalah seorang yang menghambakan dirinya kepada
Allah SWT dan selalu menjaga hubungan dengannya setiap saat
sehingga kita dapat menghindari dari kejahatan dan kemunkaran serta membuatnya konsisten terhadap aturan-aturan Allah. Memelihara hubungan
dengan Allah dimulai dengan melaksanakan ibadah secara
sunguh-sungguh dan ikhlas seperti mendirikan shalat
dengan khusyuk sehingga dapat memberikan warna dalam
kehidupan kita, melaksanakan puasa dengan ikhlas dapat
melahirkan kesabaran dan pengendalian diri, menunaikan zakat dapat mendatangkan sikap peduli dan menjauhkan kita dari ketamakan. Dan hati
yang dapat mendatangkan sikap persamaan, menjauhkan dari takabur
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Segala
perintah-perintah Allah tersebut ditetapkannya bukan
untuk kepentingan Allah sendiri melainkan merupakan untuk
keselamatan manusia.
Ketaqwaan
kepada Allah dapat dilakukan dengan cara beriman kepada Allah menurut
cara-cara yang diajarkan-Nya melalui wahyu yang sengaja diturunkan-Nya
untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia, seperti yang terdapat dalam surat Ali-imran ayat 138 yang artinya:
“inilah (Al-quran) suatu ketenangan
bagi manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa “.
(QS. Ali-imran 3:138)
manusia juga harus beribadah
kepada Allah dengan menjalankan shalat lima waktu, menunaikan
zakat, berpuasa selama sebulan penuh dalam setahun,
melakukan ibadah haji sekali dalam seumur hidup, semua itu kita lakukan menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Sebagai
hamba Allah sudah sepatutnya kita bersyukur atas segala nikmat
yang telah diberikan-Nya, bersabar dalam menerima segala
cobaan yang diberikan oleh Allah serta memohon ampun atas
segala dosa yang telah dilakukan.
Hubungan manusia dengan
dirinya sendiri
Selain kita harus
bertaqwa kepada Allah dan berhubungan baik dengan sesama serta lingkungannya,
manusia juga harus bisa menjaga hati nuraninya dengan baik
seperti yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dengan
sifatnya yang sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah,
mawas diri dll. Selain itu manusia
juga harus bisa mengendalikan hawa nafsunya karena tak banyak diantara umat manusia yang tidak
dapat mengendalikan hawa
nafsunya sehingga semasa hidupnya hanya menjadi budak nafsu belaka seperti yang tertulis dalam Al-quran
Surat Yusuf ayat 53 yang artinya:
“Dan aku
tidak membebaskan diriku (berbuat kesalahan), sesungguhnya nafsu itu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali siapa yang diberi rahmat oleh tuhanku. Sesungguhnya tuhanku maha pengampum lagi maha penyayang”. (QS. Yusuf 12:53)
Maka
dari itu umat manusia harus bertaqwa kepada Allah dan diri sendiri agar
mampu mengendalikan hawa nafsu tersebut. Ketaqawaan terhadap
diri sendiri dapat ditandai dengan ciri-ciri, antara lain :
1) Sabar
2) Tawaqal
3) Syukur
4) Berani
2) Tawaqal
3) Syukur
4) Berani
Sebagai
umat manusia kita harus bersikap sabar dalam menerima apa saja yang
datang kepada dirinya, baik perintah, larangan maupun musibah. Sabar dalam menjalani segala perintah Allah karena dalam pelaksanaan
perintah tersebut terdapat upaya untuk mengendalikan diri agar perintah
itu bisa dilaksanakan dengan baik. Selain bersabar,
manusia juga harus selalu berusaha dalam menjalankan
segala sesuatu dan menyerahkan hasilnya kepada Allah
(tawaqal) karena umat manusia hanya bisa berencana tetapi Allah yang menentukan, serta selalu bersyukur atas apa yang telah
diberikan Allah dan berani dalam menghadapi resiko dari
seemua perbuatan yang telah ditentukan.
Hubungan manusia dengan manusia
Agama
islam mempunyai konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan, kemasyarakatan,
kebangasaan dll. Semua konsep tersebut memberikan gambaran
tentang ajaran-ajaran yang berhubungan dengan manusia dengan manusia (hablum minannas) atau disebut pula sebagai ajaran
kemasyarakatan, manusia diciptakan oleh Allah terdiri
dari laki-laki dan perempuan. Mereka hidup
berkelompok-kelompok, berbangsa-bangsa dan bernegara. Mereka saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia dirsebut sebagai
makhluk social. Maka tak ada tempatnya diantara mereka saling
membanggakan dan menyombongkan diri., sebab kelebihan suatu kaum
tidak terletak pada kekuatannya, harkat dan martabatnya,
ataupun dari jenis kelaminnya karena bagaimanapun semua
manusia sama derajatnya dimata allah, yang membedakannya
adalah ketaqwaannya. Artinya orang yang paling bertaqwa
adalah orang yang paling mulia disisi allah swt.
Hubungan
dengan allah menjadi dasar bagi hubungan sesama manusia. Hubungan
antara manusia ini dapat dibina dan dipelihara antara lain dengan mengembangkan cara dan gaya hidupnya yang selaras dengan nilai dan
norma agama, selain itu sikap taqwa juga tercemin dalam
bentuk kesediaan untuk menolong orang lain, melindungi
yang lemah dan keberpihakan pada kebenaran dan keadilan.
Oleh karena itu orang yang bertaqwa akan menjadi motor
penggerak, gotong royong dan kerja sama dalam segala bentuk kebaikan dan kebijakan.
Surat Al-baqarah ayat 177:
“Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatukebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada allah,
hari kemudian, malaikat, kitab, nabi, danmemberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, oaring miskin, musafir(yang
memerlukan pertolongan), dan orang-orangyang meminta-minta, dan
(merdekakanlah)hamba sahaya, mendirikan shalat danmenunaikan
zakat. Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji dan orang yang bersabar dalam kesempatan,
penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang
yang benar(imannya)mereka itulah orang yang bertaqwa. (Al- baqarah
2:177).
Dijelaskan
bahwa ciri-ciri orang bertaqwa ialah orang yang beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat dan kitab Allah. Aspek tersebut merupakan
dasar keyakinan yang dimiliki orang yang bertaqwa dan dasar hubungan dengan Allah. Selanjutnya Allan menggambarkan hubungan
kemanusiaan, yaitu mengeluarkan harta dan orang-orang menepati
janji. Dalam ayat ini Allah menggambarkan dengan jelas
dan indah, bukan saja karena aspek tenggang rasa terhadap
sesama manusia dijelaskan secara terurai, yaitu siapa
saja yang mesti diberi tenggang rasa, tetapi juga mengeluarkan harta diposisikan antar aspek keimanan dan shalat
Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup
Taqwa
dapat di tampilkan dalam bentuk hubungan seseorang dengan lingkungan
hidupnya. Manusia yang bertakwa adalah manusia yang memegang
tugas kekhalifahannya di tengah alam, sebagai subjek yang bertanggung jawab menggelola dan memelihara lingkungannya. Sebagai
penggelola, manusia akan memanfaatkan alam untuk kesejahteraan
hidupnya didunia tanpa harus merusak lingkungan disekitar
mereka. Alam dan segala petensi yang ada didalamnya telah
diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan menjadi barang jadi yang berguna bagi manusia.
Alam
yang penuh dengan sumber daya ini mengharuskan manusia untuk bekerja keras
menggunakan tenaga dan pikirannya sehingga dapat menghasilkan
barang yang bermanfaat bagi manusia. Disamping itu, manusia bertindak pula sebagai penjaga dan pemelihara lingkungan alam. Menjaga
lingkunan adalah memberikan perhatian dan kepedulian kepada lingkungan hidup dengan saling memberikan manfaat. Manusia memanfaatkan lingkungan untuk kesejahteraan hidupnya tanpa harus merusak dan
merugikan lingkungan itu sendiri.
Orang
yang bertaqwa adalah orang yang mampu menjaga lingkungan dengan
sebaik-baiknya. Ia dapat mengelola lingkungan sehingga dapat bermanfaat dan juga memeliharanya agar tidak habis atau musnah.
Fenomena kerusakan lingkungan sekarang ini menunjukan
bahwa manusia jauh dari ketaqwaan. Mereka mengeksploitasi
alam tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi pada
lingkungan itu sendiri dimasa depan sehingga mala petaka membayangi
kehidupan manusia. Contoh dari mala petaka itu adalah hutan yang dibabat habis oleh manusia mengakibatkan bencana banjir dan erosi
tanah sehingga terjadi longsor yang dapat merugikan manusia.
Bagi
orang yang bertaqwa, lingkungan alam adalah nikmat Allah yang harus
disyukuri dengan cara memenfaatkan dan memelihara lingkungan tersebut dengan sebaik-baiknya. Disamping itu alam ini juga adalah
amanat yang harus dipelihara dan dirawat dengan baik.
Mensyukuri nikmat Allah dengan cara ini akan menambah
kualitas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia.
Sebaliknya orang yang tidak bersyukur terhadap nikmat Allah
akan diberi azab yang sangat menyedihkan. Azab Allah dalam kaitan ini adalah bencana alam akibat eksploitasi alam yang tanpa batas karena
kerusakan manusia.
Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-yat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS.7:96)
Ciri- ciri Orang Taqwa
Menurut Al-qur'an
A. Surat al baqarah 2 - 5 :Al Kitab ini (Al Quran) adalah petunjuk buat orang
yang bertaqwa, dengan ciri sebagai berikut:
1. Beriman pada yang ghaib
2. Mendirikan salat
3. Menafkahkan sebagaian rezeki yang ALlah
kurniakan kepadanya
4. Beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu (Muhammad saw) dan sebelum mu.
5. Yakin kepada hari akhirat
Setiap
manusia tak kira agama apapun memungkinkan untuk menjadi insan yang taqwa,
Mendirikan salat misalnya, Dalam bahasa melayu "salat" disebutnya
juga sembahyang.Setiap agama mengajarkan sembahyang, Hanya cara, metoda, waktu
dan tempat yang berbeda-beda.
B. Surat Al baqarah 177, Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa
dengan ciri-ciri sbb :
1. Beriman kepada Allah(Tuhan YME),hari
akhirat,malaikat-malaikat,kitab-kitab,nabi-nabi
2. Memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat,anak-anak yatim,orang-orang miskin,musafir (orang dalam
perjalanan),orang yang meminta-minta.
3. Membebaskan perbudakan
4. Mendirikan salat
5. Menunaikan zakat
6. Memenuhi janji bila berjanji
7. Bersabar dalam dalam
kesengsaraan,penderitaan dan dalam waktu peperangan.
C. Surat Aali 'Imraan 133 - 135, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhan mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan
bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu :
1. Orang-orang yang menafkahkan (hartanya)
pada waktu lapang maupun sempit
2. Orang-orang yang menahan amarahnya
3. Orang-orang yang memaafkan kesalahan orang
lain
4. Dan (juga) orang-orang yang apabila
berbuat keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada ALlah dan memohon
ampun atas dosa-dosanya.
5. Dan Mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Amal
ibadah itu sama, ada yang lahir maupun yang batin adalah syariat. Kita beramal
dan bersyariat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Untuk mendapat ridho, kasih sayang dan kekuasaan Allah. Untuk mendapat
pemeliharaan, perlindungan dan keselamatan dari Allah. Atau
dengan kata lain, untuk mendapat taqwa. Segala amalan itu untuk menambah
taqwa. Kerana Allah hanya menerima ibadah dari orang-orang yang
bertaqwa. Allah hanya membela, membantu dan melindungi
orang-orang yang bertaqwa. Hanya orang-orang yang
bertaqwa saja yang akan selamat di sisi Allah Ta’ala.
Dari
berbagai makna yang terkandung dalam taqwa, kedudukannya sangat penting
dalam agama islam dan kehidupan manusia karena taqwa adalah
pokok dan ukuran dari segala pekerjaan seorang muslim.
Taqwa tidak hanya
berhubungan dengan Allah swt, tetapi juga berhubungan dengan manusia dengan
dirinya sendiri, antar sesama manusia, dan dengan Lingkungan Hidup.
DAFTAR PUSTAKA
file:///F:/agama/Makalah-Agama-Taqwa.html
Azra.
Azumardi, Dr. Prof. Dkk, Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi
Umum: Jakarta. 2002
Cholid, M, Drs. M, M.Ag, dkk. Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan
inggi, Bandung:STPDN Press, 2003
No comments:
Post a Comment