Thursday, 30 January 2014

Penelitian Pendidikan

OLEH : AHMAD SHOLIHIN

      Penelitian pendidikan merupakan penerapan dari pendekatan secara ilmiah dalam mempelajari masalah-masalah kependidikan. Penelitian ilmiah adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi yang akurat dan bermanfaat dalam proses mendidik. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan prinsip umum atau interpretasi sikap yang bisa digunakan untuk menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol kejadian-kejadian dalam lingkup pendidikan, dengan kata lain, untuk merumuskan teori ilmiah.
Sejak awal abad ke 20, penelitian ilmiah dalam pendidikan telah berkembang pesat dan meningkat, baik dalam penelitian teoritis maupun penelitian praktek.
Penelitian Kuantitatif
Penelitian kuantitatif dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu eksperimen dan non-eksperimen.
  1. Penelitian Eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan studi tentang dampak pengubahan sistematis dari satu data dan data lainnya. Variabel yang diubah disebut variabel independen. Variabel yang diukur disebut variabel dependen.
  2. Penelitian Non-eksperimen. Pada penelitian kuantitatif non-eksperimen, peneliti mengedintifikasi variabel-variabel dan mencari hubungan diantara variabel tersebut, tetapi tidak mengubah variabel tersebut. Bentuk umum dari penelitian non-eksperimen adalah penelitian ex post facto, korelasi, dan penelitian survei.
Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif berusaha untuk memahami fenomena dengan fokus pada keseluruhan gambaran objek yang diteliti. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, dan tidak diwujudkan dalam bentuk angka-angka. Contohnya, ahli sosial telah lama meneliti bahwa perbedaa latar belakang pendidikan kelihatannya bukan merupakan masalah yang berarti bagi siswa kulit hitam untuk tetap masuk pada perguruan tinggi siswa kulit putih. Ada begitu banyak jenis metode kualitatif antara lain:
  1. Etnografi adalah suatu studi seluk-beluk secara alami yang terjadi perilaku di dalam suatu kelompok sosial atau kultur. Para peneliti menafsirkan data dalam konteks situasi tempat mereka meneliti atau mengumpulkan data.
  2. Studi kasus adalah suatu studi unit tunggal, seperti seseorang, satu kelompok, satu organisasi, satu program, dan seterusnya. Suatu studi kasus dapat mengakibatkan data dari penyamarataan.
  3. Pengamatan naturalistic merupakan penelitian tanpa mengubah situasi. Misalnya peneliti menggunakan kamera tersembunyi, dan satu arah cermin. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perilaku objeknya.
  4. Analisis dokumen berfokus meneliti dan menginterpretasikan bahan yang direkam di dalam konteks sendiri. Bahan tersebut arsip publik, buku teks, surat, film, buku harian, tema, laporan, dan seterusnya. Ketika penggunaan sumber dalam bentuk dokumen seperti, peneliti harus menetapkan keaslian dari  dokumennya sendiri
  5. wawancara terfokus mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk menarik tanggapan dari responden tentang sebuah topik.
  6. Penelitian sejarah menganalisis dokumen dan perkakas atau senjata untuk memperoleh pengertian yang mendalam tentang apa yang telah terjadi di masa lalu. Suksesnya bergantung pada kelengkapan dan ketelitian.
Perbandingan antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif dapat dilihat dalam tabel berikut:
Perbandingan Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

KUANTITATIF KUALITATIF
Tujuan Untuk mempelajari hubungan sebab akibat Untuk memahami fenomena sosial
Desain Bertujuan mengembangkan penelitian Berperan selama  penelitian
Pendekatan Deduktif, uji teori Induktif, menyusun teori
Alat Menggunakan alat yang standar Interaksi tatap muka
Sampel Luas Sempit
Analisis Analisis statistik dengan data angka Deskripsi naratif dan interpretasi ( penafsiran)
Langkah-Langkah Dalam Penelitian
Langkah-langkah dalam penelitian adalah sebagai berikut:
  1. Memilih masalah.
  2. Meninjau literatur yang relevan
  3. Merancang penelitian.
  4. Mengumpulkan data.
  5. Menganalisis data.
  6. Menginterpretasi penemuan dan menyatakan kesimpulan
  7. Melaporkan hasil penelitian

Mengenal Cara Belajar Individu

OLEH : AHMAD SHOLIHIN 

         Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.
    berbagai cara untuk membuat anaknya menjadi “pintar”. Orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik. Selain itu anak diikutkan dalam berbagai kursus maupun les privat yang terkadang menyita habis waktu yang seharusnya bisa dipergunakan anak atau remaja untuk bermain atau bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Namun demikian usaha-usaha tersebut seringkali tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan ada yang justru menimbulkan masalah bagi anak dan remaja.
             Di Indonesia seringkali kita mendengar keluhan dari orangtua yang merasa sudah melakukan
Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung-kunjung pintar? Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar yang dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan yang dijalaninya termasuk kursus atau les privat. Cara belajar yang dimaksudkan disini adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, lalu mengatur dan mengelola informasi.
           Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung-kunjung pintar? Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar yang dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan yang dijalaninya termasuk kursus atau les privat. Cara belajar yang dimaksudkan disini adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, lalu mengatur dan mengelola informasi.

Otak Sebagai Pusat Belajar

        Otak manusia adalah kumpulan massa protoplasma yang paling kompleks yang ada di alam semesta. Satu-satunya organ yang dapat mempelajari dirinya sendiri dan jika dirawat dengan baik dalam lingkungan yang menimbulkan rangsangan yang memadai, otak dapat berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun. Otak inilah yang menjadi pusat belajar sehingga harus dijaga dengan baik sampai seumur hidup agar terhindar dari kerusakan.
         Menurut MacLean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya dikenal sebagai triune brain/three in one brain (dalam DePorter & Hernacki, 2001). Bagian pertama adalah batang otak, bagian kedua sistem limbik  dan yang ketiga adalah neokorteks.
          Batang otak memiliki kesamaan struktur dengan otak reptil, bagian otak ini bertanggungjawab atas fungsi-fungsi motorik-sensorik-pengetahuan fisik yang berasal dari panca indra. Perilaku yang dikembangkan bagian ini adalah perilaku untuk mempertahankan hidup, dorongan untuk mempertahankan spesies.
        Disekeliling batang otak terdapat sistem limbik yang sangat kompleks dan luas. Sistem ini berada di bagian tengah otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan kognitif yaitu menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan kemampuan belajar. Selain itu sistem ini mengatur bioritme tubuh seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, jantung, gairah seksual, temperatur, kimia tubuh, metabolisme dan sistem kekebalan. Sistem limbik adalah panel kontrol dalam penggunaan informasi dari indra penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh, perabaan, penciuman sebagai input yang kemudian informasi ini disampaikan ke pemikir dalam otak yaitu neokorteks.
Neokorteks terbungkus di sekitar sisi sistem limbik, yang merupkan 80% dari seluruh materi otak. Bagian ini merupakan tempat bersemayamnya pusat kecerdasan manusia. Bagian inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan, pendengaran dan sensasi tubuh manusia. Proses yang berasal dari pengaturan ini adalah penalaran, berpikir intelektual, pembuatan keputusan, perilaku normal, bahasa, kendali motorik sadar, dan gagasan non verbal. Dalam neokorteks ini pula kecerdasan yang lebih tinggi berada, diantaranya adalah : kecerdasan linguistik, matematika, spasial/visual, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intrapersonal dan intuisi.

Karakteristik Cara Belajar

        Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan  informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori. Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu hanya yang memiliki salah satu karakteristik cara belajar tertentu sehingga tidak memiliki karakteristik cara belajar  yang lain. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman bahwa individu memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol sehingga jika ia mendapatkan rangsangan yang sesuai dalam belajar maka akan memudahkannya untuk menyerap pelajaran. Dengan kata lain jika sang individu menemukan metode belajar yang sesuai dengan karakteristik cara belajar dirinya maka akan cepat ia menjadi “pintar” sehingga kursus-kursus atau pun les private secara intensif mungkin tidak diperlukan lagi.
Adapun ciri-ciri perilaku individu dengan karakteristik cara belajar seperti disebutkan diatas, menurut DePorter & Hernacki (2001), adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Visual

individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:
  • Rapi dan teratur
  • Berbicara dengan cepat
  • Mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik
  • Teliti dan rinci
  • Mementingkan penampilan
  • Lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar
  • Mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual
  • Memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik
  • Biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika sedang belajar
  • Sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta instruksi secara tertulis)
  • Merupakan pembaca yang cepat dan tekun
  • Lebih suka membaca daripada dibacakan
  • Dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu bersikap  waspada, membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan.
  • Jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama berbicara
  • Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
  • Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat “ya” atau “tidak’
  • Lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/berceramah
  • Lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada musik
  • Seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan dalam kata-kata
2. Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Auditorial
Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:
  • Sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja
  • Mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik
  • Lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca
  • Jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras
  • Dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara
  • Mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai dalam bercerita
  • Berbicara dalam irama yang terpola dengan baik
  • Berbicara dengan sangat fasih
  • Lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya
  • Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada apa yang dilihat
  • Senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar
  • Mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang berhubungan dengan visualisasi
  • Lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras daripada menuliskannya
  • Lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor/komik
3. Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Kinestetik
Individu yang memiliki kemampuan belajar kinestetik yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:
  • Berbicara dengan perlahan
  • Menanggapi perhatian fisik
  • Menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka
  • Berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain
  • Banyak gerak fisik
  • Memiliki perkembangan otot yang baik
  • Belajar melalui praktek langsung atau manipulasi
  • Menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung
  • Menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang membaca
  • Banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal)
  • Tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama
  • Sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut
  • Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
  • Pada umumnya tulisannya jelek
  • Menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik)
  • Ingin melakukan segala sesuatu
Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari diri seseorang maka orangtua atau individu yang bersangkutan (yang sudah memiliki pemahaman yang cukup tentang karakter cara belajar dirinya) diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih metode belajar yang sesuai. Bagi para remaja yang mengalami kesulitan belajar, cobalah untuk mulai merenungkan dan mengingat-ingat kembali apa karakteristik belajar anda yang paling efektif. Setelah itu cobalah untuk membuat rencana atau persiapan yang merupakan kiat belajar anda sehingga dapat mendukung agar kemampuan tersebut dapat terus dikembangkan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaat berbagai media pendidikan seperti tape recorder, video, gambar, dll. Selamat mencoba.  Semoga bermanfaat.

Keterampilan yang Harus Dimiliki Guru dalam Mengajar

OLEH : AHMAD SHOLIHIN

A.  Pengertian Keterampilan Mengajar Guru

Dalam memberikan pengertian tentang keterampilan mengajar guru, maka dalam hal ini penulis akan mengemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas.[1]
Menurut Alvin W Howard, mengajar adalah suatu aktivitas untuk memberi, menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan,mengubah atau mengembangkan ide (cita-cita).[2]
Menurut Warni Rasyidin mengemukakan bahwa mengajar adalah keterlibatan guru dan siswa dalam interaksi proses belajar mengajar. Guru sebagai koordinator menyusun,mengorganisasi dan mengatur situasi belajar.[3]
Menurut AG Soejono mengajar adalah usaha guru memimpin muridnya keperubahan situasi dalam arti kemajuan dalam proses perkembangan intelek pada khususnya dan proses perkembangan jiwa, sikap, pribadi serta keterampilan pada umumnya.[4]
Berdasarkan dengan pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa mengajar adalah usaha yang dilaksanakan oleh guru melalui bahan pengajaran yang diarahkan kepada siswa agar dapat membawa perubahan baik kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Keterampilan mengajar guru adalah kecakapan atau kemampuan guru dalam menyajikan materi pelajaran. Dengan demikian seorang guru harus mempunyai persiapan mengajar antara lain, guru harus menguasai bahan pengajaran mampu memilih metode yang tepat dan penguasaan kelas yang baik.
Keterampilan mengajar sangat penting dimiliki oleh seorang guru sebab guru memegang peranan penting dalam dunia pendidikan.oleh karena itu guru harus memiliki berbagai keterampilan menagajar antara lain:
1.   Keterampilan Bertanya.
Keterampilan bertanya adalah merupakan keterampilan yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan belajar mengajar, karena metode apapun, tujuan pengajaran apapun yang ingin dicapai dan bagaimana keadaan siswa yang dihadapi,maka bertanya kepada siswa merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan. Karena pertanyaan yang diajukan kepada siswa agar berpengaruh tidaklah mudah. Memberi pertanyaan perlu adanya latihan dari guru-guru. Sehingga diharapkan guru dapat menguasai dan melaksanakan keterampilan bertanya pada situasi yang tepat, sebab memberi pertanyaan secara efektif dan efisien akan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku baik pada guru maupun dari siswa. Dari guru yang sebelumnya selalu aktif memberi informasi akan berubah menjadi banyak mengundang interaksi siswa, sedangkan dari siswa yang sebelumnya secara pasif mendegarkan keterangan guru akan berubah menjadi banyak berpartisipasi dalam bertanya,menjawab pertanyaan mengemukakan pendapat. Hal ini akan menimbulkan adanya cara belajar siswa aktif yang berkadar tinggi. Untuk lebih memudahkan guru dalam menggunakan keterampilan bertanya hendaknya seorang guru mengetahui kegunaan dari penggunaan keterampilan bertanya.[5]
Adapun kegunaan dari penggunaan keterampilan bertanya adalah
  1. Akan dapat membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap pokok bahasa yang akan dibahas.
  2. Dapat memusatkan perhatian siswa terhadap pokok bahasan
  3. Dapat mengembangkan keaktifan dan berfikir siswa
  4. Dapat mendorong siswa untuk dapat menggunakan pandangan-pandangan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas
  5. Sebagai umpan balik bagi guru untukmengetahui sejauhmana prestasi belajar siswa selama proses belajar mengajar
  6. Dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam menemukan, mengorganisir dan memberi informasi yang pernah didapat sebelumnya.[6]
2. Keterampilan Memberi Penguatan
Yang dimaksud dengan keterampilan memberi penguatan adalah respon positif dari guru kepada anak didik yang telah melakukan suatu perbuatan baik. Pemberian penguatan ini dilakukan oleh guru dengan tujuan agar anak lebih giat berpartisiasi dalam interaksi belajar mengajar dan siswa agar mengulangi lagi perbuatan yang baik walaupun pemberian penguatan sangat mudah pelaksanaannya, namun kadang-kadang banyak diantara guru yang tidak melakukan pemberian penguatan kepada muridnya yang melakukan perbuatan baik.
Pemberian penguatan dalam proses belajar mengajar mempunyai beberapa tujuan dan manfaat apabila dapat dilakukan dengan tepat antara lain:
  1. Dapat meningkatkan perhatian dan motivasi siswa terhadap materi
  2. Dapat mendorong siswa untuk berbuat baik dan produktif
  3. Dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diri siswa itu sendiri
  4. Dapat meningkatkan cara belajar siswa aktif
  5. Dapat mendorong siswa untukeningkatkan belajarnya secara mandiri.[7]
Walaupun pemberian penguatan sifatnya sederhana dalam pelaksanaannya, namun dapat pula pemberian penguatan yang diberikan kepada siswa justru membuat siswa enggan belajar karena penguatan yang diberikan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan siswa tersebut, pemberian penguatan yang berlebihan akan berakibat fatal. Untuk itu ada beberapa halyang harus diperhatikan guru dalam pemberian penguatan antara lain:
a.   Hangat dan Antusias
Guru dalam memberikan penguatan kepada siswa hendaknya menunjukkan sifat yang baik, menarik dan juga sungguh-sungguh sehingga siswa merasa senang dengan sikap guru diwaktu memberi penguatan. Dalam pemberian penguatan diharapkan guru menunjukkan ekspresi wajah yang menarik, sinar mata yang sejuk, suara yang jelas dan enak didengar.
b. Bermakna
Pemberian penguatan hendaknya disesuaikan dengan tingkat pencapaian keberhasilan siswa dan mempunyai arti bagi siswa yang melakukan perbuatan itu sehingga penguatan dapat diterima siswa dengan senang hati.
c. Hindari Penggunaan Penguatan Negatif
Walaupun pemberian kritik atau hukuman adalah efektif untuk dapat mengubah motivasi,penampilan dan tingkah laku siswa, namun pemberian itu memiliki akibat yang sangat kompleks, dan secara psikologis agak kontraversial,karena itu sebaiknya dihindari banyak akibat yang muncul yang tidak dikehendaki misalnya siswa menjadi frustasi,pemberani, hukuman dianggap sebagai kebanggaan,dan peristiwa akan terulang kembali.
d. Penggunaan Bervariasi
Pemberian penguatan seharusnya diberikan secara bervariasi baik komponennya maupun caranya dan diberikan secara hangat dan antusias. Penggunaan cara dan jenis komponen yang sama misalnya guru selalu menggunakan kata-kata “bagus” akan mengurangi efektivitas pemberian penguatan. Pemberian penguatan juga akan bermanfaat bila arah pemberiannya bervariasi, mula-mula keseluruhan anggota kelas,kemudian kelompok kecil, akhirnya keindividu, atau sebaliknya tidak berurutan.
3. Keterampilan Memberi Variasi
Variasi adalah suatu kegiatan Guru dalam konteks interaksi belajar mengajar yang bertujuan untuk mengatasi kebosana siswa sehingga dalam proses belajar mengajar murid senantiasa menunjukkan ketekunan, antusiasme,serta penuh partisipasi.[8]
Keterampilan variasi yang tepat dalam proses belajar mengajar akan dapat memberi manfaat bagi siswa antara lain:
  1. Dapat menimbulkan dan meningkatkan perhatian siswa terhadap materi yang diberikan kepadanya.
  2. Dapat memberi motivasi kepada siswa untuk memusatkan perhatiannya pada proses belajar mengajar.
  3. Dapat menghindari kebosanan siswa dalam belajar.
  4. Dapat mendorong anak untuk mengadakan diskusi dengan temannya.[9]
Pemberian  Variasi dalam proses belajar mengajar dapat diartikan sebagai perubahan pengajaran dari yang satu dengan yang lain disinilah pentingnya seorang Guru menguasai berbagai metode dalam mrngajar sebab dengan menggunakan berbagai metode dalam mengajar akan membangkitkan gairah belajar siswa. Misalnya saja seorang Guru diawal mata pelajaran menggunakan metode ceramah kemudian diselingi dengan metode tanya jawab mau tak mau siswa akan mempunyai keseriusan dalam memperhatikan pelajaran.
Ada tiga aspek dalam keterampilan memberi variasi yang harus dikuasai guru dalam proses belajar mengajar[10] yaitu:
1. Variasi dan Gaya Mengajar
Agar tidak terjadi kebosanan anak dalam belajar maka guru dapat melakukan variasi dalam gaya mengajar yang mana dalama memberi gaya mengajar ini guru dapat melakukan dengan cara variasi suara, penekanan, kontak pandang, gerakan anggota badan dan pindah posisi.
2. Variasi Media dan Bahan Ajaran
Tiap anak didik memiliki kemampuan indra yang tidak sama baik pendengaran maupun penglihatannya demikian juga kemampuan berbicara.ada yang lebih senang membaca, ada yang lebih mendengarkan, ada yang suka mendengarkan dulu baru membaca dan sebaliknya. Dengan variasi penggunaan media, kelemahan indra yang dimiliki tiap anak didik dapat dikurangi. Untuk menarik perhatian anak didik misalnya, guru dapat memulai berbicara lebih dulu, kemudian menulis dipapan tulis dilanjutkan dengan melihat contoh kongkrit. Dengan varisi seperti itu dapat memberi stimulus terhadap indra anak didik.
Ada tiga variasi penggunaan media Menurut Syaiful Bahri Djamarah yaitu:
  1. Media Pandang
Penggunaan media pandang dapat diartikan sebagai penggunaan alat dan bahan ajaran khusus untuk komunikasi, seperti buku, majalah, globe, majalah dinding, film, film Strip, TV, recorder, gambar grafik, dan lain-lain.
  1. Variasi Media Dengar
Media dengar yang dapat dipakai adalah pembicaraan anak didik, rekaman bunyi dan suara, rekaman musik, rekaman drama, wawancara yang semuanya itu dapat memiliki relevansi dengan pelajaran.
  1. Variasi Media Taktil
Variasi media taktil adalah penggunaan media yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk menyentuh dan memanipulasi benda atau bahan ajaran.[11]
3. Variasi interaksi
Variasi dalam pola interaksi antara guru dengan anak didik memiliki rentangan yang bergerak dari dua kutub, yaitu:
  1. Anak didik bekerja atau belajar secara bebas tanpa campur tangan dari guru.
  2. Anak didik mendengarkan dengan pasif. Situasi didominasi oleh guru dimana guru berbicara kepada anak didik.
Diantara dua kutub itu banyak kemungkinan dapat terjadi. Misalnya, guru berbicara dengan sekolompok kecil anak didik melalui pengajuan beberapa pertanyaan atau guru berbincang dengan anak didik secara individual, atau guru menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga antar anak didik dapat saling tukar pendapat melalui penampilan diri, demonstrasi, atau diskusi.
4.  Keterampilan Membuka Dan Menutup Pelajaran
Keterampilan membuka adalah perbuatan guru untuk menciptakan siap mental dan menimbulkan perhatian anak didik agar terpusat pada yang akan dipelajari. Sedangkan menutup pelajaran adalah mengakhiri kegiatan inti pelajaran-pelajaran.[12]
Tujuan pokok dalam membuka pelajaran adalah untuk menyiapkan mental siswa agar siap memasuki mata pelajaran yang dibahas. Contoh membuka pelajaran; Guru: Nah anak- anak ! pada pertemuan kali ini kita akan mempelajari suatu pokok pelajaran baru tentang “ Shalat” tetapi sebelum memulai pelajaran maka coba perhatikan gambar ini? Ya. Kamu Una! Dan seterusnya. Sedangkan menutup pelajaran biasanya Guru merangkum materi pelajaran atau membuat garis besar dari mata pelajaran yang diajarkan sehingga siswa memperoleh gambaran yang jelas tentang isi pelajaran. Biasa juga Guru mengajukan beberapa pertanyaan tentang isi materi pelajaran atau memberi tugas rumah kepada siswa.
5.        Keterampilan Mengelola Kelas
Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses interaksi edukatif dengan kata lain kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses interaksi edukatif.[13] Yang termasuk kedalam hal ini adalah misalnya penghentian tingkah laku anak didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas anak didik, atau penetapan norma kelompok yang produktif.
Suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur anak didik dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran.Juga hubungan interpersonal yang baik antara guru dan siswa dan siswa dengan siswa merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas.
6. Keterampilan Membimbing Diskusi Kelompok Kecil.
Yang dimaksud dengan diskusi kelompok kecil di sini adalah suatu proses yang teratur yang melibatkan sekelompok individu dalam suatu interaksi tatap muka secara kooperatif untuk tujuan membagi informasi, membuat keputusan, dan memecahkan masalah
Keterampilan membimbing diskusi memilih kelebihan dan keterbatasan antara lain :
  1. Kelebihannya
    1. Kelompok memiliki sumber daya yang lebih banyak daripada individu. Pengetahuan dan pengalaman sekelompok orang yang jelas lebih banyak dari pengetahuan dan pengalaman seseorang.
    2. Anggota kelompok sering diberi masukan dan motivasi dari anggota lain, yang berusaha agar sumbangan pikiran bermanfaat untuk keberprestasian kelompok.
    3. Kelompok dapat mengprestasikan keputusan yang lebih baik
    4. Anggota kelompok memiliki ikatan yang kuat terhadap keputusan yang diambil dengan melalui keterklibatannya dalam diskusi.
    5. Partisipasi dalam diskusi akan meningkatkan saling pengertian antar individu dalam satu kelompok dan dalam kelompok yang lain.
    6. Keterbatasan
      1. Diskusi memakan waktu
      2. Pemborosan waktu
      3. Diskusi dapat menekan pendirian
7. Keterampilan menjelaskan.
Keterampilan menjelaskan adalah penyajian informasi secara lisan yang diorganisasi secara sistematik untuk menunjukkan adanya hubungan yang satu dengan yang lainnya, misalnya antara sebab dan akibat, definisi dan contoh atau dengan sesuatu yang belum diketahui.Penyampaian informasi yang terencana dengan baik dan disajikan dengan urutan yang cocok merupakan ciri utama kegiatan menjelaskan. Pemberian penjelasan merupakan salah satu aspek yang amat penting dari kegiatan guru dalam berinteraksi dengan siswa didalam kelas.
Tujuan memberikan penjelasan antara lain:
  1. Membimbing murid untuk mendapat dan memahami hukum, fakta, definisi dan prinsip secara obyektif.
  2. Melibatkan murid untuk berfikir dengan memecahkan masalah-masalah atau pertanyaan
  3. Untuk mendapat balikan dari murid mengenai tingkat pemahamannya dan untuk mengatasi kesalapahaman mereka.
  4. 4. Membimbing murid untuk menghayati dan mendapat proses penalaran dan menggunakan bukti- bukti dalam pemecahan masalah.[14]
B. Pengertian Prestasi Belajar
Pengertian belajar adalah terdiri dari dua kata, yakni “prestasi” dan “belajar” antara prestasi dan belajar mempunyai arti yang berbeda. Oleh karena itu prestasi dibahas jauh maka terlebih dahulu penulis akan menjelaskan pengertian prestasi.
Prestasi adalah prestasi dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun kelompok.[15]
W.J.S Poerwadarmita berpendapat bahwa “prestasi” adalah prestasi yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya). Sedangkan menurut Mas’ud khasan Abdul Qoha “prestasi” adalah apa yang telah diciptakan, prestasi pekerjaan, prestasi yang mnyenangkan hait yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Sementara Nasru Harahap dan kawan-kawannya memberikan batasan bahwa “prestasi” adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serta nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum.[16]
Dari berbagai pengertian dikemukakan oleh para ahli diatas, jelas terlihat perbedaan pada kata-kata tertentu sebagai penekanan namun intinya sama, yakni prestasi yang dicapai dari suatu kegiatan. untuk itu dapat dipahami bahwa prestasi adalah prestasi suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, yang mnyenangkan hati dan diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara individu maupun secara kelompok dalam bidang kegiatan itu.
Belajar adalah suatu aktifitas yang sadar akan tujuan. Tujuan dalam belajar adalah tercapainya suatu perubahan dalam diri individu. Perubahan dalam menuju perkembangan pribadi individu seutuhnya. Namun, untuk memperoleh penjelasan  yang lebih terarah penulis akan menjelaskan berbagai pendapat tentang belajar
Menurut Drs.H. Abdurrahman, mengatakan bahwa :
“Belajar adalah suatu perubahan pada diri individu dengan lingkungannya yang menjadikannya mendapat kemampuan yang lebih tinggi  untuk hidup secara damai dalam lingkungannya”.[17]
Menurut M. Ngalim Purwanto, mengatakan bahwa
“Belajar adalah tingkah laku yang mengalami perubahan, karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti perubahan dalam pengertian pemecahan masalah/berfikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan,ataupun sikap”.[18]
Setelah kita mengetahui dan memahami pengertian diatas, maka dapat dipahami kata “prestasi” dan “belajar”. Prestasi pada dasarnya prestasi yang diperoleh dari suatu aktivitas, sedangkan belajar pada dasarnya adalah proses yang mengakibatkan perubahan pada diri individu yaitu perubahan tingkah laku. Dengan demikian dapat diambil pengertian yang sangat sederhana mengenai hal ini. Prestasi belajar adalah prestasi yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai prestasi dari aktivitas dalam belajar. Prestasi belajar mahasiswa yang diperoleh itu melalui suatu proses yang dinamakan usaha, keuletan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman.
C.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar itu tidak selalu disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah (kelainan mental) akan tetapi dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor non intelegensi, karena itu IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberprestasian prestasi belajar siswa. Oleh karena itu perlu memahami masalah-masalah yang berhubungan dengan kesulitan belajar siswa yang dapat mengakibatkan prestasi belajar siswa menurun.
Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan prestasi interaksi dari berbagai faktor yang mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan dua golongan yaitu:
  1. Faktor internal adalah segala sesuatu yang bersumber dari dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi lainnya sehingga siswa dapat belajar.[19] Adapun faktor-faktor yang tercakup di dalamnya yaitu:
  2. Faktor Jasmani (Fisiologis)
Faktor jasmani yaitu segala bentuk tubuh secara lahiriah dapat dilihat oleh mata, baik yang bersifat bawaan seperti penglihatan, pendengaran dan sebagainya.
  1. Faktor Psikologis
Faktor fsikologis adalah faktor yang berhubungan dengan keadaan rohani siswa yang termasuk didalamnya adalah intelegensi, perhatian, minat, bakat dan emosi. Semuanya itu mempunyai peranan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
  1. Faktor Kematangan Fisik dan Psikis
Faktor kematangan fisik dan psikis ini maksudnya adalah seseorang yang mengalami perkembangan fisik dalam arti bahwa kematangan fisik seseorang harus seimbang dengan perkembangan psikisnya.
  1. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh dari luar diri seseorang. Adapun faktor-faktor yang tercakup didalamnya adalah sebagai berikut:
  2. Faktor Sosial
Faktor sosial yakni faktor yang disebabkan dari lingkunagn masyarakat, pengaruh ini terjadi karena keberadaannya ditengah tengah masyarakat. Dimana lingkungan itu berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar siswa
2. Faktor Lingkungan Fisik
Faktor lingkungan fisik itu bukan hanya berupa material atau benda tetapi dapat berupa kondisi iklim, dalam artian bahwa apabila kondisi dimana anak itu belajar tidak cocok, sehingga menimbulkan anak itu tidak merasa tenang dalam belajar, sehingga prestasinya menurun.
3. Faktor Budaya
Faktor budaya ini  terbagi dalam beberapa faktor diantaranya adalah faktor ilmu pengetahuan, kesenian, adat istiadat. Apabila kesemuanya ini semua tidak sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan siswa, maka akan mengalami hambatan dalam belajar

[1] W.J.S Poerwadarminto Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka. 1976) Hal. 188.
[2] Roestiyah.N.K. Masalah Ilmu Keguruan (Cet III. Jakarta: Bina Aksara. 1989).Hal.15.
[3] Drs. Abdurrahman. Pengelolaan Pengajaran. Cet.VI. Ujung Pandang. Bintang Selatan. 1994)Hal.15
[4] Drs Mustamin, Psikologi Pendidikan, Diktat 1996).Hal.246-247.
[5] Soetomo. Dasar-Dasar Interaksi Belajar Mengajar. Cet.1 Surabaya. Usaha Nasional. 1993.Hal.178)
[6] Erna Syafiuddin, Skripsi Studi Tentang Korelasi Antara Keterampilan Mengajar Dengan Motifasi Belajar Siswa Pomdok Pesantren Moderen Manilingi Bulo- Bulo Kec.Perwakilan Arumgkeke Kab. Jeneponto ,(Makassar: Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin, 2000), hal 10-11
[7] Ibid, hal 14
[8] Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Cet.XVII; bandung: Rosdakarya, 2005), hal. 84
[9] Erna Syaffiudin, Op.cit , hal. 17-18
[10] Sytiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar , ( Banjarmasin: Rineka Cipta, 1995) , hal.188-192
[11] Syaiful Bahri Djamarah. Guru Dan Anak Didik Interaksi Edukatif. PT Rineka Cipta. Jakarta 1997) Hal. 129
[12] Ibid.Hal. 139
[13] Ibid. hal .145
[14] Muh. Uzer Usman, Op. cit. Hal 88-89
[15] Syaiful Bahri djamarah, Prestasi Belajar dan Kompotensi, Surabaya : PT Usaha Nasional, 1994 ), hal 19
[16] Ibid. hal 20-22
[17] Abdul Rahman , Pengelolaan Pemgajaran, ( Cet. V; Bamdung : Remaja Rosdakarya 1990 ), hal . 84
[18] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan , ( Cet. V; Bandung : Remaja Rosdakarya 1990 ) , hal. 84
[19] Abu Ahmadi, Psikologi Belajar, ( Cet. III; Jakarta : Rineka Cipta , 2004 ) , hal. 138

Tinjauan Umum tentang Poligami

OLEH : AHMAD SHOLIHIN

A. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani dari kata poly atau polus yang berarti banyak, dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa poligami berarti ”suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan lebih dari seorang”.[1] Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat kita sekarang ini,poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita.
Poligami biasa dibagi atas tiga yakni poliandri, poligini dan group marriage (group family).[2] Poliandri berasal dari bahasa Yunani Polus=banyak, aner=negative, dan andros=laki-laki.[3] Jadi, poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari satu orang laki-laki, sedangkan poligini berasal dari kata polus=banyak dan gune=perempuan. Jadi poligini adalah seorang laki-laki yang mengambil lebih dari seorang perempuan.[4] Polandri tidak lazim dibicarakan oleh para pakar perkawinan yang lebih banyak diperbincangkan adalah poligini. Sedangkan group marriage atau group family merupakan  gabungan dari poligini dengan poliandri, misalnya dalam satu rumah ada lima laki-laki dan lima wanita, kemudian bercampur secara bergantian .[5]
Pembagian poligami tersebut diatas adalah ditinjau dari segi antropologi sosial yang ada dalam perkembangannya istilah jarang sekali digunakan bahkan bisa dikatakan istilah tersebut tidak dipakai lagi dikalangan masyarakat, kecuali dikalangan antropologi saja, sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan disebut dengan poligami dan kata ini digunakan sebagai lawan dari kata polyandry.[6]
Pada masa ini sudah jarang terjadi pelaksanaan polyandri secara terang-terangan sepengetahuan suami, maka untuk sekarang ini poligami bisa sebagai lawan kata polyandri dan juga sebagai lawan kata monogami, dalam hal poligami seorang laki-laki memiliki beberapa istri, mungkin dua, tiga atau empat orang istri, bahkan ada pula yang memiliki dari itu sampai puluhan orang, menurut Syari’at islam seorang laki-laki merdeka dapat melakukan poligami terbatas maksimal empat orang istri tidak boleh dari itu.[7] Bahkan saat sekarang ini beberapa Negara, misalnya Turki dan Amerika Serikat juga beberapa Negara Eropa dan Asia, dengan berbagai pertimbangan melarang poligami atau beristri lebih dari satu istri.
B. Penyebab dan Alasan Poligami.
Seperti kita ketahui bahwa Islam bukanlah agama yang mula-mula mengajarkan poligami. Sewaktu Islam datang, poligami sudah umum dilakukan orang, bahkan poligami kala itu merupakan poligami dalam bentuknya yang mutlak tanpa batas. Kemudian islam mencari sintesa atau jalan tengah,yaitu suatu pandangan yang tidak berlebih-lebihan dan tidak pula melampaui batas. Islam tidak membiarkan poligami dalam bentuk yang mutlak, juga tidak membuangnya sama sekali akan tetapi membatasinya baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif sehingga poligami dengan segala ketentuannya dapat menjadi rahmat kepada setiap manusia.
Akan tetapi islam tetap memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudharat dari pada manfaatnya karena manusia menurut fitrahnya (Humas Nature) mempunyai watak cemburu, irihati dan suka mengeluh. Watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligami. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga baik antara suami dengan istri-istrinya , anak-anak dari istrinya maupun antara istri dengan anaknya masing-masing.[8]
Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut islam adalah monogami, sebab dengan monogamy akan mudah menetralisasi sifat cemburu, irihati dan suka mengeluh, dalam kehidupan poligami orang akan mudah terangsang timbulnya perasaan cemburu dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan juga dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Olehnya itu poligami hanya dibolehkan dalam keadaan darurat.
Sungguh pun demikian Islam membatasi dan tidak melarang poligami disebabkan karena larangan poligami akan menimbulkan dampak yang cukup batal terhadap kaum wanita. Kehidupan rumah tangga dan masyarakat yang sulit diatasi , satu-satunya cara yang dapat dilakukan a dalah memperkecil dampak negatif, dengan memberikan berbagai ketentuan.
Dan etika dalam islam yang berkaitan dengan poligami .dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Qs.Al-Baqarah (2) :185
Terjemahnya
…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…[9]
Dari ayat di atas diketahui bahwa allah tidak akan melarang sesuatu yang diperlukan dalam keadaan terpaksa atau sesuatu yang menarik kemaslahatan khusus. Allah tidak akan melarang sesuartu yang merupakn kebutuhan alamiah manusia dan sesuatu memberikan kesempurnaan akhlak.
Memang tidak diragukan bahwa tidak ada seorang wanitapun rela mengerahkan suaminya untuk dimiliki oleh wanita lain dan berpendapat bahwa perkawinan dengan banyak istri merupakan penyebab timbulnya kecemburuan. Namun terkadang memang ada beberapa kondisi/sebab yang dialami seseorang yang terkait dengan kemaslahatan rumah tangganya, sehingga poligami bagi dirinya tidak bisa diefekkan lagi.
Adapun sebab-sebab poligami adalah sebagai berikut:
a. Beberapa sebab yang ada pada kaum wanita itu sendiri, misalnya sakit keras yang menyebabkan dirinya tidak mampu memenuhi kewajibannya atau ia mengidap penyakit kronis, atau mandul sehingga menghilangkan sifat keibuannya atau lemah nafsu seks, panjang masa haid dan nifasnya, atau ia nusyuz terhadap suaminya atau hal lain yang serupa yang membuat seorang suami tidak dapat bercumbu rayu lebih banyak atau hal lain yang mengurangi keintiman keluarga. Namun, suami rela menerima segalanya dan merasa keberatan bila menceraikannya, hal demikian dimaksudkan untuk menjaga istrinya dari kehinaan dan ketersia-siaan.
b. Sebab-sebab yang ada pada laki-laki itu sendiri, misalnya seorang yang mempunyai kemauan seksual yang sangat tinggi sehingga tidak cukup hanya seorang saja, atau ia seorang yang mempunyai keinginan yang sangat besar untuk memperbanyak keturunan dan ia sanggup dan mampu memenuhi kebutuhan dan pendidikan mereka.
Berkaitan dengan faktor seksual dan diperkenankannya poligami imam Ghazali berpendapat:
“Dari sifat laki-laki ada yang terlalu kuat syahwatnya, tidak cukup baginya seorang isteri. Dikala itu baik sekali bagi laki-laki tadi beristeri lebih dari satu, bahkan sampai empat. Tetapi itu kalau kiranya Allah mencukupkan rasa cinta dan kasih sayang dalam hatinya serta tentram jiwa terhadap mereka.”[10]
c.      Sebab-sebab yang bersifat sosial,seperti keadaan yang menyebabkan bertambahnya kaum wanita dibanding kaum pria, serta pertambahan yang tidak berimbang antara keduanya, misalnya adanya pertempuran/perang yang membinasakan banyak pria dan terdapat suatu interfensi terhadap suatu daerah yang penghuninya lebih banyak lelaki dibanding kaum wanitanya. Ditambah lagi menghadang kesulitan perjuangan hidup yang meminta korban nyawa, teruatam di lapisan yang melakukan pekerjaan diantara besi dan api, didasar lautan, ditengah-tengah ombak dan gelombang serta pekerjaan lain yang banyak menimbulkan resiko korban jiwa bagi laki-laki.
Berdasarkan hal tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa poligami pada dasarnya merupakan kodrati yang dimiliki oleh lelaki yang keberadaannya sudah ada sejak peradaban manusia sendiri.[11]
d.      Adanya peristiwa yang bersifat umum berkaitan dengan masalah Ukhuwah Islamiyah yang mempunyai nilai universal.misalnya ada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dengan meninggalnya banyak anak, kemudian dengan pertimbangan sosial dan melihat kondisi dalam mendidik anak yang perlu tegur seoarng anyah atau kondisi keuangan yang tidak cukup hanya dengan cara dibantu secara cuma-cuma.[12]
e.      Adanya sebab seperti keadaan yang membuat seorang hidup merantau karena pekerjaannya. Dan seringkali dai harus tinggal beberapa lama didaerah lain., sedangkan ia tidak mampu untuk membawa anak isterinya ketika bertugas atau pergi dan ia khawatir sesuatu yang dilarang agama.
Dengan melihat keadaan dan kondisi-kondisi tersebut, maka tidak ada jalan bagi suami untuk tidak melakukan poligami agar terhindar dari hal-hal yang bisa menjerumuskan atau menyalahi segala ketentuan-ketentuan agama, adat dan peraturan perundang-undangan. Meskipun perkawinan pada dasarnya adalah monogamy tapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum-hukum dan agamanya mengizinjkan seorang suami beristeri lebih dari seorang.
Poligami saat ini masih menjadi pembicaraan hangat disemua kalangan masyarakat dan sempat pul menghebohkan saat yang menjadi subyek dalam kasus poligami tersebut adalah seorang dai kondang “K.H Abd. Gymnstiar”. Apalagi dengan gencarnya gerakan feminisme yang mengopinikan bahwa masalah tersebut sebagai bentuk deskriminasi terhadap kaum perempuan. Padahal Islam telah mengatur masalah poligami ini dengan rinci dan tegas, sebagaimana yang termaktub dalam firman allah QS. An-Nisa (4):3
Terjemahnya
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya, maka maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja…[13]
Kaum femenis radikal memandang bahwa kebolehan poligami merupakan deklarasi pemindasan laki-laki atas perempuan yang tiada akhir. Mereka memudah agama islam yang membolehkan poligami telah bertindak bias gender. Pandangan seperti ini seakan-akan memperoleh legitimasi dengan adanya praktek-praktek poligami ditengah masyarakt kita yang tidak sesuai dengan tuntunan islam. Ditambah lagi dengan citra negative ibu tiri, isteri muda, baik melalui film-film maupun cerita –cerita rakyat.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, ada pula yang berpendapat bahwa dilarangnya poligami justru menjadi pemilu dan cenderung melegitimisikan prostitusi seorang jamah berkomentar: “ Dari pada zina, lebih baik menikah lagi, dong!“.[14] Dan menurut cermat penulis sendiri, kenapa harus zina, kenapa harus menikah lagi? Kedua persoalan tersebut tidak tepat jika poligami dan zina yang menjadi solisinya. Yang perlu digali bagaimana ilmu mengatasi persoalan keluarga dan persoalan seks tersebut.
Seorang wanita dengan sifat-sifat kewanitaannya banyak dipengaruhi oleh perassan daripda pertimbangan rasio sehingga bela ditanyakan mengapa seorang wanita begitu tertarik pada seorang laki-laki sulit sekali dicari sebab-sebab dan motivasinya, kecuali faktor-faktor kejiwaan yang tumbuh dari sifat-sifat kewanitaan itu, antara lain: karena kekayaan laki-laki itu, pertimbangan keturunan atau status sosial, pertimbangan kegagalan dan perkembangan agama.
Poligami telah dilakukan orang sebagai suatu turun temurun, maka islam pun mengatur langkah-langkah dalam pelaksanaannya, sehingga dengan demikian akan dapat dibedakan nafsu jahiliyah yang tidak terikat dengan faedah dan manfaat yang bisa diambil darinya. Begitu pula di Indonesia langkah-langkah untuk melakukan poligami telah diatur dalam KHI dan beberapa peraturan perundang-undangan, agar seorang sulami tidak seenaknya melakukan poligami.Al-Qu’an membolehkannya,tapi kebolehan poligami sebenarnya merupakan rukshah atau keringanan untuk keadaan-keadaan tertentu saja, sebagaiamana yang dipaparkan oleh Yusut Qardhawi bahwa salah satu contoh keadaan dimana poligami diperbolehkan,yaitu:
“ Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi ia dikaruniai rezeki isteri yang tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Apakah tidak lebih mulia bagi seorang isteri dan lebih utama bagi suami untuk menikah lagi dengan orang yang disenangi untuk memperoleh keinginan tersebut dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-haknya”.[15]
Perkawinan pada asasnya adalah monogami tapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya mengizinkan seorang suami boleh beristeri lebih dari seorang. Tentang pengecualian tersebut, dalan undang-undang perkawinan memberi pembatas yang cukup berat, yakni berupa suatu pemenuhan syarat dengan suatu alasan tertentu dan izin pengadilan seperti dinyatakan dalam pasal 3 dan 5 undang-undang perkawinan.
Adapun alasan yang dapat memungkinkan seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang , dalam undang-undang perkawinan disebutkan sebagai berikut:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[16]
Maka boleh dikatakan bahwa masalah poligami inilah salah satu sebab yang mendorong untuk diciptakannya undang-undang  perkawinan diantara sebab-sebab yang lain. Dalam undang-undang perkawinan dicantumkan suatu asas yaitu asas monogamy yang hanya membolehkan suami mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu,[17] dengan tujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah sesuai yang termaktub dalam perundang-undangan dan kompilasi hukum Islam.
C. Syarat-Syarat poligami
Seperti kita ketahui, Islam bukanlah agama yang mula-mula membolehkan perkawinan poligami, sewaktu Islam datang poligami sudah umum dilakukan orang bahkan poligami kala itu merupakan poligami dalam bentuk yang mutlak tanpa terbatas, kemudian Islam mencari sintesa atau jalan tengah yaitu suatu  pandangan yang tidak berlebihan dan tidak melampaui batas, Islam tidak membiarkan poligami dalam bentuknya yang mutlak juga tidak menutup jalannya sama sekali, akan tetapi islam membatasinya baik secara kuantitatif sehingga poligami dengan segala ketentuannya dapat menjadi rahmat bagi setiap orang dan dapat menjamin keutuhan rumah tangga dan masyarakat.[18] Oleh karena itu ada beberapa syarat yang harus ditunaikan bagi orang yang berpoligami yaitu:
1. Dapat berlaku adil
Ketentuan berlaku adil oleh Allah SWT., dalam firmanNya QS. An-Nisa (4): 3 yang berbunyi
Terjemahnya:
jika kamu takut untuk tidak dapat berlaku adil maka satu saja…[19]
Berdasarkan ayat tersebut, dijelaskan bahwa barang siapa yang takut tidak akan dapat berlaku adil maka hendaklah ia kawin dengan seorang wanita saja. Dan barang siapa yang percaya bahwa dirinya akan mampu mewujudkan keadilan, maka boleh baginya untuk melakukan poligami.
2. Mampu memberikan nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggungannya sesuai dengan kebiasaaan masyarakat.
3. Mampu memelihara isteri-isteri dan anak-anaknya dengan baik. Sebagaimana Allah SWT., berfirman dalam QS. At-Tahrim (66): 6 yang berbunyi:
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …[20]
Dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana ditetapkan bahwa syarat-syarat  yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah:
1. Adanya persetujuan isteri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.[21]
Dengan melihat beberapa syarat poligami tersebut, baik itu syarat dalam konteks Islam maupun dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, ada semacam usaha agar aktivitas poligami ini diperketat atau dipersempit pada ruang geraknya. Sehingga bagi suami yang ingin beristeri lebih dari satu perlu memperhatikan hal-hal yang prinsipil dalam mewujudkan suatu perkawinan yang langgeng. Selanjutnya eksistensi dari syarat-syarat poligami tersebut memberikan suatu indikasi bahwa sesungguhnya poligami bukanlah hal yang sangat mudah untuk dilakukan, tetapi memerlukan keseriusan dari masing- masing pihak yang sifat dominannya diperuntukkan kepada kaum laki-laki sebagai pihak yang mengajukan permohonan dan tidak kalah pentingnya karena posisinya sebagai suami merupakan pengendali utama dalam rumah tangga.
D. Prosedur Pelaksanaan Poligami
Mengenai persyaratan untuk berpoligami bagi seorang pria menurut pasal 3 ayat 2 undang-undang perkawinan adalah harus ada izin dari pengadilan bila dikehendaki oleh yang bersangkutan, hukum dalam hal ini penjelasan yang diterangkan Al-Qur’an dan perundang-undangan yang berlaku ada titik persamaan baik penjelasan maupun tujuannya.
Menyangkut prosedur pelaksanakan poligami aturannya dapat dilihat di dalam PP No. 9 tahun 1975 pada pasal 40 dinyatakan bahwa:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan .
Sedangkan mengenai tugas pengadilan diatur di dalam pasal 41 PP No. 9 tahun 1975 sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
-. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
-. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
-. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri , baik persetujuan lisan maupun secara tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, maka persetujuan itu harus diucapkan di depan siding pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, dengan memperhatikan:
I. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara setempat; atau
II.  Surat keterangan pajak penghasilan; atau
III. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.[22]
Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para isteri untuk memberikan penjelasan atau kesaksian. Di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratannya.
Apabila diperhatikan Aturan-aturan tersebut, pada prinsipnya mengacu kepada esensi perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa atau dalam rumusan kompilasi hukum Islam, Bab II pasal 3 bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Adapun perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, tiga atau empat tanpa izin dari pengadilan agama, maka tidak mempunyai kekuatan hukum.[23] Sehingga izin pengadilan agama tampaknya menjadi  sangat menentukan, sehingga di dalam perundang-undangan dan kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin dari pengadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas bahwa seorang suami yang melakukan perkawinandengan isteri kedua, tiga atau empat adalah tidak mempunyai kekuatan hukum jika tidak mendapat izin dari pengadilan. Dalam hal perkawinan yang tidak disetujui oleh isteri pertama adalah sah apabila Karena suatu lain hal si isteri atau isteri-isteri tidak mungkin dimintai persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam hukum Islam Bab IX pasal 58 ayat (3) berbunyi: persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar  dari isteri-isterinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. Dalam kompilasi hukum Islam pada pasal 56 dijelaskan sebagai berikut:
1)      Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2)      Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.[24]
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuannya, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari seorang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam kompilasi hukum Islam pasal 55 dan 57, Pengadilan Agama menerapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin Pengadilan tidak diperoleh, maka menurut keputusan pasal 44 PP No. 9 tahun 1975, pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43 PP N0. 9 tahun 1975. Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas dikenakan sanksi pidananya.
Dalam operasionalnya, pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan izin isteri atau isteri-isteri, dimaksudkan untuk dapat merealisasikan kemaslahatan yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan yang diridhai Allah SWT., dan didasarkan pada cinta dan kasih sayang (mawaddah warahmah). Pada akhirnya baik menurut hukum Islam maupun menurut Undang-undang perkawinan, menerangkan bahwa pelaksanaan poligami adalah merupakan tindakan yang hanya diperbolehkan bagi seorang pria yang betul-betul memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi.

[1] Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I (Cet.III ; Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 107

[2] Suaramuslim.net, 21 mei 2007.
[3] Hasan Shadily, Ensiklopedi Nasional (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1984), h. 2376
[4] Ibid
[5] Suaramuslim.net, op. cit.
[6] Lihat Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam ( Cet.I; Surabaya: Usaha Nasional, t.th.), h.13.
[7] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Pebandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Muslim (Cet.II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 80.
[8] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. Ed. I ( Cet II; Jakarta : Kencana, 2006), h. 131
[9] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT Tanjung Mas Inti, 1992), h. 45.
[10] Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah ( Cet.I ; Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 60.
[11] Ibid., h. 62.
[12] Anshorie Fahmie.  Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? ( Cet. I; Bandung: Pustaka IIman, 2007),h. 66.
[13] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya ( Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), h. 115
[14] Anshorie Fahmie, op. cit., h.51.
[15] Lihat Yusuf Qardhawi” Poligami dalam Islam” dalam Anshorie Fahmie, ibid., h. 177
[16] Undang-Undang Perkawinan ( Cet.I; Bandung: Fokus Media, 2005), h. 2
[17] Musda Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Lembaga Kajian Agama dan Gender, solidaritas Perempuan ( Cet.I; Jakarta: He Asia Foundation, 1999), h.2
[18] Abdul Tawab Haikal, Poligami dalam Islam dan Monogami Barat (Cet.I;Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 56
[19] Departemen Agama RI. op. cit., h. 115
[20] Ibid., h.951
[21] AmiurNuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet.II; Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 164.
[22] Undang-Undang Perkawinan, op. cit., h. 46-47.
[23] Ahmad Rofiq, Hukum Islam diIndonesia ( Cet. VI; Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 173.
[24] Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Tinjauan Umum tentang Pegadaian menurut Islam

OLEH : AHMAD SHOLIHIN

A. Pengertian Gadai 

Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang disebut ar-Rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Ar-Rahn (gadai) menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat, di samping itu rahn diartikan pula secara bahasa dengan tetap, kekal dan jaminan.[1]
Pengambilan kata gadai dengan istilah rahn itu terambil dari ungkapan Allah dengan kata “farihaanu” dalam QS. Al-Baqarah (2): 283 yang berbunyi:
Terjemahnya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[2]
Kata farihanu dalam ayat tersebut diartikan sebagai maka hendaklah ada barang tanggungan. Kemudian dilanjutkan dengan maqbudhah yang artinya yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Dari kata itulah dapat diperoleh suatu pengertian bahwa secara tegas rahn adalah barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang meminjamkan uang sebagai pengikat di antara keduanya. Meskipun pada dasarnya tanpa hal tersebut pun pinjam meminjam tersebut tetap sah. Namun untuk lebih menguatkannya, maka dianjurkan untuk menggunakan barang gadai.
Menurut Zainuddin dan Jamhari, gadai adalah menyerahkan benda berharga dari seseorang kepada orang lain sebagai penguat atau tanggungan dalam utang piutang. Borg adalah benda yang dijadikan jaminan. Benda sebagai borg ini akan diambil kembali setelah utangnya terbayar. Jika waktu pembayaran telah ditentukan telah tiba dan utang belum dibayar, maka borg ini digunakan sebagai ganti yaitu dengan cara dijual sebagai bayaran dan jika ada kelebihan dikembalikan kepada orang yang berutang.[3]
Menurut istilah syara’ ar-rahn terdapat beberapa pengertian di antaranya :
  1. Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
  2. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang.
  3. Akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[4]
Sedang menurut pendapat Syafe’i Antonio, Ar-Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.[5]
Menurut beberapa mazhab, rahn berarti perjanjian penyerahan harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan hutang yang nantinya dapat dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagainya. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat aktual (berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal, misalnya berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta jaminan.[6]
Dalam hal gadai Drs. Ghufron A. Mas’adi, mengemukakan bahwa yang dimaksud ar-Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan).[7] Sedangkan di dalam syariah, ar-Rahn itu berarti memegang sesuatu yang mempunyai nilai, bila pemberian itu dilakukan pada waktu terjadinya utang.[8]
Dalam Fiqh Sunnah, menurut bahasa Rahn adalah tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu artinya penahanan, seperti dikatakan: Ni’matun Rahinah, artinya karunia yang tetap dan lestari.[9]
Sedangkan menurut syara’ apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaannya (pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya.[10]
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong dan tidak untuk mencari keuntungan. Sedangkan gadai dalam hukum perdata, di samping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan melalui sistem bunga atau sewa modal yang ditetapkan di muka. Dalam hukum Islam tidak dikenal “bunga uang”, dengan demikian dalam transaksi rahn (gadai syari’ah)  pemberi gadai tidak dikenakan tambahan pembayaran atas pinjaman yang diterimanya. Namun demikian masih dimungkinkan bagi penerima gadai untuk memperoleh imbalan berupa sewa tempat penyimpanan marhun (barang jaminan/agunan).[11]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ar-Rahn (gadai) ialah suatu sistem muamalah dimana pihak yang satu memberikan pinjaman dan pihak yang lain menyimpan barang berharga atau bernilai sebagai jaminan atas pinjaman terhadap orang yang menerima gadai.
Secara tegas ar-Rahn (gadai) adalah memberikan suatu barang untuk ditahan atau dijadikan sebagai jaminan/pegangan manakala salah si peminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya sesuai dengan waktu yang disepakati dan juga sebagai pengikat kepercayaan di antara keduanya, agar si pemberi pinjaman tidak ragu atas pengembalian barang yang dipinjamnya.
  1. B. Rukun dan Syarat Gadai
Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang sangat terkait dengan akad sebelumnya, yakni akad utang piutang (al-Dain), karena tidak akan terjadi gadai dan tidak akan mungkin seseorang menggadaikan benda atau barangnya kalau tidak ada hutang yang dimilikinya.
Utang piutang itu sendiri adalah hukumnya mubah bagi yang berhutang dan sunnah bagi yang mengutangi karena sifatnya menolong sesama. Hukum ini bisa menjadi wajib manakala orang yang berutang benar-benar sangat membutuhkannya.[12]
Meskipun hukumnya adalah mubah, namun persoalan ini sangat rentan dengan perselisihan, karena seringkali seseorang yang telah meminjam suatu benda atau uang tidak mengembalikan tepat waktu atau bahkan meninggalkan kesepakatan pengembalian dengan sembunyi atau pergi jauh menghilang entah kemana sehingga si pemberi utang pun merasa ditipu dan dirugikan.
Karena pertimbangan di atas, ataupun pertimbangan lain yang belum dapat diketahui oleh umat manusia, maka sangat relevan sekali jika Allah melalui wahyu-Nya menganjurkan agar akad utang piutang tersebut ditulis, dengan menyebutkan nama keduanya, tanggal, serta perjanjian pengembalian yang menyertainya, penulisan tersebut dianjurkan lagi untuk dipersaksikan kepada orang lain, agar apabila terjadi kesalahan di kemudian hari ada saksi yang meluruskan, dan tentunya saksi tersebut harus adil. Dalam penerapannya saat ini, penulisan tersebut biasanya dikuatkan pula dengan materai agar mempunyai kekuatan hukum, atau bahkan disahkan melalui seorang notaris.
Selain itu pula, Allah juga menganjurkan (sunnah) untuk memberikan barang yang bernilai untuk dijadikan sebagai jaminan (gadai) bagi si pemberi pinjaman. Kemudian dituliskan segala kesepakatan yang diambil sebelum melakukan pinjam meminjam dengan gadai. Barang yang dijadikan sebagai gadai (jaminan) tersebut harus senilai dengan pinjaman atau bahkan nilainya lebih dari nilai besarnya pinjaman, barang tersebut dipegang oleh yang berpiutang. Ayat tersebut sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya, yakni:
Terjemahnya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[13]
Menurut tinjauan Islam berdasarkan ayat tersebut bahwa dasar hukum gadai adalah jaiz (boleh) menurut al-kitab, as-sunnah dan ijma.[14]
Kata ???  pada ayat tersebut di atas secara lughat berarti perjalanan, namun secara maknawi berarti perjalanan yang di dalamnya terjadi muamalah tidak secara tunai.
Adapun kata ????  ???? ??? ?????secara lughat hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang. Barang tanggungan yang dimaksud adalah gadai yang harus dipegang oleh orang yang berpiutang. Kemudian jika kamu tidak percaya, artinya jika kamu satu sama lain tidak percaya mempercayai sedang kamu berada dalam safar dan tidak ada penulis, maka hendaklah yang berutang memberikan barang (gadai) sebagai jaminan,  maka hendaklah yang berhutang memberikan barang sebagai jaminan, bahwa dia benar-benar berhutang dan akan membayar hutangnya.
Ayat ini tidak mensahkan hukum yang menyuruh membuat surat hutang di waktu tidak saling mempercayai, karena membuat surat keterangan hutang diwajibkan agama kecuali dikala safat tidak ada penulis, maka hendaklah yang berutang memberikan barang sebagai jaminan.
Dan kata   berarti didasarkan dosa kepada hati (jiwa) adalah karena menyembunyikan kesaksian adalah perbuatan hati, dan perbuatan hati itu sekali-kali tidak tersembunyi bagi Allah.[15]
Dalil dari as-sunnah, salah satu hadis Rasul saw. disebutkan:
Artinya :
Dari Aisyah r.a berkata: Bahwa Rasul saw pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi secara mengutang kemudian beliau meninggalkan (menggadaikan) baju besi beliau sebagai jaminan utangnya’.[17]
Para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh, mereka tidak pernah mempertentangkan kebolehannya. Demikian pula landasan hukumnya. Jumhur berpendapat bahwa gadai itu disyariatkan pada waktu tidak bepergian dan waktu berpergian. Hal ini berorientasi terhadap perbuatan Rasul saw. yang dilakukan terhadap orang Yahudi di Madinah.
Mujahid, Adh Dahhak  dan semua penganutnya/pengikutnya Mazhab Az-Zahiri berpendapat, bahwa rahnun itu tidak diisyaratkan kecuali pada saat bepergian. Ini juga berdalil kepada landasan hukum dalam al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 283, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya[18]
Keterkaitan antara utang piutang dengan gadai, adalah ketika di antara peminjam dan yang memberikan pinjaman tidak terjadi saling percaya, atau kepercayaan tersebut disertai dengan syarat, atau untuk menguatkan kepercayaan diantara keduanya, maka di situlah fungsi dari gadai. Jadi, selama keduanya masih saling percaya, maka gadai tersebut tidak merupakan dianjurkan, dalam artian akad pinjam meminjam tersebut tetap sah, meskipun tanpa disertai dengan barang gadai.
Berdasarkan keterangan ayat dan penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa hukum gadai adalah sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), karena keberadaannya sangat besar pengaruh terhadap kepercayaan antara kedua belah pihak, menghindari adanya penipuan dan adanya pihak yang dirugikan.
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain:
  1. Akad ijab dan qabul, seperti seorang berkata; “Aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp. 10.000,- dan yang satu lagi menjawab; “aku terima gadai mejamu seharga 10.000,- atau bisa pula dilakukan selain dengan kata-kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
  2. Aqid yaitu menggadaikan (rahn) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharruf; yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
  3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
  4. Ada utang disyaratkan keadaan utang telah tetap.[19]
Adapun yang menjadi rukun gadai adalah :
  1. Adanya lafaz yaitu pernyataan ada perjanjian gadai.
  2. Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)
  3. Adanya barang yang digadaikan (marhun)
  4. Adanya utang.
Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa benda/barang gadaian tetap berada dalam penguasaan penerima gadai (rahin) atau berada di tangan pemberi pinjaman sampai orang yang menggadaikan barang tersebut melunasi utangnya. Jadi, marhun (barang gadai) tidak dikembalikan sebelum pinjaman dilunasi.
Bahkan lebih jauh dari itu, sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq telah mengemukakan bahwa semua orang yang alim berpendapat, siapa yang menjaminkan sesuatu dengan harta kemudian dia melunasi sebagiannya dan ia menghendaki mengeluarkan sebagian harta, kemudian dilunasi sebagiannya dan menghendaki mengeluarkan sebagian jaminan sesungguhnya yang demikian itu (masih) bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dan haknya atau pemberi utang membebaskannya.[20]
Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat sah ar-rahn (gadai) antara lain :
  1. Borg/marhun (barang gadai) harus utuh
  2. Borg yang berkaitan dengan benda lainnya, tapi Hanafiyah berpendapat tidak sah jika borg berkaitan dengan benda lain seperti borg buah yang masih di pohon, sedangkan pohonnya tidak dijadikan borg.
  3. Gadai utang
  4. Menggadaikan barang pinjaman; pada dasarnya barang yang digadaikan haruslah milik rahin akan tetapi jika dalam kondisi tertentu rahin bisa menggadaikan barang yang bukan miliknya asal seizin pemiliknya atau rahin tersebut dikuasakan untuk melaksanakan akad gadai (rahn).[21]
Menyimpulkan dari beberapa pendapat di atas, maka rukun dan syarat sahnya akad gadai adalah adanya pihak penggadai (rahin), pihak yang menerima gadai (marhun), barang yang dipinjam, barang yang dijadikan gadai dan ijab qabul. Tanpa kesemuanya tersebut sangat mustahil dapat terwujud akad gadai.
  1. C. Fungsi dan Manfaat Gadai
Gadai diadakan dengan persetujuan jika hak itu hilang dan gadai itu lepas dari kekuasaan si pemiutang. Si pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan kepadanya selama utang si berutang belum lunas, tetapi ia tidak  berhak mempergunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai itu, jika siberutang tidak mau membayar utangnya jika hasil gadai itu lebih besar daripada utang yang harus dibayar, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada si pegadai.
Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran utang, maka sipemiutang tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi itu. Penjualan barang gadaian harus dilakukan di depan umum dan sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu harus diberitahukan lebih dahulu kepada si penggadai tentang pelunasan utang, pemegang gadai selalu didahulukan dari pada pemiutang lainnya.
Pemilik masih tetap berhak mengambil manfaatnya dari barangnya yang dijaminkan, bahkan manfaatnya tetap kepunyaan pemilik dan kerusakan menjadi tanggungan pemilik. Tetapi usaha pemilik untuk menghilangkan miliknya dari abrang itu (jaminan), mengurangi harga menjual atau mempersewakannya tidak sah tanpa izin yang menerima jaminan (borg).[22]
Menjaminkan barang-barang yang tidak mengandung resiko biaya perawatan dan yang tidak menimbulkan manfaat seperti menjadikan bukti pemilikan, bukan barangnya, sebagaimana yang berkembang sekarang ini agaknya lebih baik untuk menghindarkan perselisihan antara kedua belah pihak sehubungan dengan resiko dan manfaat barang gadai. Lebih dari itu, masing-masing pihak dituntut bersikap amanah, pihak yang berutang menjaga amanah atas pelunasan hutang. Sedangkan pihak pemegang gadai bersikap amanah atas barang yang dipercayakan sebagai jaminan.[23]
Penulis dapat menyimpulkan bahwa pemanfaatan barang gadaian dapat menimbulkan suatu manfaat terhadap masyarakat yang telah melaksanakan gadai menggoda dalam transaksi ekonomi.
Dalam hukum Islam hikmah gadai sangat besar, karena orang yang menerima gadai membantu menghilangkan kesediaan orang yang menggadaikan, yaitu kesedihan yang membuat pikiran dan hati kacau. Di antara manusia ada yang membutuhkan harta berupa uang untuk mencukupi kebutuhannya.
Kebutuhan manusia itu banyak. Mungkin ia meminta bahwa kepada seseorang dengan cara berutang, tetapi orang itu menolak untuk memberikan harta kecuali dengan ada barang jaminan yang nyata sampai dikembalikannya sejumlah jaminan itu. Dengan adanya kenyataan seperti Allah Maha Bijaksana mensyariatkan dan membolehkannya sistem gadai agar orang yang menerima gadai merasa tenang atas hartanya.
Alangkah baiknya kalau mereka mengikuti syari’at dalam penggadaian, karena kalau mereka mengikuti syari’at tidak ada yang menjadi korban keserakahan orang-orang kaya yang bisa menutupi pintu-pintu yang tidak terbuka dan melarat orang yang didahuluinya maka dengan kemewahan dan kebahagiaan.
Hikmah yang bisa diambil dari sistem gadai ini ialah :
Timbulnya rasa saling cinta mencintai dan sayang menyayangi antara manusia, belum lagi pahala yang diterima oleh orang yang menerima gadai dari Allah swt. Di suatu hari yang tiada guna lagi harta dan anak, kecuali orang yang lapang, rela dan tulus  ikhlas untuk memperoleh ridha dari Allah.[24]
Dengan hikmah tersebut, maka timbul rasa saling cinta mencintai untuk menolong orang lain dari kesusahan.
Ar-rahnun pada hakikatnya adalah untuk memberikan jaminan kepada berpiutang. Dengan demikian, maka pada hakikatnya tujuan gadai itu adalah untuk memudahkan bagi yang mendapat kesulitan terhadap sesuatu dan juga  tidak merugikan kepada orang lain. Islam memberikan tuntutan agar kita sebagai manusia untuk selalu tolong menolong.[25]
Jadi di sini agama Islam memberikan jalan keluar bagi yang kena sesuatu kesulitan, sedang ia mempunyai sesuatu barang yang juga berharga dan itulah yang dijadikan borg (jaminan).[26]
Pada hakekatnya yaitu memberikan jaminan kepada orang berpiutang sebagai usaha untuk memudahkan bagi yang mendapat kesulitan terhadap sesuatu, sementara orang yang berpiutang mempunyai barang yang berharga (barang yang dapat digadaikan). Jadi, pada prinsipnya adalah untuk tolong menolong dalam batas-batas pemberian jaminan.

[1]H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 105.

[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 71
[3]A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2, Muamalah dan Akhlaq (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 21
[4]H. Hendi Suhendi, op.cit., h. 105-106
[5]Muh. Syafei Antonio, Bank Syariah dan Dari Teori Ke Praktek (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 128
[6]Hassan Sadily, Ensiklopedi Islam, Jilid V (Jakarta : PT. Ichtiar van Hoove, 2000), h. 1480
[7]Ghufron A.M. As’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual (Cet. I; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 175-176
[8]A. Rahman I. Doi, Muamalah Syariah III (Cet. I; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 72
[9]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12 (Cet. I; Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1987),       h. 150
[10]Ibid., h. 150
[11]Perum Pegadaian, Manual Operasi Unit Layanan Gadai Syariah, h. 1 dari 2
[12]A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, op.cit., h. 18
[13]Departemen Agama RI, loc.cit.
[14]Sayyid Sabiq, loc.cit.
[15]Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 278.
[16]Imam Bukhari, Al-Jami’atu Shahih Bukhari, Juz III (Beirut: Darul Kitab, t.th.), h. 261.
[17]Sayyid Sabiq, op. cit., h. 140.
[18]Ibid., h. 141
[19]H. Hendi Suhendi, op.cit., h. 108
[20]H. Chairuddin Pasaribu dan Surrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 142
[21]Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, t.th), h. 169
[22]H. Ibrahim Lubis, BC. HK. Dpl. Ec, Ekonomi Islam Suatu Pengantar 2 (Cet. I; Jakarta : Kalam Mulia, 1995), h. 405
[23]Ghufron A. M. As’adi, op.cit., h. 179
[24]Syekh Al Ahmad Jurjani, Hikmah Al-Tasyri Mafalsafatuhu, Diterjemahkan oleh Hadi Mulyo (Cet. I; Semarang: Asy Syifa, 1992), h. 394.
[25]Lihat Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang menurut Islam. (Cet. II: Bandung: Diponegoro, 1992), h. 14.
[26]H. Hamzah Ya’qub, loc. cit.