OLEH : AHMAD SHOLIHIN
A. Maslahah Mursalah
- Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab ?????? – ???????? menjadi ??????? atau?????????? yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan,
sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: ???????? – ???????? – ??????????-
???????? menjadi??????? yang berarti diutus, dikirim atau dipakai
(dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah”
yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan
menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang
mengandung nilai baik (manfaat).[1]
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.[2]
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat.[3] Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.[4]
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya maslahah mursalah adalah
memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang
secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan
jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan
jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.
- Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi diantaranya:[5]
- Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
- Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
- Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’,
- Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
à Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
à Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)
- Dari segi Kandungan Maslahah
- Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk semua kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
- Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud)
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan
ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan
umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua
kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada
kemaslahatan pribadi.
- Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
- Maslahah al-Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
- Maslahah al-Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa
al-Syalabi, dimaksudkan untuk memberi batasan kemaslahatan mana yang
bisa berubah dan tidak.
Sesungguhnya masih ada pembagian
maslahah yang dikemukakan para ahli ushul fiqih yakni dilihat dari segi
kualitas dan kepentingan kemaslahatan, tapi ini akan diuraikan pada
tingkatan maslahah, karena pembagian maslahah ini mewakili macam-macam
kemaslahatan yang telah dijelaskan tadi.
- 3. Tingkatan-tingkatan Maslahah Mursalah
Para ahli Ushul sepakat bahwa syariat
Islam bertujuan untuk memelihara 5 hal yakni: (1) memelihara agama, (2)
memelihara jiwa, (3)memelihara akal, (4) memeliharar keturunanan, dan
(5) memelihara harta.[6]
Sementara Hamka Haq dalam bukunya “Falsafat Ushul Fiqih” mengemukakan
bahwa terdapat 6 aspek kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat
diantaranya, (1) memelihara agama, (2) memelihara jamaah, (3) memelihara
jiwa, (4) memelihara akal, (5) memelihara keturunan dan (6) memelihara
harta benda. Aspek ini diurut berdasarkan prioritas urgensinya.[7] Adapun mengenai kemaslahatan setiap aspek tersebut dibedakan dalam tiga tingkatan yakni:
- Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah
segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena
itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan
kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun duniawi.
- Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala
yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar
hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari
kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia
mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.
- c. Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang
sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan
kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka
hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai
menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Seperti telah dikemukakan, masing-masing
dari enam perkara yang telah disebutkan sebagai tujuan pokok syariat
pada asasnya dapat dilihat dari tiga sisi tersebut. Misalnya dalam aspek
pemeliharaan agama, maka yang menjadi dharuriyah adalah aqidah
atau kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa aqidah yang benar maka agama tidak
mungkin tumbuh dan berkembang, sebab tidak ada sarana sekali unsur
agama yang dapat dikabulkan oleh Allah SWT tanpa aqidah tauhid.
Sementara itu, guna memudahkan manusia menyalurkan naluri tauhidnya,
maka diadakanlah oleh syariat sejumlah praktek ibadah ritual. Dalam
ibadah itulah setiap manusia diharapkan akan semakin menghayati amal
tauhidnya kepada Tuhan. Karena itu, jika tauhid diwajibkan maka dengan
sendirinya ibadah yang mengatur kepada memperkokoh tauhid itupun turut
serta situasi lainnya, ibadah seringkali dibolehkan bahkan dianjurkan
untuk ditinggalkan. Lihat saja, mengapa seorang wanita haid dilarang
bershalat dan berpuasa? Mengapa shalat dhuhur dapat digabung atau
dikurangi rakaatnya dalam jama’ qashar. Semua itu disebabkan karena
ibadah itu sangat relatif, artinya sangat terkait dengan tempat, waktu
dan situasi. Dan sebagai pelengkap atau tahsisninya menyangkut
agama ialah segala hal yang menjadi penunjang terlaksananya ibadah dan
lebih menambah nikamatnya ibadah itu, misalnya thaharah.[8]
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully atau mutlak dan juz’iy
atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan
hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia.
Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriy yang
hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut
tidak berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang sifat dharuriy-nya
lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja
dikorbankan. Sementara itu, memelihara bersifat hajiyah, sehingga
hukumnya hanya sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.[9]
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah adalah wajib secara dharuriyah,
karena hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah pemeliharaan
aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya demi
membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan perlunya negara
itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah,
tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan
terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa
institusi-institusi itu, negara tidak dapat terselenggara dengan baik.
Akan tetapi, karena sifatnya hanyalah hajiyyah, maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat
difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah dasar-dasar yang
diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori maslahah mursalah,
baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga
seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu
kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah.
B. Ekonomi
-
- Pengertian Ekonomi
Definisi tentang ekonomi secara umum
adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian
barang-barang serta kekayaan, pemanfaatan uang, tenaga dan waktu dan
sebagainya yang berharga; tata kehidupan perekonomian (suatu negara);
urusan keuangan rumah tangga (organisasi, negara).[10]
Definisi diatas senada dengan definisi
M. Dawam Raharjo dalam bukunya mengungkapkan bahwa ekonomi sebagai
sebuah ilmu adalah tentang perilaku manusia sebagai hubungan antara
tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang langka, yang kemudian mengandung
pilihan dalam penggunaannya. Definisi ini mencakup aspek yang lebih
luas selain berupa “kajian tentang produksi, distribusi, dan konsumsi
kekayaan di dalam masyarakat manusia “ juga mengenai kegiatan objek
ekonomi, yaitu “kekayaan” yang tak lain adalah “kekayaan material”.[11]
Sedangkan Taqiyuddin An-Nabhani
mengemukakan bahwa kata “ekonomi” diambil dari Bahasa Yunani Kuno
(Greek), yang maknanya adalah “mengatur urusan rumah tangga”, dimana
anggota yang mampu, ikut terlibat dalam menghasilkan barang-barang
berharga dan membantu memberikan jasa, lalu seluruh anggota keluarga
yang ada ikut menikmati apa yang mereka peroleh. Kemudian populasinya
semakin banyak dalam rumah-rumah, lalu menjadi suatu kelompok yang
diperintahkan oleh satu negara.
Oleh karena itu, menurutnya kata
“ekonomi” bukanlah makna bahasa, yang berarti hemat, juga bukan berarti
kekayaan. Akan tetapi berarti makna istilah untuk suatu sebutan
tertentu, yaitu kegiatan mengatur urusan harta kekayaan. Baik yang
menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjaga
pengadaannya, maupun yang berhubungan dengan tata cara (mekanisme)
pendistribusiannya.[12]
Berangkat dari pengertian di atas, maka
definisi operasionalnya adalah “ekonomi” dalam artian disiplin ilmu
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha-usaha manusia untuk
mencapai kemakmuran serta gejala-gejala yang timbul dari usaha tersebut.[13]
- Problematika Ekonomi dalam Masyarakat
Perkembangan dunia ekonomi yang begitu
pesat ternyata berbanding lurus dengan kelahiran
problematika-problematika baru dalam kehidupan masyarakat.
Hubungan-hubungan yang timbul dari masyarakat adalah asal dari setiap
hukum positif diantaranya adalah keimnginan untuk memelihara
hubungan-hubungan antar warga masyarakat menimbulkan hukum perdata serta
adanya kebutuhan untuk menjaga keamanan dan kedamaian hidup bersama
yang melahirkan hukum pidana dan demikian seterusnya.[14]
Norma-norma hukum yang sudah mendapatkan
perumusan yuridis sebagai penegasan dari perkembangan terakhir dari
penilaian-penilaian manusia tentang nisbah-nisbah sosial yang ada,
secara timbal balik dapat mempengaruhi proses produksi dan peredaran
barang dalam masyarakat itu dari waktu ke waktu senantiasa berubah-ubah.
Karena itu hubungan-hubungan hukum yang telah ada dapat dikatakan
mencerminkan hubungan-hubungan ekonomi.
Kemudian daripada itu ada satu hal yang
juga mengambil tempat penting dalam soal hubungan antara hukum dengan
ekonomi, yakni masalah hak milik.
Sistem liberal kapitalisme yang bersumberkan pada teori Laiser Faire Leiser Aller memandang
hak milik sebagai hak mutlak seseorang individu yang harus dijamin
keamanannya oleh penguasa. Ia bebas mempergunakan hak miliknya itu
menurut kehendaknya sendiri dan penguasa tidak boleh ikut campur di
dalamnya. Sistem ini menciptakan perumusan peraturan-peraturan yang
menjamin hak seorang (individu) untuk memiliki, menguasai dan menikmati
benda menurut kemauannya sendiri tanpa ada suatu batas (dari penguasa).
Dengan demikian sistem ini melemparkan
manusia ke arena perjuangan hidup ini dengan kebebasan alamiah
sepenuhnya. Dengan pengetahuan, bahwa manusia pada tabiatnya mengandung
perbedaan-perbedaan kekuatan, baik jasmaniah maupun kercerdasan otaknya,
maka sistem ini mengajak manusia menjadikan hidup ini sebagai medan
perebutan rezki untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya
masing-masing. Dalam suasana yang demikian itu, si kuat akan bertambah
kuat, si cerdik akan lebih leluasa mengambil keuntungan, si lemah dan si
bodoh akan lebih senantiasa menjadi mangsa si kuat atau dengan
perkataan lain sistem kapitalis merupakan tanah yang subur bagi
tumbuhnya praktek-praktek eksploitasi manusia oleh manusia.
Kebalikan dari sistem liberal
kapitalisme adalah sistem komunisme yang dalam prinsipnya tidak mengakui
secara mutlak hak milik seorang (individu), khususnya dalam hal
alat-alat produksi. Dalam sistem ini penguasalah yang menjadi pemilik
satu-satunya dari semua harta (benda) yang ada dalam masyarakat dan
karena itu penguasalah yang menguasai semua alat produksi dan peredaran
barang secara mutlak.[15]
Secara teoritis, karena kepemilikan,
penguasa atau semua harta (benda) yang ada dalam masyarakat khususnya
atas alat-alat produksi dan peredaran barang ada di tangan penguasa.
Maka tentunya penguasa akan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan
rakyatnya secara adil dan merata, baik kebutuhan-kebutuhan jasmaniah
maupun rohaniah. Tetapi karena dalam teori politik komunisme, penguasa
adalah wakil dari kelas yang berkuasa yakni kelas : “Proletar”,
maka tugas penguasa dalam teori adalah menindas kelas lainnya yang
tidak termasuk dalam kelasnya dan dalam prkateknya juga menindas kaum
proletar itu sendiri. Dengan demikian terjadilah eksploitasi manusia
oleh manusia dengan cara yang lebih sistematis.
Walaupun dengan timbulnya paham “welfare-state”
pada zaman modern ini, pelaksanaan dua sistem ekonomi yang sangat
berlawanan di atas di banyak negara secara berangsur-angsur mengalami
beberapa kelunakan, namun ciri-cirinya yang asli masih tetap berpengaruh
besar dalam perumusan-perumusan yuridis mereka. Tetapi dalam satu hal
mereka ada persamaan, yakni dalam pandangan mereka terhadap kebendaan
dan ini adalah yang menjadi pokok pangkal pemikiran mereka, yakni
sama-sama terlalu menyukai benda atau terlalu materialistis, sebagaimana
dalam firman Allah:
Artinya: dan sesungguhnya manusia itu sangat suka kepada kebendaan (materialistis). (Q.S. Al-Adiyat, ayat: 8).
Jadi soal kebendaan ini merupakan salah
satu masalah pokok dalam kehidupan manusia, dari segi ekonomi menyangkut
masalah pemanfaatannya dan dari segi hukum menyangkut masalah
kepemilikannya. Namun kemudian satu sama lain mempunyai pengaruh timbal
balik yang akan menentukan arah hidup manusia, ini dari satu sisi.
Sedangkan dari sisi lain, akibat
kegagalan sistem ekonomi kapitalis ataupun sosialis dan sistem lainnya
dalam memenuhi kehidupan ekonomi umat, telah menarik perhatian para
ekonom Islam untuk membangun sistem ekonomi alternatif dalam perspektif
Islam. semua metode pemecahan terhadap kebobrokan dan absurditas
asas-asas (kapitalis dan sosialis termasuk dalam hal ini komunisme)
masih bertentangan dengan metode operasional (thariqah)[16] Islam, dimana metode (thariqah)
Islam dalam mengambil pemecahan masalah ekonomi adalah juga yang
dipergunakan untuk memecahkan setiap masalah manusia, yaitu mengkaji dan
memahami realitas masalah ekonomi tersebut, lalu menggali pemecahan
masalahnya dari nash-nash sara’ kemudian mengukuhkan kesesuaian antara
nash-nash tersebut dengan realitas ekonomi yang ada.
Dari sisi ini dapat dilihat bahwa pada
masa sekarang terdapat badan-badan atau lembaga-lembaga perniagaan
modern yang semakin berkembang dan menyangkut banyak orang. Dari sini
kemudian muncul perbincangan mengenai pendapat-pendapat Islam dari segi
halal dan haramnya. Pendapat yang bertentangan ini terjadi di dalam
masyarakat Islam yaitu masyarakat Islam modern dan masyarakat Islam
ortodoks. Pendapat-pendapat yang bertentangan ini kadang-kadang
menimbulkan kesenjangan yang amat luas yang berarti masalah ini bisa
melahirkan kebekuan sikap masyarakat dalam melakukan aktifitas ekonomi.
[1] Khairu Umam, at, al; Ushul Fiqih I, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 135
[2] Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Ushul Fiqih), diterjemahkan oleh Nur Iskandar Al-Barsany, (Jakarta: Rajawali), h. 124
[3] Nasrun harun, Ushul Fiqih (Cet. II: Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 114
[4] Lihat: Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Studi Komparatif delapan mazhab fiqih), diterjemahkan oleh Ad. Dedi Rohayana, (Cet. I: Jakarta: Rineka Ciprta, 2000), h. 35
[5] Nasrun Haroen.,opcit.,h. 117
[6] Ibid., h.115
[7] Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqih (Yayasan Al-Ahkam, Ujung Pandang: 1998), h. 76
[8] Ibid, h.77
[9] Ibid, h. 78
[10] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 530
[11] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Cet. I; Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), h. 3
[12] Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, h. 47
[13] Hasan Sadly, Ensiklopedi Indonesia, Jilid II (Jakarta : Ikhtiar Baru – Van Hoeve, 1983), h. 892
[14] Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan keadilannya (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), h. 137
[15] Ibid, h. 138
[16] Taqiyuddin An-Nabhani, Op.Cit., h. 45
No comments:
Post a Comment