Thursday, 30 January 2014

Tinjauan tentang Hukum Jual Beli dalam Islam

OLEH : AHMAD SHOLIHIN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
 
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa, ialah menukarkan sesuatu dengan sesuatu. Menukarkan barang dengan barang dinamai jual beli menurut bahasa sebagaimana menukarkan barang dengan uang. Salah satu dari dua hal yang ditukar tadi dinamai mabi’ (barang yang dijual) dan yang lain disebut tsaman (harga). Dilihat dari segi bahasa tiada bedanya antara barang yang dijual dan harga, apakah kedua-duanya itu suci ataupun najis.[1]
Dalam Kamus Hukum dijelaskan bahwa jual beli adalah
Suatu persetujuan, dimana pihak yang satu mengikat diri untuk menyerahkan barang yang tertentu, dan pihak yang lain mengikat diri untuk membayar harganya.[2]
Pengertian jual beli menurut istilah, terdapat beberapa pendapat di kalangan para Imam Mazhab, yakni:
  1. Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, jual beli mengandung dua makna, yakni:
1)   Makna khusus, yaitu menukarkan barang dengan dua mata uang, yakni emas dan perak dan yang sejenisnya. Kapan saja lafal diucapkan, tentu kembali kepada arti ini.
2)   Makna umum, yaitu ada dua belas macam, diantaranya adalah makna khusus ini.[3]
  1. Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki, jual beli atau bai’ menurut istilah ada dua pengertian, yakni:
1)   Pengertian untuk seluruh satuannya bai’ (jual beli), yang mencakup akad sharaf, salam dan lain sebagainya.
2)   Pengertian untuk satu satuan dari beberapa satuan yaitu sesuatu yang dipahamkan dari lafal bai’ secara mutlak menurut uruf (adat kebiasaan).[4]
  1. Mazhab Hanbali
Menurut ulama Hanbali jual beli menurut syara’ ialah menukarkan harta dengan harta atau menukarkan manfaat yang mubah dengan suatu manfaat yang mubah pula untuk selamanya.[5]
  1. Mazhab Syafi’i
Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan bahwa jual beli menurut syara’ ialah akad penukaran harta dengan harta dengan cara tertentu.[6]
Dari beberapa argumen tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikat diri untuk menyerahkan barang dan pihak yang lain mengikat diri untuk membayar harganya.
  1. 2. Dasar Hukum Jual Beli
Pada dasarnya hukum jual beli adalah boleh. Sebagai dasar tersebut, dapat dipahami firman Allah swt. antara lain dalam QS. Al-Baqarah (2): 275 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“ … Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”.[7]
Pada ayat lain Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 29.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu … [8]
Ayat-ayat tersebut dengan jelas menerangkan halalnya jual beli, meskipun ayat tersebut disusun untuk beberapa tujuan selain pernyataan halalnya jual beli.
Dalam pada itu, Al-Jaziriy telah mengemukakan bahwa hukum jual beli yang boleh itu terkadang menjadi wajib, yaitu ketika dalam keadaan terpaksa membutuhkan makanan atau minuman, maka wajib seseorang membeli sesuatu untuk sekedar menyelamatkan jiwa dari kebinasaan dan kehancuran.
Dan tidak membeli sesuatu yang dapat menyelamatkan jiwa di saat darurat tersebut.[9]
Dan terkadang jual beli hukumnya bisa atau mandub, seperti seseorang bersumpah akan menjual barang yang tidak membahayakan bila dijual. Maka dalam keadaan demikian dia  disunnahkan melaksanakan sumpahnya. Kadang-kadang jual beli hukumnya makruh, seperti menjual barang yang dimakruhkan menjualnya. Juga terkadang jual beli hukumnya haram seperti menjual barang yang haram dijual.[10]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jual beli dalam hukum Islam adalah boleh, bahkan terkadang diwajibkan atau disunnahkan, yakni tergantung dari keadaan seseorang dan barang yang menjadi objek jual beli.
  1. B. Rukun dan Syarat Jual Beli
    1. 1. Rukun Jual Beli
Jual beli berlangsung dengan ijab dan qabul, terkecuali untuk barang-barang kecil, tidak perlu dengan ijab dan qabul; cukup dengan saling sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku. Dan dalam ijab dan qabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri.[11]
Hal yang diperlukan adalah saling rela, direalisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat menunjukkan keridhaan dan berdasarkan makna pemilikan dan mempermilikkan.[12]
Seiring dengan hal tersebut Abdurrahman Al-Jaziriy telah mengemukakan bahwa rukun jual beli pada dasarnya terdiri atas tiga, yakni: 1. Sighat, 2. Aqid, 3. Ma’qud.
  1. Sighat
Sighat dalam jual beli ialah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kerelaan dari dua belah pihak; penjual dan pembeli, yang terdiri dari dua perkara.
1)   Perkataan dan apa yang dapat menggantikannya, seperti seorang utusan atau sebuah surat. Maka apabila seseorang kirim surat kepada orang lain; dia berkata dalam suratnya: “Sesungguhnya saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian”. Atau dia mengutus seorang utusan kepada temannya, kemudian temannya menerima jual beli ini dalam majelis, maka sahlah akad tersebut. Tidak diampuni baginya terpisah kecuali sesuatu yang diampuni dalam ucapan ketika hadirnya barang yang dijual.
2)   Serah terima, yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu perkataan pun. Misalnya seseorang membeli barang yang harganya kepadanya, maka ia sudah dinyatakan memiliki barang tersebut lantaran dia telah menerimanya. Sama juga barang yang dijual itu sedikit (barang kecil) seperti roti, telur dan sejenis yang menurut adat dibelinya dengan sendiri-sendiri, maupun berupa barang banyak (besar) seperti baju yang berharga.[13]
  1. Aqid
Aqid yaitu orang yang melakukan akad, baik penjual maupun pembeli ditetapkan padanya beberapa syarat, antara lain:
1)   Hendaknya penjual dan pembeli sudah tamyiz, maka tidak sah jual belinya anak-anak yang belum mumayyiz, demikian pula jual belinya orang gila. Adapun anak-anak yang sudah tamyiz dan orang idiot, yaitu orang-orang yang sudah mengerti jual beli beserta akibatnya dan dapat menangkap maksud dari pembicaraan orang-orang yang berakal penuh serta mereka dapat menjawabnya dengan baik, maka akad jual mereka dan akad beli mereka adalah sah. Tetapi tak dapat dilaksanakan kecuali haru ada izin khusus dari walinya, dan tidak cukup dengan izin umum.
Apabila seorang anak yang sudah tamyiz membeli sesuatu barang yang sudah mendapat izin dari walinya, maka sahlah dan harus dilaksanakan jual beli tersebut dan bagi wali sudah tak punya hak untuk menolaknya.
Adapun jiwa wali tidak memberi izin dan si anak membelanjakannya sendiri untuk kepentingan sendiri, maka jual belinya sah tetapi tidak dapat dilaksanakan sehingga wali memberi izin atau dia sendiri yang memberi izin sesudah ia dewasa.
2)   Hendaknya si aqid itu orang yang sudah pandai (rasyidan : yaitu orang yang sudah mengerti tentang ketentuan hitung). Ini sebagai syarat lulusannya jual beli. Maka tidak sah jual belinya anak kecil, baik yang sudah tamyiz maupun yang belum, dan tidak sah pula jual belinya orang gila, orang idiot (ma’tuh) dan pemboros yang luar biasa, hingga tak dapat memegang uang dan tidak mengenal hitung (safih), kecuali apabila si wali memberi izin kepada yang tamyiz dari mereka. Sedang jual belinya orang yang belum tamyiz adalah batal. Adalah sama antara mumayyiz yang normal penglihatannya dan yang tuna netra.
3)   Hendaknya si aqid dalam keadaan tidak dipaksa (mukhtar). Maka tidak sah jual belinya orang yang dipaksa.
Dalam hal tersebut telah dirinci dalam masing-masing mazhab ada qarinah atau tanda-tanda, maka pengakuannya tidak bisa diterima kecuali disertai bukti (saksi).
Adapun jika seseorang menjual sesuatu karena menghindar dari orang zalim dan sesamanya tanpa ada persetujuan dengan si pembeli, bahwa jual beli ini adalah jual beli pengaman dan penangkal, maka akad jual beli ini dinyatakan sah, maka akad tersebut lahir dari seorang penjual yang tidak dipaksa. Demikian juga apabila seseorang dipaksa untuk mendatangkan suatu harta, namun kemudian dia menjual miliknya tadi, maka sahlah jual beli tersebut. Karena dia tidak dipaksa untuk menjual, tetapi dia dipaksa untuk melakukan hal yang menyebabkan dia dijual. Bahwa membelinya dinyatakan makruh karena hal tersebut berarti jual dengan harga tidak umum.
Barang siapa yang menguasai milik orang lain tanpa hak, kemudian orang lain tadi memintanya, tetapi mengingkarinya seraya berkata: bahwa dia tak mau mengakuinya, sehingga orang lain tidak menjualnya. Kemudian dia terpaksa menjualnya, maka jual beli ini dinyatakan batal, karena si penjual dalam keadaan dipaksa.
Tidak termasuk paksaan adalah suatu paksaan dalam keputusan seorang hakim untuk menjual sesuatu karena untuk menutup hutangya dan sejenis. Karena paksaan ini adalah paksaan karena hak. Sedangkan jual beli yang batal adalah karena paksaan yang karena bukan hak.[14]
  1. Ma’qud alaih
Pada ma’qud alaih (yang diakadkan) baik benda yang dijual maupun alat untuk membelinya (uang) ditetapkan beberapa syarat, antara lain:
1)   Suci
Maka tidak sah ma’qud alaih berupa barang najis, baik benda yang dijual maupun alat untuk membeli (uang). Apabila orang menjual benda najis atau yang kena najis yang tak dapat disucikan maka tidak sah jual belinya. Demikian juga tidak sah alat membeli/ uang yang najis atau yang terkena najis yang tak dapat disucikan. Apabila orang membeli benda yang suci dan ia menjadikan sebagai harganya (gantinya) arak atau binatang babi umpamanya, maka jual belinya tidak sah.
2)   Dapat diambil manfaat dan dibenarkan oleh syara’. Maka tidak sah memperjual belikan binatang serangga yang tidak ada manfaatnya.
3)   Pada saat akad jual beli benda yang dijual adalah milik si penjual, tidak sah memperjual belikan barang yang bukan miliknya, namun ia tidak dapat menyerahkan lantaran masih di tangan orang yang dighasab itu bila dijual oleh si ghasib (orang yang ghasab), karena barang itu bukan miliknya sendiri/ [15]
  1. 2. Syarat-syarat Jual Beli
Agar jual beli menjadi sah, diperlukan terpenuhinya syarat-syarat yakni:
  1. Berkaitan dengan orang yang berakad
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan: berakal dan dapat membedakan (memilih). Akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang tidak dapat membedakan tidak sah.[16]
Jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika atau dengan kata lain kadang-kadang sadar dan kadang gila, maka yang akan dilakukannya pada waktu sadar dinyatakan sah, dan dilakukan karena gila tidak sah.[17]
  1. Berkaitan dengan barang yang diakadkan
Syarat-syarat jual beli yang berkaitan dengan barang yang diakadkan, yakni: (1) bersihnya barang, (2) dapat dimanfaatkan, (3) milik orang yang melakukan akad, (4) mampu menyerahkannya (5) Mengetahui, (6) barang yang diakadkan ada di tangan. [18]
  1. C. Hikmah Jual Beli
Allah swt. mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan sebagainya. Kebutuhan seperti ini tidak pernah terputus selama manusia masih hidup. Tidak seorangpun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu ia dituntut berhubungan dengan lainnya. Dalam hubungan ini tidak ada satu hal pun yang lebih sempurna dari pertukaran; dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing.[19]
Jika akad telah berlangsung, segala rukun dan syaratnya dipenuhi, maka konsekuensinya; penjual memindahkan barang kepada pembeli dan pembelipun memindahkan miliknya kepada penjual sesuai dengan harga yang disepakati, setelah itu masing-masing mereka halal menggunakan barang yang pemiliknya yang dipindahkan tadi di jalan yang dapat dibenarkan syariat.[20]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Allah swt. telah mensyariatkan jual beli, sebagai tujuan agar diantara umat saling berhubungan atau saling bermuamalah antara satu dengan lainnya, dan saling memenuhi kebutuhan secara timbal balik di antara mereka, dan sebagainya.

[1]Lihat Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab al-Fiqh Ala Al-Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar al-Fikr, 1974), h. 290.

[2]C.S.T. Simorangkir, Kamus Hukum (Jakarta: Aksara Baru, 1983), h. 89.
[3]Lihat Al-Jaziriy, op.cit., h. 291.
[4]Lihat Ibid.
[5]Lihat Ibid., h. 292.
[6]Lihat Ibid.
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1995), h. 29.
[8]Ibid., h. 122.
[9]Lihat Al-Jaziriy, op.cit., h. 293.
[10]Lihat Ibid.
[11]Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III (Kuwait : Dar al-Bayan, 1974), h. 127.
[12]Lihat Ibid., h. 128.
[13]Lihat Abdurrahman Al-Jaziriy, op.cit., h. 310.
[14]Lihat Ibid., h. 331.
[15]Lihat Ibid., h. 334.
[16]Lihat Sayyid Sabiq, op.cit., h. 127.
[17]Lihat Ibid.
[18]Lihat Ibid.
[19]Lihat Ibid., h. 128.
[20]Lihat Sayyid Sabiq, loc.cit.

No comments:

Post a Comment