OLEH : AHMAD SHOLIHIN
Pengertian Hidayah
Hidayah artinya petunjuk, bimbingan,
keterangan, dan kebenaran. Hidayah adalah petunjuk Allah swt. terhadap
makhluk-Nya tentang sesuatu yang mengandung kebenaran atau sesuatu yang
berharga dan membawa keselamatan. Hidayah sinonim dengan dalal±h
(petunjuk) dan irsy±d (bimbingan).
Pembagian dan bentuk Hidayah
Muhammad
Mustafa al-Maraghi (1881-1945), mufasir kontemporer dari Mesir, membagi
hidayah yang diberikan Allah swt. untuk manusia kepada dua bentuk,
yaitu: al-Hidayah al-`Ammah (hidayah yang umum) dan al-Hidayah al-Khas
(hidayah yang khusus). Hidayah yang umum ialah hidayah yang diberikan
Allah swt. kepada segenap manusia untuk dijadikannya sebagai petunjuk
dalam hidupnya, sedangkan hidayah yang khusus ialah hidayah yang hanya
dianugerahkan Allah swt. kepada sebagian manusia saja. Dengan hidayah ini manusia akan sampai kepada kebenaran sejati dan akan selamat dalam hidupnya.
Al-Maraghi membagi hidayah umum ini kepada empat bentuk, yaitu:
Pertama. Hidayah
al-ilham (petunjuk ilham), yaitu berupa gharizah (insting, pembawaan
asli) yang dibawa oleh setiap manusioa sejak kelahirannya, seperti: bayi
yang baru lahir, tanpa belajar dapat menyusu pada ibunya. Hidayah
dalam bentuk ini bukan hanya milik manusia, tetapi dikaruniakan juga
oleh Allah swt. kepada makhluk-makhluk lain, seperti binatang,
tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Sementara itu Abu Kalam Azad, memberi
istilah dengan hidayah wijdan, yaitu gerak hati yang terdapat dalam
bakat manusia atau binatang. Kemampuan alamiah ini dianugerahkan Allah
swt. kepada manusia sejak bayi. Ayat-ayat yang dijadikan rujukan bagi
jenis hidayah ini, misalnya QS. Th±ha [20]: 50.
“Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan)
yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya,
kemudian memberinya petunjuk”
Kedua, Hidayah
al-Hawasy (petunjuk alat indera) yaitu berupa pendengaran, penglihatan,
penciuman, perasaan inderawi, dan peradaban. Dengan indera ini manusia
dapat membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya.
Akan tetapi, hidayah dalam bentuk ini belum dapat mengantarkan manusia
kepada kebenaran, karena kemampuannya sangat terbatas, misalnya mata
melihat benda yang jaraknya jauh lebih kecil dari sebenarnya; lidah
orang yang sedang ditimpa sakit merasakan gula itu pahit, dan
sebagainya. Karena itu, Allah swt. menyempurnakan hidayah ini dengan
hidayah akal.
Ketiga, Hidayah al-‘Aql
(petunjuk akal), yaitu berupa kemampuan akal untuk memikirkan,
memahami, dan mengetahui suatu objek, yang akan dapat membawanya kepada
kebenaran dan keselamatan hidup. Al-Qur’an menganjurkan manusia agar
memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya serta memikirkan, memahami,
dan mengetahui seluk beluknya sebagai ciptaan Allah swt. guna
memantapkan keimanannya, seperti terlihat pada QS. ²li `Imr±n [3]: 190
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal”
Nalar/akal berfungsi dalam batas-batas
panca indera dan tidak bisa lepas darinya. Akal jarang sekali mampu
menangkap apa yang di luar jangkauan panca indera. Dia tidak mampu
menuntun kita ke alam kehidupan yang berada di luar jangkauan panca
indera, bahkan dalam khazanah kegiatan lahiriah. Di sana sini
kadang-kadang dia bertentangan dengan nafsu, dan seringkali nafsu itulah
yang menang. Akal dengan jelas menunjukkan bahwa suatu perbuatan
tertentu akan menyebabkan luka, akan tetapi nafsu memaksa untuk
mengabaikan akal. Di sinilah dibutuhkan hidayah yang keempat, yaitu
Hidayah al-D³n (al-Wa¥yu) yang merupakan karunia Ilahi kepada manusia
yang terbesar.
Ayat-ayat di atas, yaitu QS. al-Ins±n
[76]: 2-3, dan al-Balad [90]: 8-10, dan beberapa ayat lain
mengindikasikan hal tersebut, misalnya QS. an-Na¥l [16]: 78
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”
Kata … di atas bukan untuk arti
fisik/jasmani, tetapi merupakan suatu daya yang terdapat dalam tubuh
seseorang berfungsi memelihara akal.
Keempat, Hidayah ad-D³n
(petunjuk agama), yaitu berupa wahyu yang diturunkan Allah swt. kepada
Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya atau kepada manusia
seluruhnya, untuk dijadikan sebagai pedoman hidup guna mencapai
kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Wahyu tersebut kemudian
dibukukan dan disebut kitab suci. Salah satu kitab suci ialah
al-Qur’an, yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
hidayah untuk segenap manusia.. Di samping hidayat yang umum di atas,
terdapat pula hidayah yang khusus dikaruniakan Allah swt. kepada orang
tertentu, yang akan membuat keimanan dan ketakwaan lebih mantap.
Hidayah yang seperti ini bisa berwujud taufiq, ma`nah (pertolongan
Allah swt. terhadap orang-orang yang beriman), dan lain-lain.
Hidayah dalam bentuk-bentuk yang telah
disebutkan di atas adalah milik Allah swt. semata-mata. Oleh sebab itu,
tidak seorang pun yang dapat memberikannya selain Allah swt., baik
dalam bentuk hidayah yang umum ataupun hidayah yang khusus. Hal ini
diisyaratkan oleh firman Allah swt. dalam QS. al-Qashash [28]: 56
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”
Karenanya, Abi Thalib bin Abdul
Muttalib (85 SH/540 M-3 SH/619 M), paman Nabi Muhammad saw., sekalipun
sangat dicintai Nabi saw. dan bahkan senantiasa memberikan dorongan
dalam dakwahnya, sampai akhir hayatnya tetap berada dalam kekafiran,
karena tidak mendapat hidayah dari Allah swt. Demikian pula kalangan
orientalis yang memahami kebenaran Islam, sebagian masuk Islam karena
mendapat hidayah, sedangkan sebagian tetap tidak masuk Islam karena
tidak memperoleh hidayah Allah swt. Sehubungan dengan itu, Allah swt.
berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 272
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka
mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi
taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya..”
Penutup
Karena hidayah itu hanya milik Allah
swt., maka kewajiban manusia ialah memohon hidayah tersebut kepada-Nya,
di samping senantiasa melakukan tindakan-tindakan preventif, seperti
menghindari perbuatan maksiat, dan selalu melakukan kewajiban,
mempelajari ajaran agama, dan sebagainya. Firman Allah swt. dalam QS.
al-¦asyr [59]: 19
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan lupa kepada diri mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik
No comments:
Post a Comment