ULUMUL QUR'AN (nuzulul qur'an)
Diposkan oleh Ahmad Sholihin
NUZULUL QUR’AN
A. Pengertian Nuzulul Qur’an
Secara etimologis Nuzulul Qur’an terdapat dua kata yaitu kata Nuzul dan Al-Qur’an. Kata Nuzul memiliki beberapa pengertian. Menurut Ibn Faris, kata Nuzul berarti hubuth syay wa wuqu’uh, turun dan jatuhnya sesuatu.1 Sedang menurut al-Raghib al-Isfahaniy, kata Nuzul berarti الهُبُوْطُ مِنْ عُلُقٍّ اِلَى سَفْلٍ ,meluncur atau turun dari atas ke bawah.2 Kata nuzul, bisa juga berarti singgah atau tiba di tempat tertentu. Pengertian ini, sebagaimana dikatakan al-Zamakhsari dalam kitabnya asas al-Balaghah, menganggap pengertiannya ini sebagai makna hakiki.
Menurut al-Zarqoni, kata Nuzul di ungkapkan dalam penuturanya yang lain untuk pengertian perpindahannya sesuatu dari atas ke bawah.3 Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim dalam buku yang mereka tulis bersama, kedua guru besar ‘Ulum Qur’an dari Al-Azhar Kairo ini mengartikan Nuzul adalah turun secara berangsur dan kadang sekaligus.4
Di dalam hubungannya dengan pembahasan Nuzulul Qur’an, kata Syekh Abd al-Wahhab Abd al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan fi Mabahitsi ‘Ulum Al-Qur’an-nya, bahwa yang disebut dengan nuzul, adalah turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Oleh karena dalam konteks Al-Qur’an, nuzul yang berarti turun itu bukan berbentuk fisik, tetapi mengandung pengertian majaziy. Dan apabila yang dimaksud turun adalah lafadz, maka nuzul bearti Al-Isyal (penyampaian) dan Al-I’lamm (penginformasian).
1Abi al-Hussein Ahmad Ibn Faris ibn Zakariya, Maqoyis al-Lughoh (Bairut: Dar al-‘Ilm Li al-Malayyin, t.t.), hlm.342 (http:samsulabidin.wordpress.com.html)
2Al-Raghib sal-Isfahaniy, al-Mufradat fi aAlfadz Alqur’an al-Karim (Bairut: Dar al-Fikr, 1982), hlm.824 (http:samsulabidin.wordpress.com.html)
3Muhammad ‘Abd al-‘Azrqoni, Mahahil Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, jilid I (Berut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 41. (http:samsulabidin.wordpress.com.html)
4 Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 1994), hlm. 23
Sedangkan Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada surat Al-Qiyamat ayat 17 dan 18 yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.
Bearti secara Terminologi Nuzulul Qur’an adalah merupakan peristiwa turunnya ayat al-Quran yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW. hingga seterusnya berperingkat-peringkat menjadi lengkap sebagaimana kitab al-Quran yang ada pada hari ini.
B. Tahapan Nuzulul Qur’an
1. Tahap pertama, Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22.
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ. فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ
Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua argumentasi. Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua, karena rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur.
2. Tahap kedua, Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’ al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Fahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
حم . وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ . إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ . فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ. أَمْراً مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ . رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.
3. Tahap ketiga, Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ (194)
Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً (32)
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
C. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Berangsur-angsur
Diantara hikmah diturunkannya al-qur’an secara bertahap:5
1. Meneguhkan hati Rasulullah saw. Dalam melaksanakan tugasnya, kendati ia menghadapi hambatan dan tantangan. Disamping itu dapat juga menghibur hati beliau pada saat menghadapi kesulitan, kesedihan atau perlawanan dari orang-orang kafir.
2. Untuk memudahkan nabi saw. dalam menghafal lafadz al-Qur’an, mengingat al-Qur’an bukan sya’ir atau prosa, tetapi kalam Allah yang sangat berbobot isi maknanya, sehingga memerlukan hafalan dan kajian secara kusus.
3. Agar mudah dimengerti dan dilaksanakan segala isinya oleh umat islam.
5Supiana, M.Ag, & M. Karman, M.Ag. dalam bukunya Ulumul Qur’an, yang mereka kutip dari Muhammad Bakir Isma’il, Dirasat fi ‘Ulum Alqur’an, hlm.34-37.
4. Di antara ayat-ayat al-Qur’an, menurut ulama’ ada yang nasikh dan ada yang mansukh , sesuai dengan kemaslahatan. Hal ini tidak akan jelas jika al-Qur’an di Nuzulkan secara sekaligus.
5. Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup semasa dengan Nabi.
6. Untuk memberi kesempatan sebaik-baiknya kepada umat Islam untuk meninggalkan sikap mental atau tradisi-tradisi jahiliyah yang negatif secara berangsur-angsur.
7. Al-Qur’an yang di Nuzulkan secara periodik, sebenarnya mengandung kemukjizatan tersendiri. Bahkan hal itu dapat membangkitkan rasa optimisme pada diri Nabi, sebab setiap persoalan yang dihadapi dapat dicarikan jalan keluarnya dari penjelasan al-Qur’an.
8. Untuk membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar kalam Allah, bukan kalam Muhammad.
Tentang rentang waktu dimana Nabi Muhammad menerima Al-Qur’an, Abd al-Wahhab Abd al-majid Ghazlan dalam Mabahits fi’Ulum Al-Qur’an menerangkan tiga pendapat, yaitu : Pertama, bahwa Al-Qur’an diturunkan berturut-turut selama dua puluh tahun. Kedua, bahwa Al-Qur’an diturunkan selama dua puluh tiga tahun. Ketiga, Nabi Muhammad menerima Al-Qur’an selama dua puluh lima tahun. Dan tak satupun pendapat di atas yang menunjukkan secara cermat mengenai masa dimana Rasulullah menerima Al-Qur’an.
Seperti diketahui bahwa Muhammad bin Abdullah lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan pada usia 40 tahun, malam jum’at tanggal 17 bulan Ramadhan beliau menerima ayat Al-Qur’an yang pertama. Dan Rasulullah wafat pada usia 63 tahun pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal juga. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa Rasulullah SAW. menerima wahyu Al-Qur’an selama 22 tahun 6 bulan.6 Tetapi ada yang berpendapat bahwa Al-Quran diturunkan berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari (23 tahun), dengan 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.7
6Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an (Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 1994), hlm. 28
7Dr. Aswadi Syuhadak, M.Ag., Metode dan Materi Pendidikan Melalui Pendekatan Nuzul Al-Qur’an,(http://blog.sunan-ampel.ac.id/pendekatan-nuzul-al-quran : 2010)
D. Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Nabi dan Khulafaurrasyidin
1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an turun kepada Nabi yang Ummi yaitu tidak bisa membaca dan menulis. Karena itu perhatian Nabi hanya dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayati agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah beliau membacakan kepada orang-orang dengan berita terang agar merekapun dapat menghafalkannya serta memantapkannya.
Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an beliau membacanya di depan para sahabat, kemudian para sahabat menghafal ayat-ayat tersebut sampai di luar kepala. Namun beliau menyuruh Kuttub (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterima. Diantara penulis wahyu adalah Zayd bin Tsabit. Adapun caranya mereka menulis Al-Qur’an yaitu mereka menulisnya di pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang dan sebagainya.
Sudah menjadi ciri khas bagi umat Nabi Muhammad bahwa kitab suci Al-Qur’an bisa dihafalakan dalam hati. Berbeda dengan para ahli kitab, dari mereka tidak seorangpun yang hafal taurat atau injil. Dalam mengabdikannya mereka hanya berpedoman dengan bentuk tulisan saja. Karena itu masuklah unsur-unsur perubahan dan pergantian pada keduanya. Berbeda dengan Al-Qur’an ia telah dipelihara Allah SWT. dengan berupa pertolongan ilahi dengan mudah menghafalnya.
Pada peperangan badar, orang-orang musyrikin yang di tawan oleh Nabi,yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang,tetapi pandai menulis baca,masing-masingnya di haruskan mengajar sepuluh orang muslim menulis dan membaca sebagai ganti tebusan.
Di dalam Al-Qur'an pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Karena itu bertambahlah keinginan mereka untuk belajar menulis dan membaca,dan bertambah banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah di turunkan.Nabi sendiri mempunyai beberapa penulis yang bertugas menuliskan Al-Qur'an untuk beliau.Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah Ali bin Abi Tholib,Utsman bin Affan,Ubay bin Ka'ab,Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.Yang terbanyak menuliskan ialah Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.
Dengan demikian terdapatlah di masa Nabi tiga unsur yang tolong-menolong memelihara Al-Qur'an yang telah di turunkan itu.
1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur'an.
2. Naskah-naskah yang di tulis untuk Nabi.
3. Naskah-naskah yang di tulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Dalam pada itu oleh Jibril di adakan ulangan (repetisi) sekali setahun. Di waktu ulangan itu Nabi di suruh mengulang memperdengarkan Al-Qur'an yang telah di turunkan.Di tahun dia wafat ulangan itu di adakan oleh Jibril dua kali. Nabi sendiri sering pula mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya,maka sahabat-sahabat itu di suruh beliau membacakan Alqur'an itu di mukanya,untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi wafat Al-Qur'an itu telah sempurna di turunkan dan telah di hafal oleh ribuan manusia,dan telah di tuliskan semua ayat-ayatnya.
2. Pada Masa Khulafaurrasyidin
a. Masa Abu Bakar
Pada masa Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang menelan banyak korban gugur sebagai syuhada’. Di antara para syuhada’ tersebut termasuklah para huffazh (penghafal Alquran) yang jumlahnya sekitar 70 orang, bahkan menurut suatu riwayat samapai 500 orang. Peristiwa ini menggugah hati Umar bin al-Khaththab untuk mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Alquran ditulis kembali dan dibukukan dalam satu mushaf. Karena dikhawatirkan Alquran akan hilang dengan hilangnya para huffazh. Melalui dialog dan adu argumentasi, akhirnya usulan Umar ini diterima oleh Abu Bakar.
Selanjutnya, Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Alquran dalam satu Mushhaf. Penunjukan ini didasarkan pada kredibilitas Zaid sebagai salah seorang penulis wahyu pada masa Nabi. Lalu Zaid pun bekerje dengan mengumpulkan dan memeriksa ayat-ayat Alquran yang ditulis dihadapan Nabi pada kepingan-kepingan pelepah kurma, batu-batu, dll. yang tersimpan di rumah kediaman Nabi. Sumber lain dalam penulisan ini juga di dapat dari hafalan para sahabat penghafal Alquran.
Usaha kodifikasi ini dilakukan Zaid dengan sangat teliti. Hal ini terlihat ketika Zaid tidak menemukan dua ayat terakhir surat at-Taubah, sementara ayat tersebut ada dalam hafalannya dan hafalan para sahabat yang lain, maka beliau pun terus mencari dan akhirnya menemukan catatan dimaksud pada Abu Khuzaimah al-Anshary. Selain itu, bukti ketelitian ini juga terlihat, bahwa catatan dan tulisan tersebut baru diakui sebagai berasal dari Nabi apabila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Demikianlah Zaid bin Tsabit mengerjakan tugas kodifikasi ini yang hasilnya Alquran terkumpul dalam satu Mushaf. Selanjutnya, Mushhaf ini disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya.
b. Masa Usman bin Affan
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin ‘Affan penyebaran Islam semakin meluas ke berbagai daerah. Begitu pula para sahabat ahli qiraat dan penghafal Alquran, mereka berpencar tempat tinggalnya, sejalan dengan terpencarnya kaum muslimin. Setiap sahabat ahli qiraat mengajarkan qiraat Alquran yang qiraatnya, kadangkala berbeda antara sahabat yang satu dengan yang lain kepada kaum muslimin di tempat tinggalnya masing-masing. Ubayy bin Ka’ab, umpamanya, mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Syam; Abdullah Ibnu Mas’ud mengajarkan Alquran kepada penduduk Kufah, Abu Musa Al-Asy’ari mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Bashrah, dan demikian seterusnya.
Konsekwensi perbedaan qiraat yang diajarkan oleh masing-masing sahabat tersebut berakibat pada perpecahan di kalangan umat Islam. Indikasi akan terjadinya perpecahan ini tertangkap oleh Hudzaifah bin al-Yaman, ketika ia sedang memimpin penduduk Siria dan Irak dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Pasukan yang berasal dari Siria ternyata berbeda dalam membaca Alquran dengan pasukan dari Irak. Mereka bertengkar karena masing-masing mempertahankan kebenaran bacaannya. Hal ini mencemaskan Hudzaifah dan mendorongnya untuk melaporkan pertengkaran tersebut kepada Khalifah Utsman bin Affan. Ia berkata kepada Khalifah, “Ya Amir al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertikai tentang Kitab Allah, sebagaimana yang terjadi pada umat Yahudi dan Nashrani pada masa lalu”.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka Khalifah Usman membentuk suatu tim yang terdiri dari: (1) Zayd bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubayr, (3) Sa’id bin al-‘Ash, dan (4) Abd. Rachman bin Harits bin Hisyam. Kepada tim ini Khalifah memerintahkan untuk menggandakan (menulis kembali) Mushhaf Alquran yang ditulis pada masa Abu Bakar menjadi beberapa buah mushhaf. Mushaf-mushaf tersebut dikirimkan ke berbagai daerah untuk dijadikan rujukan oleh umat Islam jika terjadi perselisihan dalam qiraat Alquran. Mengenai banyaknya mushhaf yang dikirim ke berbagai daerah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Abu ‘Amr al-Dani, jumlahnya ada empat: satu disimpan di Madinah, tiga lainnya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus. Sedangkan menurut Az-Zarqani, mushhaf tersebut ditulis sebanyak enam eksamplar, masing-masing dikirimkan ke Mekkah, Syam, Bashrah, Kufah dan Madinah. Kemudian satu eksamplar lagi disimpan sendiri oleh Khalifah, yang dikenal sebagai Mushhaf al-Imam (Mushhaf Induk).
E. Pemeliharaan Al-Qur’an Setelah Masa Khulafaurrasyidin
Mushaf yang ditulis atas perintah Ustman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh, ketika banyak orang non-Arab yang memeluk islam mereka merasa kesulitan membaca mushaf itu, oleh karena itu pada masa khalifah Abd Al-Malik (685-705) dilakukan penyempurnaannya. Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M).
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki, Kamaludin. 1994. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung : Remaja Rosdakarya
H. Ahmad Syadali, M.A. dan Drs. H. Ahmad Rofi’i, Drs. 1997. Ulumul Quran I. Bandung : CV. Pustaka Setia
Ahmad Muin, Masran. 2008. Bahan Diskusi Kelas Ulumul Quran. http://ulumulquran2007.blogspot.com
Al Haramain asy Syarifin Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Sa'ud, Khadim. 2009. Pemeliharaan kemurnian Alqur'an di masa Nabi s.a.w. http://aishalife-line-myislam.blogspot.com
Abidin, Samsul. 2009. Nuzulul Qur’an. http://samsulabidin.wordpress.com
Diposkan oleh Ahmad Sholihin
NUZULUL QUR’AN
A. Pengertian Nuzulul Qur’an
Secara etimologis Nuzulul Qur’an terdapat dua kata yaitu kata Nuzul dan Al-Qur’an. Kata Nuzul memiliki beberapa pengertian. Menurut Ibn Faris, kata Nuzul berarti hubuth syay wa wuqu’uh, turun dan jatuhnya sesuatu.1 Sedang menurut al-Raghib al-Isfahaniy, kata Nuzul berarti الهُبُوْطُ مِنْ عُلُقٍّ اِلَى سَفْلٍ ,meluncur atau turun dari atas ke bawah.2 Kata nuzul, bisa juga berarti singgah atau tiba di tempat tertentu. Pengertian ini, sebagaimana dikatakan al-Zamakhsari dalam kitabnya asas al-Balaghah, menganggap pengertiannya ini sebagai makna hakiki.
Menurut al-Zarqoni, kata Nuzul di ungkapkan dalam penuturanya yang lain untuk pengertian perpindahannya sesuatu dari atas ke bawah.3 Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim dalam buku yang mereka tulis bersama, kedua guru besar ‘Ulum Qur’an dari Al-Azhar Kairo ini mengartikan Nuzul adalah turun secara berangsur dan kadang sekaligus.4
Di dalam hubungannya dengan pembahasan Nuzulul Qur’an, kata Syekh Abd al-Wahhab Abd al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan fi Mabahitsi ‘Ulum Al-Qur’an-nya, bahwa yang disebut dengan nuzul, adalah turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Oleh karena dalam konteks Al-Qur’an, nuzul yang berarti turun itu bukan berbentuk fisik, tetapi mengandung pengertian majaziy. Dan apabila yang dimaksud turun adalah lafadz, maka nuzul bearti Al-Isyal (penyampaian) dan Al-I’lamm (penginformasian).
1Abi al-Hussein Ahmad Ibn Faris ibn Zakariya, Maqoyis al-Lughoh (Bairut: Dar al-‘Ilm Li al-Malayyin, t.t.), hlm.342 (http:samsulabidin.wordpress.com.html)
2Al-Raghib sal-Isfahaniy, al-Mufradat fi aAlfadz Alqur’an al-Karim (Bairut: Dar al-Fikr, 1982), hlm.824 (http:samsulabidin.wordpress.com.html)
3Muhammad ‘Abd al-‘Azrqoni, Mahahil Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, jilid I (Berut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 41. (http:samsulabidin.wordpress.com.html)
4 Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 1994), hlm. 23
Sedangkan Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada surat Al-Qiyamat ayat 17 dan 18 yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.
Bearti secara Terminologi Nuzulul Qur’an adalah merupakan peristiwa turunnya ayat al-Quran yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW. hingga seterusnya berperingkat-peringkat menjadi lengkap sebagaimana kitab al-Quran yang ada pada hari ini.
B. Tahapan Nuzulul Qur’an
1. Tahap pertama, Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22.
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ. فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ
Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua argumentasi. Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua, karena rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur.
2. Tahap kedua, Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’ al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Fahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
حم . وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ . إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ . فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ. أَمْراً مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ . رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.
3. Tahap ketiga, Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ (194)
Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً (32)
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
C. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Berangsur-angsur
Diantara hikmah diturunkannya al-qur’an secara bertahap:5
1. Meneguhkan hati Rasulullah saw. Dalam melaksanakan tugasnya, kendati ia menghadapi hambatan dan tantangan. Disamping itu dapat juga menghibur hati beliau pada saat menghadapi kesulitan, kesedihan atau perlawanan dari orang-orang kafir.
2. Untuk memudahkan nabi saw. dalam menghafal lafadz al-Qur’an, mengingat al-Qur’an bukan sya’ir atau prosa, tetapi kalam Allah yang sangat berbobot isi maknanya, sehingga memerlukan hafalan dan kajian secara kusus.
3. Agar mudah dimengerti dan dilaksanakan segala isinya oleh umat islam.
5Supiana, M.Ag, & M. Karman, M.Ag. dalam bukunya Ulumul Qur’an, yang mereka kutip dari Muhammad Bakir Isma’il, Dirasat fi ‘Ulum Alqur’an, hlm.34-37.
4. Di antara ayat-ayat al-Qur’an, menurut ulama’ ada yang nasikh dan ada yang mansukh , sesuai dengan kemaslahatan. Hal ini tidak akan jelas jika al-Qur’an di Nuzulkan secara sekaligus.
5. Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup semasa dengan Nabi.
6. Untuk memberi kesempatan sebaik-baiknya kepada umat Islam untuk meninggalkan sikap mental atau tradisi-tradisi jahiliyah yang negatif secara berangsur-angsur.
7. Al-Qur’an yang di Nuzulkan secara periodik, sebenarnya mengandung kemukjizatan tersendiri. Bahkan hal itu dapat membangkitkan rasa optimisme pada diri Nabi, sebab setiap persoalan yang dihadapi dapat dicarikan jalan keluarnya dari penjelasan al-Qur’an.
8. Untuk membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar kalam Allah, bukan kalam Muhammad.
Tentang rentang waktu dimana Nabi Muhammad menerima Al-Qur’an, Abd al-Wahhab Abd al-majid Ghazlan dalam Mabahits fi’Ulum Al-Qur’an menerangkan tiga pendapat, yaitu : Pertama, bahwa Al-Qur’an diturunkan berturut-turut selama dua puluh tahun. Kedua, bahwa Al-Qur’an diturunkan selama dua puluh tiga tahun. Ketiga, Nabi Muhammad menerima Al-Qur’an selama dua puluh lima tahun. Dan tak satupun pendapat di atas yang menunjukkan secara cermat mengenai masa dimana Rasulullah menerima Al-Qur’an.
Seperti diketahui bahwa Muhammad bin Abdullah lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan pada usia 40 tahun, malam jum’at tanggal 17 bulan Ramadhan beliau menerima ayat Al-Qur’an yang pertama. Dan Rasulullah wafat pada usia 63 tahun pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal juga. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa Rasulullah SAW. menerima wahyu Al-Qur’an selama 22 tahun 6 bulan.6 Tetapi ada yang berpendapat bahwa Al-Quran diturunkan berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari (23 tahun), dengan 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.7
6Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an (Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 1994), hlm. 28
7Dr. Aswadi Syuhadak, M.Ag., Metode dan Materi Pendidikan Melalui Pendekatan Nuzul Al-Qur’an,(http://blog.sunan-ampel.ac.id/pendekatan-nuzul-al-quran : 2010)
D. Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Nabi dan Khulafaurrasyidin
1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an turun kepada Nabi yang Ummi yaitu tidak bisa membaca dan menulis. Karena itu perhatian Nabi hanya dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayati agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah beliau membacakan kepada orang-orang dengan berita terang agar merekapun dapat menghafalkannya serta memantapkannya.
Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an beliau membacanya di depan para sahabat, kemudian para sahabat menghafal ayat-ayat tersebut sampai di luar kepala. Namun beliau menyuruh Kuttub (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterima. Diantara penulis wahyu adalah Zayd bin Tsabit. Adapun caranya mereka menulis Al-Qur’an yaitu mereka menulisnya di pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang dan sebagainya.
Sudah menjadi ciri khas bagi umat Nabi Muhammad bahwa kitab suci Al-Qur’an bisa dihafalakan dalam hati. Berbeda dengan para ahli kitab, dari mereka tidak seorangpun yang hafal taurat atau injil. Dalam mengabdikannya mereka hanya berpedoman dengan bentuk tulisan saja. Karena itu masuklah unsur-unsur perubahan dan pergantian pada keduanya. Berbeda dengan Al-Qur’an ia telah dipelihara Allah SWT. dengan berupa pertolongan ilahi dengan mudah menghafalnya.
Pada peperangan badar, orang-orang musyrikin yang di tawan oleh Nabi,yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang,tetapi pandai menulis baca,masing-masingnya di haruskan mengajar sepuluh orang muslim menulis dan membaca sebagai ganti tebusan.
Di dalam Al-Qur'an pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Karena itu bertambahlah keinginan mereka untuk belajar menulis dan membaca,dan bertambah banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah di turunkan.Nabi sendiri mempunyai beberapa penulis yang bertugas menuliskan Al-Qur'an untuk beliau.Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah Ali bin Abi Tholib,Utsman bin Affan,Ubay bin Ka'ab,Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.Yang terbanyak menuliskan ialah Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.
Dengan demikian terdapatlah di masa Nabi tiga unsur yang tolong-menolong memelihara Al-Qur'an yang telah di turunkan itu.
1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur'an.
2. Naskah-naskah yang di tulis untuk Nabi.
3. Naskah-naskah yang di tulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Dalam pada itu oleh Jibril di adakan ulangan (repetisi) sekali setahun. Di waktu ulangan itu Nabi di suruh mengulang memperdengarkan Al-Qur'an yang telah di turunkan.Di tahun dia wafat ulangan itu di adakan oleh Jibril dua kali. Nabi sendiri sering pula mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya,maka sahabat-sahabat itu di suruh beliau membacakan Alqur'an itu di mukanya,untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi wafat Al-Qur'an itu telah sempurna di turunkan dan telah di hafal oleh ribuan manusia,dan telah di tuliskan semua ayat-ayatnya.
2. Pada Masa Khulafaurrasyidin
a. Masa Abu Bakar
Pada masa Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang menelan banyak korban gugur sebagai syuhada’. Di antara para syuhada’ tersebut termasuklah para huffazh (penghafal Alquran) yang jumlahnya sekitar 70 orang, bahkan menurut suatu riwayat samapai 500 orang. Peristiwa ini menggugah hati Umar bin al-Khaththab untuk mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Alquran ditulis kembali dan dibukukan dalam satu mushaf. Karena dikhawatirkan Alquran akan hilang dengan hilangnya para huffazh. Melalui dialog dan adu argumentasi, akhirnya usulan Umar ini diterima oleh Abu Bakar.
Selanjutnya, Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Alquran dalam satu Mushhaf. Penunjukan ini didasarkan pada kredibilitas Zaid sebagai salah seorang penulis wahyu pada masa Nabi. Lalu Zaid pun bekerje dengan mengumpulkan dan memeriksa ayat-ayat Alquran yang ditulis dihadapan Nabi pada kepingan-kepingan pelepah kurma, batu-batu, dll. yang tersimpan di rumah kediaman Nabi. Sumber lain dalam penulisan ini juga di dapat dari hafalan para sahabat penghafal Alquran.
Usaha kodifikasi ini dilakukan Zaid dengan sangat teliti. Hal ini terlihat ketika Zaid tidak menemukan dua ayat terakhir surat at-Taubah, sementara ayat tersebut ada dalam hafalannya dan hafalan para sahabat yang lain, maka beliau pun terus mencari dan akhirnya menemukan catatan dimaksud pada Abu Khuzaimah al-Anshary. Selain itu, bukti ketelitian ini juga terlihat, bahwa catatan dan tulisan tersebut baru diakui sebagai berasal dari Nabi apabila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Demikianlah Zaid bin Tsabit mengerjakan tugas kodifikasi ini yang hasilnya Alquran terkumpul dalam satu Mushaf. Selanjutnya, Mushhaf ini disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya.
b. Masa Usman bin Affan
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin ‘Affan penyebaran Islam semakin meluas ke berbagai daerah. Begitu pula para sahabat ahli qiraat dan penghafal Alquran, mereka berpencar tempat tinggalnya, sejalan dengan terpencarnya kaum muslimin. Setiap sahabat ahli qiraat mengajarkan qiraat Alquran yang qiraatnya, kadangkala berbeda antara sahabat yang satu dengan yang lain kepada kaum muslimin di tempat tinggalnya masing-masing. Ubayy bin Ka’ab, umpamanya, mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Syam; Abdullah Ibnu Mas’ud mengajarkan Alquran kepada penduduk Kufah, Abu Musa Al-Asy’ari mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Bashrah, dan demikian seterusnya.
Konsekwensi perbedaan qiraat yang diajarkan oleh masing-masing sahabat tersebut berakibat pada perpecahan di kalangan umat Islam. Indikasi akan terjadinya perpecahan ini tertangkap oleh Hudzaifah bin al-Yaman, ketika ia sedang memimpin penduduk Siria dan Irak dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Pasukan yang berasal dari Siria ternyata berbeda dalam membaca Alquran dengan pasukan dari Irak. Mereka bertengkar karena masing-masing mempertahankan kebenaran bacaannya. Hal ini mencemaskan Hudzaifah dan mendorongnya untuk melaporkan pertengkaran tersebut kepada Khalifah Utsman bin Affan. Ia berkata kepada Khalifah, “Ya Amir al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertikai tentang Kitab Allah, sebagaimana yang terjadi pada umat Yahudi dan Nashrani pada masa lalu”.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka Khalifah Usman membentuk suatu tim yang terdiri dari: (1) Zayd bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubayr, (3) Sa’id bin al-‘Ash, dan (4) Abd. Rachman bin Harits bin Hisyam. Kepada tim ini Khalifah memerintahkan untuk menggandakan (menulis kembali) Mushhaf Alquran yang ditulis pada masa Abu Bakar menjadi beberapa buah mushhaf. Mushaf-mushaf tersebut dikirimkan ke berbagai daerah untuk dijadikan rujukan oleh umat Islam jika terjadi perselisihan dalam qiraat Alquran. Mengenai banyaknya mushhaf yang dikirim ke berbagai daerah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Abu ‘Amr al-Dani, jumlahnya ada empat: satu disimpan di Madinah, tiga lainnya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus. Sedangkan menurut Az-Zarqani, mushhaf tersebut ditulis sebanyak enam eksamplar, masing-masing dikirimkan ke Mekkah, Syam, Bashrah, Kufah dan Madinah. Kemudian satu eksamplar lagi disimpan sendiri oleh Khalifah, yang dikenal sebagai Mushhaf al-Imam (Mushhaf Induk).
E. Pemeliharaan Al-Qur’an Setelah Masa Khulafaurrasyidin
Mushaf yang ditulis atas perintah Ustman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh, ketika banyak orang non-Arab yang memeluk islam mereka merasa kesulitan membaca mushaf itu, oleh karena itu pada masa khalifah Abd Al-Malik (685-705) dilakukan penyempurnaannya. Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M).
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki, Kamaludin. 1994. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung : Remaja Rosdakarya
H. Ahmad Syadali, M.A. dan Drs. H. Ahmad Rofi’i, Drs. 1997. Ulumul Quran I. Bandung : CV. Pustaka Setia
Ahmad Muin, Masran. 2008. Bahan Diskusi Kelas Ulumul Quran. http://ulumulquran2007.blogspot.com
Al Haramain asy Syarifin Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Sa'ud, Khadim. 2009. Pemeliharaan kemurnian Alqur'an di masa Nabi s.a.w. http://aishalife-line-myislam.blogspot.com
Abidin, Samsul. 2009. Nuzulul Qur’an. http://samsulabidin.wordpress.com
No comments:
Post a Comment