Tuesday, 8 October 2013

TAKWA DAN KRITERIA TAKWA

TAKWA DAN KRITERIA TAKWA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia - Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “ TAKWA DAN KRITERIA TAKWA ”.
Makalah ini berisikan tentang takwa dan bagaimana tingkat ketakwaan kita. Diharapkan makalah ini dapat bermamfaat untuk kita semua  terlebih lagi untuk penulis.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalm penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.AMIN.
Depok, 02 Febuari 2013
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan
1.1              Latar Belakang Masalah…………………………………………………………….......
1.2              Rumusan Masalah ………..…………………………………………………………….
1.3              Tujuan Penulisan makalah ……………………………………………………………...
Bab II Pembahasan
1.1              Pengertian Takwa ………………………………………………………………………
1.2              Empat Kriteria Takwa ……………………. …………………………………………...
1.3              Unsur Takwa ……………………..,……………………………………………………
1.4              Tingkatan Takwa ……………………………………………………………………….
1.5              Syarat Takwa …………………………………………………………………………...
Bab III Penutup
1.1              Kesimpulan …………………………………..…………………………………………
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Kata “takwa” sangat sering kita dengar dalam ceramah-ceramah agama, sebagaimana kalimat ini mudah dan ringan diucapkan di lisan kita. Akan tetapi, sudahkah hakikat kalimat ini terwujud dalam diri kita secara nyata? Sudahkah misalnya ciri-ciri orang yang bertakwa yang disebutkan dalam ayat berikut ini terealisasi dalam diri kita?
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Qs. Ali ‘Imran: 134-135)
Maka mempraktekkan kalimat ini tidak semudah mengucapkannya, khususnya kalau kita mengetahui bahwa takwa yang sebenarnya adalah amalan hati dan bukan sekedar apa yang tampak pada anggota badan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takwa itu terletak di sini”, sambil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dada/hati beliau tiga kali.
Di sinilah letak sulitnya merealisasikan takwa yang hakiki, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, karena kalau anggota badan mudah kita kuasai dan tampakkan amal baik padanya, maka tidak demikian keadaan hati, sebab hati manusia tidak ada seorangpun yang mampu menguasainya kecuali Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi (menghalangi) antara manusia dan hatinya.” (Qs. al-Anfaal: 24)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya semua hati manusia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah Ta’ala), seperti hati yang satu, yang Dia akan membolak-balikkan hati tersebut sesuai dengan kehendak-Nya”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati (manusia), palingkanlah hati kami untuk (selalu) taat kepad-Mu.”
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apaka takwa itu ?
2.      Apa saja Kriteria takwa ?
3.      Apa saja tingkatan taqwa ?
4.      Apa sajakah syarat untuk bertaqwa ?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Memenuhi tugas agama islam mengenai Bab Taqwa.
2.      Agar kita bisa lebih memahami tentang Takwa.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1  Pengertian Takwa
Taqwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. Adapun arti lain dari taqwa adalah:
1. Melaksanakan segala perintah Allah
2. Menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah (haram)
3. Ridho (menerima dan ikhlas) dengan hukum-hukum dan ketentuan Allah
Taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. "memelihara diri dalam menjalani hidup sesuai tuntunan/petunjuk allah" Adapun dari asal bahasa arab quraish taqwa lebih dekat dengan kata waqa Waqa bermakna melindungi sesuatu, memelihara dan melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.
Dari kata waqa ini taqwa bisa di artikan berusaha memelihara dari ketentuan allah dan melindungi diri dari dosa/larangan allah. bisa juga diartikan berhati hati dalam menjalani hidup sesuai petunjuk allah.
1.2  Empat Kriteria Taqwa
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.   (QS. Ali Imran: 102).     
Apa saja kriteria takwa itu? Imam Ali ra mendefinisikan taqwa dalam empat kriteria, yakni Al-khouf bil Jalil wal hukmu bit tanzil wal isti’dad li yaumil rahil war ridho bil qolil. (Takut kepada Allah yang Maha Mulia, berhukum dengan al-Quran yang telah diturunkan, bersiap diri untuk hari akhir, dan ridho dengan bagian sedikit)

Pertama, Al-Kouf bil Jalil (Takut kepada Allah yang Maha Mulia). Yang dimaksud takut disini bukan seperti kepada algojo atau atasan yang jahat. Namun, yang dimaksud takut disini adalah takut karena kebesaran dan kemahabijaksanaan Allah SWT, sehingga dia takut jika melanggar aturan Allah SWT, bahkan dia takut padaNya meskipun manusia tidak melihatnya.Hal ini pernah tercermin pada seorang wanita yang meminta Nabi saw agar ia dihukum rajam karena perbuatannya, sebab dia takut akan siksa Allah di akhirat.
Namun Rasulullah saw masih mengulur-ngulur waktu dalam menjatuhkan sangsi karena kehamilannya. Meskipun pelaksanaan sangsi diundur, namun wanita ini tidak sabar menunggu, dan pada waktunya ia pun dengan kesadaran sendiri mendatangi Nabi saw untuk dihukum. Setelah Nabi saw menjatuhkan hukuman rajam padanya hingga wafat, Nabi pun menshalatkan jenazahnya. Saat itu Umar bin Khattab ra bertanya memprotes Nabi, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau mau menshalatkan wanita penzina ini?” Nabi saw menjawab, “Wahai Umar, seandainya taubat wanita ini ditimbang dengan taubat sepuluh penduduk Madinah, pastilah taubatnya melampaui mereka”.
Perasaan takut kepada Allah inilah yang membuat manusia berhati-hati dalam melakukan segala kejahatan.   

Kedua, al-hukmu bit tanzil (Berhukum kepada al-Quran yang diturunkan). Banyak di antara umat Islam yang ingin berhukum kepada Al-Quran, namun mereka masih memakai hukum kuffar. Mau bertuhankan Allah namun masih percaya dengan praktek klenik dan khurafat.
Suatu hari dua muallaf Yahudi telah resmi masuk Islam, namun dalam amalannya, mereka masih menikmati ritual agama Yahudi, dimana setiap hari sabtu masih melakukan ibadah cara Yahudi, maka turunlah ayat Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208)           

Ayat ini menunjukkan agar kita totalitas dalam berIslam serta hanya mengacu kepada tuntunan al-Quran dan sunnah Rasulullah saw, serta tidak mencampuradukkan ritual Islam dengan ritual agama lain. 

Ketiga, Al-isti’dad li yaumil rahil (Menyiapkan diri untuk hari akhirat). Nabi saw pernah menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal dunia. Karena pada hakekatnya, hidup di dunia laksana menyebarang jalan. Artinya, dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alam akhirt-lah tujuan akhir hidup kita. Oleh karena menyiapkan diri untuk tujuan akhir adalah penting, agar selamat sampai tujuan.        
Suatu hari, tatkala Umar bin Abdul Aziz menerima tampuk kekhalfihan, beliau bersitirahat sejenak setelah menghadiri upacara pemakaman khalifah sebelumnya. Baru saja umar rebahan untuk beristirhat, tiba-tiba ada orang yang berkata, “Wahai, tidakkah anda segera mengembalikan harta yang pernah diambil khalifah sebelummu secara zhalim?”. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Tunggulah sebentar, aku akan beristirahat terlebih dahulu, nanti setelah zuhur akan aku serahkan harta yang pernah diambil secara zalim itu”. Namun kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang menjaminmu tetap hidup setelah zuhur nanti?”. Mendengar kata-kata itu, segera saja Umar bin Abdul aziz tersentak dan tidak bisa tidur lagi, dan beliau segera mengembalikan harta yang pernah diambil secara zalim oleh khalifah sebelumnya.   
Perasaan Umar seperti di atas adalah karena beliau ingin agar di akhirat tidak dituntut siapapun. Ini adalah penyikapan orang yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.

Keempat, al-ridho bil qolil (Ridho dengan bagian yang sedikit). Sikap ini sepadan dengan makna qona’ah (rasa puas dengan pemberian Allah). Sikap ini sangat sulit jika tidak didorong dengan sikap husnuzzhon (baik sangka) kepada Allah SWT, sebab sifat dasar manusia adalah selalu ingin lagi dan ingin lagi.   
Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
Itulah empat kriteria takwa yang didefiniskan Saidina Ali bin Abi Thalib.
Adakah kriteria itu dalam diri kita? Jika belum, berarti waktu / masa kita yang lalu harus dievaluasi, demikian juga fungsi wasiat takwa. Wallahu a’lam.
1.3  Unsur TAkwa
·         Takut kepada Allah, dalam artian kita menanamkan rasa bahwa Allah itu mutlak adanya, Esa, dimana gerak kita selalu terlihat oleh-Nya.Taqwa jenis ini merupakan tingkatan awal, dalam hal ini Allah berfirman :
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. 24:52)
Hai manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah segala kandungan wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sebenarnya tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras. (QS. 22:1-2)”
Sekarang, sudah mulai jelas bukan? Jika kita mendasarkan pemahaman hanya pada tingkat ini saja, kapan kita akan merasakan nikmatnya iman? Kapan kita akan mengarahkan taqwa dengan benar? Jika yang kita ketahui hanya satu ”takut pada Allah”. Sedangkan takut pada Allah itu sendiri ada prosesnya.
“Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan dua rasa takut dan dua rasa aman pada seorang hamba. Jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberinya rasa aman di akhirat. Dan jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan memberinya rasa takut di akhirat.
·         Setelah kita melaui proses pertama, barulah kita beranjak pada tahapan yang kedua yaitu menjalankan perintah al-Qur`an dan menjauhi apa yang jelas-jelas di larang dalam kitab-Nya. Al-Qur`an surat al-Isra: 9 menjelaskan:
Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
Barang siapa membaca al-Qur`an dan mengamalkannya, pada hari kiamat kelak kelak Allah akan memakaikan mahkota pada kedua orang tuanya, yang gemerlapan (sinarnya) lebih baik daripda sinar matahari dalam salah satu rumah dunia, sekiranya sinar itu di dalamnya. Lantas bagaimana dugaan kalian mengenai orang yang mengamalkannya sendiri.”
“Demikianlah (perintah Allah), barang siapa mengagungkan syair-syair Allah (lambang-lambang-Nya), sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al-Hajj:32)”
“Barang siapa membaca al-Qur`an dan menguasainya (benar-benar memahami maknanya), kemudian ia menghalalkan yang dihalalkan oleh al-Qur`an dan mengharamkan yang diharamkannya, kelak al-Qur`an akan memasukkannya ke dalam surga dan mengizinkan ia memberi syafaat kepada sepuluh orang keluargannya (semuanya) yang telah diharuskan masuk neraka. (HR. Tirmidzi)
·         Mempersiapkan  diri untuk Hari Akhir. Tingkatan ketiga yaitu mempersiapkan untuk hari Akhir.Tahapan taqwa ini merupakan tolak ukur dimana kita melakukan semua aktifitas di dunia ini dalam rangka mempersiapkan diri untuk bertemu dengan-Nya.Membuktikan ketaqwaan kita secara tepat untuk melangkah pada fase kehidupan ke-3 dan seterusnya (alam barzah dan akhirat).
Tidak seorangpun di antara kalian kecuail diajak bicara oleh Allah tanpa penerjemah. Kemudian ia menoleh ke kanan, maka ia tidak melihat sesuatu melainkan apa yang pernah dilakukannya (di dunia). Ia pun menoleh ke kiri, maka ia tidak melhat sesuatu melainkan apa yang pernah dilakukannya (di dunia). Lalu ia menoleh ke depan, maka ia tidak melhat sesuatu melainkan neraka di depan wajahnya. Karena itu, jagalah diri kalian dari neraka meski dengan sebutir kurma.”
·         Ikhlas menerima apa yang ada. Tahapan terakhir, setelah kita melakukan proses taqwa di atas, kita harus menyertakan rasa rela. Rela di sini dalam artian kita sepenuhnya ridha (ikhlas) dengan ketetapan Allah yang digariskan kepada kita baik lahir maupun batin, rela pada kuantitas bentuk materi yang sedikit.
Barang siapa meninggalkan dunia (wafat) dengan membawa keikhlasan karena Allah swt.saja,ia tidak menyekutukan Allah sedikitpun, ia melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka ia telah meninggalkan dunia ini  dengan membawa ridha.
Bersyukur juga harus kita perhatikan, mengapa? Karena begitu sedikit manusia yang bersyukur, banyak dari mereka menganggap syukur hanya dengan kalimat al-hamdulillah namun tak banyak dari mereka mengetahui cara bersyukur.
Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. (QS. 34:13)
Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. 29:69)
Seperti itulah tahapan bertaqwa kepada Allah.Seperti itu pula konsep taqwa, yang bila salah satu dari keempatnya hilang, maka berkuranglah ketaqwaan itu.  Oleh sebab itu, surat al-Baqarah: 41 yang artinya “maka hanya kepada-Ku kamu harus bertakwa“. Pertanyaannya; taqwa yang bagaimana?Dan di tingkat mana ketaqwaan itu tertanam?
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan ketaqwaan sebenar-benarnya.(Al-Imran: 102)
1.4  Tingkatan Takwa
·         Taqwa nya Orang Orang yang hanya Melaksanakan Perintah Allah dan Menjauhi Larangan Allah dengan Sekedarnya atau hanya melaksanakan agar gugur kewajiban saja.
Taqwa semacam ini kata pak Khotib, adalah taqwa nya orang orang yang nggak sehat rohani nya. karena orang yang taqwa semacam ini hanya menjadikan beban saja kepada orang yang melakukannya. semisal orang tersebut melaksanakan sholat tanpa ada kesadaran dari hati untuk melaksanakan sholat tapi lebih karena orang tersebut takut akan berdosa jika tidak melaksanakan sholat atau meninggalkannya. sholatnya pun asal saja, tidak tepat waktu, tidak sholat secara berjamaah di masjid atau musholla tapi “yang penting melaksanakan sholat”.
·         Taqwa nya Orang Orang yang ingin menjadikan ibadah itu sebagai suatu hal yang terbaik dalam hidupnya agar bisa menjadi Solusi dan Penolong bagi dirinya dalam menghadapi Problematika Hidup.
Dalam Tingkatan Taqwa yang kedua ini, Pak Khotib memberikan Ilustrasi sebuah Kisah yang sangat menarik. Kurang lebihnya Kisah itu seperti Ini : “Pada saat itu Hujan Deras dan angin bertiup sangat kencang. ada Tiga orang yang terjebak didalam  sebuah Gua yang tertutup sebongkah Batu Besar akibat tertiup angin. sehingga ketiga orang ini tidak bisa keluar dari goa.
Namun Karena ketiga orang ini masing masing adalah seorang yang bertaqwa dan beramal sholeh maka mereka akhirnya bisa keluar dari dalam Goa karena Pertolongan dari Allah.
Saat terjebak didalam Goa, Orang Pertama yang berprofesi sebagai Penggembala berdoa :” Ya Allah, Aku adalah seorang Penggembala, tiap malam aku selalu memeras susu dari ternakku untuk aku minumkan kepada kedua orang tuaku.  pernah pada suatu malam kedua orang tuaku karena kecapek’an, mereka tertidur, dan akhirnya aku belum sempat meminumkannya, pada saat itu anakku menangis minta susu itu, tapi aku tidak memberikan susu itu kepada anakku karena kedua orang tuaku belum meminumnya. aku menunggunya sampai mereka bangun dari tidurnya, lalu aku meminumkannya, baru setelah itu baru aku berikan susu itu kepada anak dan istri ku.” jika hal itu adalah sesuatu yang terbaik menurut Engkau, Tolong Engkau bukakan Batu yang menutup Goa ini agar Kami dapat keluar. maka seketika itu juga Batu besar yang menutup Goa itu membuka sedikit, namun Mereka bertiga masih belum bisa keluar dari Goa.
Orang kedua kemudian Berdoa lagi, “Ya Allah… aku Pernah akan Berbuat Zina dengan saudari sepupuku, karena Dia butuh Uang, kemudian aku bilang kepadanya, aku akan berikan uang / harta  kepadamu tapi dengan syarat engkau harus mau berzina denganku, lalu pada saat aku akan menidurinya…, aku terigat kepadaMu dan aku tidak jadi Melakukannya, lalu aku tinggalkan Uang dan hartaku untuk saudari sepupuku yang tidak jadi aku zinahi. Jika hal itu adalah termasuk perbuatan terbaik yang pernah aku lakukan, maka aku mohon kepadaMu ya Allah… Buka kan Pintu mulut Goa ini agar Kami bisa Keluar. Maka Batu yang menutupi pintu goa itupun bergeser sedikit… namun masih juga mereka bertiga belum bisa keluar.
Lalu Orang Ketiga juga Berdoa… Orang ketiga ini adalah seorang Pengusaha Kaya Raya (Majikan) dan mempunyai banyak Karyawan. pada saat gajian, ada seorang karyawannya yang tidak hadir dan belum mengambil gaji nya. lalu pengusaha ini mengambil inisiatif untuk membelikan gaji karyawan tersebut beberapa ekor kambing. beberapa tahun berlalu si karyawan ini tidak muncul juga hingga akirnya kambing pun bertambah banyak sampai sampai bukit penuh dengan kambing. suatu ketika karyawan yang belum mengambil gaji nya tersebut menghadap sang majikan untuk mengambil hak nya yang belum sempat diambil pada waktu itu. tanpa disangka oleh karyawan.., majikan itu ternyata memberikan seluruh kambing itu kepada si karyawan, betapa senang si Karyawan itu.
Dari cerita diatas, lalu Majikan ini ber do’a… “Ya Allah… Jika perbuatanku itu Kau catat sebagai Amal Ibadah terbaikku.. aku mohon PadaMu… agar engkau menolongku agar Batu yang menutup Goa ini terbuka lebar… dan Akhirnya… dari ketiga amal sholeh dan perbuatan terbaik ketiga orang ini goa pun terbuka lebar sehingga mereka bertiga bisa  selamat dan keluar dari Goa.
Oleh karena itu, Amalan yang terbaik yang timbul dari hati itulah sebaik baik taqwa dan bisa memberikan Pertolongan kepada diri kita sendiri.
·         Taqwa nya Abu Bakar As-sidiq (Yaitu Taqwa yang sudah habis habisan, mengorbankan segalanya di jalan Allah.. termasuk Jiwa Raga dan Harta Benda namun masih merasa masih terlalu banyak dosa)
Menurut Riwayat Hadist Soqih, Abu Bakar assidiq adalah Sahabat Nabi yang Kaya Raya, dan mempunyai banyak super market, Lalu kemudian menjadi Miskin dan tidak memiliki harta apapun, bahkan jubah dan sorban nya pun hanya dari karung goni yang kusut. semua harta nya di gunakan untuk membantu perjuangan Rasullullah. namun pengorbanannya itu tidak menjadikan abu Bakar assyidiq berbangga diri, malah beliau masih merasa masih sangat banyak dosa dan selalu berdoa mohon ampun kepada Allah SWT. inilah taqwa yang menduduki tingkatan paling atas.
1.5  Syarat Takwa
1.      Ilmu
Dijadikan sebagai syarat untuk menggapai derajat taqwa, karena ilmu adalah merupakan langkah awal untuk melakukan  atau menentukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Seseorang bila ingin mencapai sebuah tujuan, maka dia harus mengetahui (baca: meng-ilmu-i) hakikat (bentuk, rupa dan keriteria) tujuan tersebut dengan jelas, tidak samar-samar, lalu dia harus mengetahui persiapan apa yang ia lakukan untuk mencapai tujuan tersebut, dan dia harus mengetahui apa konsekuensi yang harus ia pelihara ketika telah mencapai tujuan tersebut... dan seterusnya - dan seterusnya.
Allah berfirman:
فَاعْلَمْأَنَّهُلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُوَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ
"Ketahuilah bahwasannya tiada tuhan (yang patut disembah dengan benar) melainkan Allah, dan mohon ampunlah atas dosa-dosamu".[QS. Muhammad:19]
Pada ayat ini Allah berfirman dengan menggunakan fi'il 'amr (kata kerja perintah), yaitu: ف - اعلم , dimana fi'il ini mashdarnya adalah علم (Ilmu), yang ma'nanya adalah: "Ketahuilah" atau "ilmuilah" . Oleh karena itu dengan berdasarkan dalil ini Al Imam Muhammad bin Isma'il Al Bukhoriy dengan kedalaman ilmunya dalam memahami Al Qur'an, dan dengan kecerdikannya dalam ber - istinbath (mengeluarkan hukum dari/dengan dalil), meletakan sebuah Bab dalam kitab Shahihnya, dengan berkata:
باب العلم قبل القول و العمل
"Bab Ilmu terlebih dahulu sebelum berkata dan beramal / berbuat"  [Shahih Bukhoriy - Kitab Al Ilmu] 
Demikian juga dengan taqwa, taqwa adalah merupakan puncak tujuan yang paling mulia bagi manusia dalam beragama, oleh karena itu satu hal yang lebih utama lagi bagi seorang muslim untuk berilmu tentangnya, dan ini suatu keharusan, yaitu diantaranya berilmu tentang hakikat taqwa, lawazim (unsur-unsur) taqwa, tentang syarat dan rukunnya, tentang konsekuensinya, dan kepada siapa dia bertaqwa.
Ringkas kata kita harus berilmu tentang taqwa dengan baik dan benar serta jelas dan tidak samar-samar, sebelum kita berkata, dan berbuat/beramal dalam melangkah menggapai derajat taqwa.           
Lawan dari ilmu adalah kejahilan (kebodohan). Maka suatu hal yang tidak mungkin (mustahil) seseorang akan mencapai tujuan, bila ia bodoh atau  tidak mengetahui alias jahilterhadap tujuannya sendiri. Demikian juga dengan ketaqwaan, seseorang tidak akan pernah mencapai derajat taqwa bila ia jahil (bodoh) tentang ketaqwaan.
Akan tetapi Ilmu yang dimaksud secara mutlak, yang tidak boleh seorang muslim bodoh (jahil) tentangnya adalah: Ma'rifatullah (mengenal Allah), Ma'rifat An Nabi (mengenal Nabi), dan Ma'rifat Diin Al Islam bil Adillah (mengenal agama Islam dengan dalil). Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman At Tamimiy dalam "Al Ushul Ats Tsalatsah".
Sebagian ulama menyatakan, bahwa ilmu yang dimaksud adalah: Apa yang Allah Firmankan dalam Al Qur'an, dan apa yang Rasululah sabdakan dalam Al Hadits, dan apa yang para shahabat Rasul katakan dalam memahami Al Qur'an dan Al Hadits.
Semua itu adalah lawazim taqwa yang sangat mendasar, setiap muslim bila ingin mencapai derajat taqwa harus bertolak dari ilmu-ilmu tersebut, bila tidak ia akan lemah dan rapuh, tidak akan pernah mencapai derajat taqwa.
2.      Ikhlas
Yang dimaksud adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan kepada -Nya, memurnikan ibadah hanya untuk Allah, dalam rangka menjalankan perintah dan menjauhi larangan -Nya, semuanya dilakukan hanya karena dan untuk Allah tabaraka wa ta'ala.
Allah berfirman:
وَمَاأُمِرُواإِلَّالِيَعْبُدُوااللَّهَمُخْلِصِينَلَهُالدِّينَحُنَفَاءَوَيُقِيمُواالصَّلَاةَوَيُؤْتُواالزَّكَاةَوَذَلِكَدِينُالْقَيِّمَةِ
" Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepadanya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan agar mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus". [QS. Al Bayyinah: 5]
Agama yang lurus adalah agama yang jauh dari kesyirikan (menyekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan
Dijadikan ikhlas adalah sebagai syarat untuk mencapai derajat taqwa, karena tidak mungkin seorang muslim disebut orang yang bertaqwa sedangkan ia berbuat kesyirikan, memalingkan ibadah kepada selain Allah, menjadikan ibadahnya perantara-perantara kepada Allah dengan apa yang tidak diizinkan oleh Allah, atau Allah tidak menurunkan keterangan -Nya dalam kitab -Nya, atau dalam ibadahnya hanya untuk mencari penghidupan dunia, atau hanya karena wanita yang akan dinikahiya, hal-hal tersebut adalah yang merusak keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Bagaimana seseorang akan mencapai derajat taqwa sedangkan ibadahnya rusak, dan tertolak disisi Allah?
Allah berfirman:
ذَلِكَهُدَىاللَّهِيَهْدِيبِهِمَنْيَشَاءُمِنْعِبَادِهِوَلَوْأَشْرَكُوالَحَبِطَعَنْهُمْمَاكَانُوايَعْمَلُونَ
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya.seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [QS. Al An'am: 88]
Oleh karena itu ikhlas adalah merupakan syarat mutlak untuk mencapai ketaqwaan.
3.      Ittiba’
mengikuti contoh (suri tauladan) Nabi Muhammad Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam diseluruh totalitas kehidupan kita dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla. Hal ini dikarenakan 2 hal:
Pertama: Karena Rasulullah adalah manusia dan hamba Allah yang pertama kali yang telah mencapai puncak ketaqwaan. Beliaulah orang yang paling bertaqwa didunia. Oleh karena beliau orang yang paling mengerti tentang apa yang dikehendaki oleh Allah, sehingga beliau orang yang pertama kali yang mengerjakan semua perintah Allah, dan orang yang paling pertama kali yang menjauhi larangan Allah berdasarkan bimbingan dari Allah.
Kedua: Karena orang yang beramal atau ibadah kepada Allah, sedangkan ibadahnya tersebut tidak pernah ada ajarannya dari Rasulullah Muhammad shalallahu'alaihi wa sallam , maka amalannya atau ibadahnya tersebut tertolak disisi Allah subhanahu wa ta'ala.
Rasulullah bersabda:
"Barang siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada atasnya ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak".[HR. Al Bukhoriy & Muslim, dari Ummul Mu'minin Aisyah radliallahu'anha]
Bagaimana kita akan mencapai ketaqwaan sedangkan amal ibadah kita tertolak disisi Allah? Oleh karena itu Ittiba' (mengikuti contoh / sunnah) Rasul, adalah syarat untuk mencapai derajat taqwa.
Adapun ayat-ayat Al Qur'an yang berbicara dan memerintahkan untuk ittiba' kepada Nabi, banyak diantaranya:
Allah berfirman:
قُلْإِنْكُنْتُمْتُحِبُّونَاللَّهَفَاتَّبِعُونِييُحْبِبْكُمُاللَّهُوَيَغْفِرْلَكُمْذُنُوبَكُمْوَاللَّهُغَفُورٌرَحِيمٌ
"Katakanlah (Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampunkan dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[QS. Ali Imran: 31].
Dan Allah berfirman:
"... Dan apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah..." [QS. Al Hasyr: 7]
Dan Allah berfirman: "Barangsiapa yang taat kepada Rasul maka sungguh ia telah mentaati Allah" [QS.An Nisa: 80]
BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Setelah membaca tulisan di atas, jelaslah bagi kita bagaimana pentingnya mengkaji dan memahami ilmu agama, karena inilah satu-satunya cara untuk meraih kemuliaan tingi dalam agama, yaitu ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, sangat wajar kalau kita dapati para ulama Ahlus Sunnah menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap semua kebutuan pokok dalam kehidupan mereka.           

Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal: “Kebutuhan manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, adapun ilmu (agama) dibutuhkan (sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu).
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa takwa adalah upaya seseorang dalam memelihara diri dengan sikap hati-hati agar senantiasa bisa menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi segala apa yang telah dilarangnya. Inilah yang dinamakan dengan takwa. Inilah sebuah amalan yang ternyata sangat kita butuhkan agar kita dapat sukses dan bahagia hidup di dunia dan akhirat.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa:
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.
.
DAFTAR PUSTAKA
Husein, Mochtar. 2008. Hakikat Islam Sebuah Pengantar Meraih Islam Kaffah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


No comments:

Post a Comment