OLEH : AHMAD SHOLIHIN
A. Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos dan nomos.
oikos berarti rumah tangga dan nomos berarti, tata, aturan. Dengan
demikian secara sederhana ekonomi dalam pengertian bahasa berarti.
Ekonomi atau tata aturan rumah tangga. Ekonomi menurut kamus Bahasa Indonesia berarti segala hal yang bersangkutan dengan penghasilan, pembagian dan pemakaian barang-barang dan kekayaan (keuangan)[1]. Ekonomi dalam bahasa menurut HRA Rivai Wira Sasmita et.al, yakni:
“Suatu istilah yang berkenaan dengan setiap tindakan atau proses yang harus dilaksanakan untuk menciptakan barang-barang dan jasa yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan manusia. Secara lebih spesifik istilah ini dipakai untuk menyebutkan efesiensi relatif proses produksi, pengorganisasian administratif, atau penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia”[2].
Selanjutnya Ekonomi dalam pengertian istilah terdapat beberapa defenisi para ahli sebagaimana yang terdapat di bawah ini:
- Menurut Adam Smith, ekonomi adalah
“Ilmu kekayaan atau ilmu yang khusus
mempelajari sarana-sarana kekayaan suatu bangsa dengan memusatkan
perhatian secara khusus terhadap sebab-sebab material dari kemakmuran,
seperti hasil-hasil industri, pertanian dan sebagainya”[3]
2. Menurut Marshall bahwa:
“Ekonomi adalah: Ilmu yang mempelajari
usaha-usaha individu dalam ikatan pekerjaan dalam kehidupannya
sehari-hari. Ilmu ekonomi membahas kehidupan manusia yang berhubungan
dengan bagaimana ia memperoleh pendapatan dan bagaimana pula ia
mempergunakan pendapatan itu”[4]
3. Menurut Ruenez
“Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhannya dengan
sarana-sarananya yang terbatas yang memmpunyai berbagai macam fungsi”.[5]
Dari pengertian-pengertian ekonomi yang
telah dideskripsikan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ekonomi
adalah, ilmu yang mempelajari upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik secara perorangan maupun kelompok dengan mempergunakan
segala perangkat fasilitas yang berhubungan dan mendukung usaha
dilakukannya kegiatan ekonomi, dengan maksud agar memperoleh
kesejahteraan atau kemakmuran.
Adapun pengertian ekonomi Islam secara
garis besar tentunya ekonomi yang berbasis ke-Islaman. Dalam upaya
memahami ekonomi Islam ini, sering muncul pertanyaan. Mungkinkah Agama
Islam sebagai agama yang berbasis ketuhanan mempunyai konsep-konsep
tentang ekonomi?. Pertanyaan seperti ini tentulah wajar bagi orang yang
menganggap Islam adalah agama yang basisnya hanyalah tuhan dan bagaimana
penyembahan terhadapnya, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya,
Menurut hemat penulis, memang tak dapat
dipungkiri kehadiran agama Islam sebagai petunjuk peribadatan
terhadap-Nya, namun sesungguhnya agama bukanlah hanya sekedar hal-hal
yang bersifat ritual,
akan tetapi lebih jauh lagi kehadiran agama sebagai sebuah petunjuk yang
menyeluruh, hal ini berarti bahwa kehadiran agama adalah diperuntukkan
untuk manusia, sehingga agama dalam kaitannya dengan manusia inilah
terdapat peluang besar untuk merekonstruksi agama sesuai dengan kondisi
yang berkembang. Bahkan tak heran kalau agama dalam kaitannya dengan
manusia ini pulalah, ilmu pengetahuan moderenpun berupaya untuk meneliti
agama, sehingga menurut pakar sosiolog yang meneliti agama menyatakan
bahwa, agama terdapat beberapa kategori yang dapat diteliti yakni agama
sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh
agama, serta sikap masyarakat memeluk doktrin[6].
Dalam kaitannya antara agama dan ekonomi
Islam tentunya, agama tidak dipandang sebagai doktrin ritual belaka,
akan tetapi bagaimana agama dpandang sebagai sebuah potensi besar dalam
membentuk struktur dan dinamika masyarakat, serta bagaimana keluesan
Islam yang siap memberikan instrumen kepada pemeluknya untuk menciptakan
tatanan-tatanan kehidupan yang kondisional yang tentunya dengan satu
penekanan bahwa apapun yang hendak dilakukan haruslah sesuai dengan
syari’ah yang dikehendaki oleh agama, dalam hal ini berarti upaya-upaya
sadar yang arahnya untuk membentuk perekonomian Islam adalah sebuah
kemestian yang dianjurkan oleh agama, dan ini juga bermakna bahwa
ekonomi Islam haruslah diarahkan pada tujuan syiar Islam dengan
mempertimbangkan faktor-faktor kemaslahatan. Pada tujuan inilah ekonomi
Islam mendapat legitimasi sehingga dapat diharapkan menjadi jawaban bagi
perekonomian konfensional yang dalam operasionalnya terdapat
praktik-praktik kapitalisme
Agama dalam makna sebagai petunjuk
terhadap manusia sebagaimana yang telah diuraikan dahulu, ditegaskan
pula oleh Jalaluddin Rachmat yang bahwa, agama muncul untuk membantu
manusia menjawab masalah-masalah yang menjadi perhatian paling utama.[7]
Dalam pemaknaan agama semacam inilah yang memungkinkan adanya
penterjemahan-penterjemahan agama dalam berbagai bidang termasuk
didalamnya terdapat penterjemahan-penterjemahan agama dalam merespon
ekonomi ummat.
Persoalan kemudian dalam merespon
ekonomi Islam adalah bagaimanakah bentuk ekonomi Islam tersebut. Dalam
masalah ini, menurut Ahmad Muhammad al-Ashal dan Fatih Ahmad Abdul Karim
yakni sebagian ahli berpendapat bahwa, ekonomi Islam merupakan
sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan
al-Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas
landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masanya.
Sementara ahli lain mendefenisikannya sebagai ilmu yang mengarahkan
kegiatan ekonomi dan mengaturnya sesuai dengan dasar-dasar dan siasat
ekonomi Islam.
Menurut Muhammad dan Alimin bahwa
Ekonomi Islam sebagai kegiatan ekonomi berupa produksi, distribusi, dan
konsumsi atau kenyataan dan permasalahan ekonomi yang dituntun oleh
nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip syariat Islam.[8]
Dengan demikian, ekonomi Islam adalah
bagian dari tata kehidupan yang lengkap (sistem) berdasarkan empat
bagian nyata dari pengetahuan, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’
(konsensus ulama ummat Islam) dan Qiyas (analogi Syar’i). Dari prinsip
ini dapat dikembangkan suatu kerangka konseptual yang dapat dikaitkan
untuk menjelaskan realitas sekarang (ekonomi aktual) atau akan datang
yang diimajinasikan. Dengan demikian, teori ekonomi Islam dapat berubah,
namun tidak akan terlepas dari kerangka abadi syari’ah.
Berdasarkan keterangan di atas, ekonomi
Islam sebagai suatu ilmu tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang
terpisah dari aspek normatif dan kedudukannya sebagai sebuah bagian dari
sistem kehidupan yang lengkap. Sedangkan setiap usaha mencoba untuk
memisahkan hal tersebut akan menyesatkan.
B Metodologi Ekonomi Islam
Ilmu atau teori Ekonomi Islam dapat diperoleh apabila manusia mampu menangkap ayat-ayat Allah. Ayat Allah merupakan isyarah bukti, hudan, dan rahmah kepada kehidupan keseharian, manusia dalam hubungan dengan alam, sesama manusia, dan dalam hubungan dengan Allah[9]. Nash, kadang-kadang menampilkan bukti faktual, kadang memberikan isyarah yang
seharusnya mendorong kita untuk meneliti, mengadakan eksperimen untuk
menemukan hukumnya atau prinsipnya atau menampilkan teorinya. Nash
kadang memberikan kepada kita hudan atau petunjuk atau petunjuk bijak
yang seharusnya mendorong kita untuk mengembangkan sistem organisasi,
atau pelaksanaan dalam bidang ekonomi, hidup kemasyarakatan, dan
lainnya.
Kebenaran wahyu yang memberikan pedoman
bagi kita dalam melakukan muamalah antar manusia, yang sosok dan
operasionalisasinya diserahkan sepenuhnya kepada manusia, substansial
dan instrumental bersifat indeterministik. Kebenaran muamalah dalam hubungan manusia dengan Allah dan kebenaran ubudiyah hanya
dapat dijangkau melalui penafsiran kita yang pasti tidak akan pernah
sampai kepada pemahaman hakiki dari kebenaran kebijakan Allah. Hal
demikian ini berarti insaniyah indeterministik, Ilahiyah deterministik[10]. Manusia
diwajibkan berfikir menghayati kabijakan tertinggi dari Allah. Manusia
perlu mencoba menjangkau hakiki kebenaran kebijakan Allah, meskipun
tidak pernah akan sampai. Manusia akan menghasilkan dari upaya
mempersepsi dan menafsirkan.
Oleh karena itu, menemukan kebenaran
dari manusia tidak dapat lepas dari model penemuan kebenaran empirik
sensual, kebenaran logik, dan kebenaran etik, serta kebenaran muamalah
manusia dengan alam dan antara manusia dalam arti Ilahiyah dan insaniyah
dapat terus kita kembangkan dengan menggunakan nash sebagai ayat,
isyarah, hudan ataupun rahmah. Hal ini berarti bahwa dari keseluruhan
kawasan tersebut manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkannya,
sejauh tetap dijaga koherensinya dengan nilai Ilahiyah integratif.
Bagaimana mengembangkan yang perlu
diterapkan untuk mendapatkan ilmu yang Islami ?. Menurut Muhammad ada
tiga model yang ditawarkan untuk diimplementasikan dalam pengembangan
ilmu yang Islami, yaitu:
- Model Postulasi
- Model pengembangan multi disipliner dan Interdisipliner
- Model pengembangan reflektif-konseptual- tentatif-problematik[11]
v Model Postulasi
Model ini dibangun dengan kerangka
deduksi. Pijakannya berawal dari konsep idealisasi. Model ini berangkat
dari konsep idealisasi, yang meliputi, konsep idealisasi teoritik,
konsep idealisasi moralistik, dan konsep idealisasi transendental. Model
postulasi dalam ekonomi Islam dapat masuk dalam konsep idealisasi
transendental. Karena bertolak dari aksioma, postulat, hukum, nash, atau
konstruksi teoritik holistik membangun keseluruhan sistematika disiplin
ilmu itu.
Model ini akan lemah konstruksinya bila
postulasinya dirumuskan atau dibangun secara apriori atau spekulatif,
dan akan kuat bila dibangun lewat penelitian empirik atau lewat proses
berpikir reflektif. Sebagai contoh model ini diterapkan oleh Haider
Naqvi dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam, dengan berdasarkan pada
empat aksioma, yaitu: unity, equilibrium, free will, dan responsibility.[12]
Artinya sistem ekonomi Islam dibangun dengan tujuan moral; keselarasan;
keadilan; kebebasan yang tidak merusak keselarasan serta keadilan dan
tanggung jawab.
Kejernihan akal budi memungkinkan manusia menangkap makna integral dari moralitas al-Qur’an dan sunnaturrasul. Perlu disadari bahwa ada dua pemaknaan, yaitu pemaknaan substansif serta instrumentatif, dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil.
v Model Pengembangan Multidisipliner dan Interdisipliner
Model ini adalah cara bekerjanya seorang
ahli di suatu disiplin dan berupaya membangun disiplin ilmunya dengan
berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin lain[13].
Adapun yang dimaksud dengan kerja interdisipliner adalah cara kerja
sejumlah ahli dari beragam keahlian dan spesialisasi untuk menghasilkan
secara bersama atau membangun suatu teori atau merealisasikan suatu
proyek. Kerja multidisiplin membangun disiplin ilmu ekonomi yang Islami,
misalnya, akan tepat bila yang bersangkutan sekaligus memiliki
kompetensi dalam disiplin ilmu ekonomi dan ilmu agama. Dengan kompetensi
yang cukup tersebut merupakan modal terbaik untuk membangun suatu
disiplin ilmu menjadi Islami.
v Model pengembangan reflektif-konseptual-tentatif-problematik
Model ini merupakan paduan antara konsep
idealisasi dan multidisipliner serta interdisipliner. Oleh karena itu,
model ini dapat bergerak serentak dari konsep idealisasi teoritik,
moralistik, sampai transendental secara reflektif. Model ini menuntut
peneliti untuk berangkat dari konstruksi teoritik-sistematik ilmu yang
berkembang. Bagian-bagian dilematik, inkonklusif, dan kontroversial
dikonseptualisasikan secara reflektif dan disajikan dalam berbagai
alternatif atau disajikan sebagai masalah yang belum konklusif. Beragam
keraguan tersebut dikonsultasikan dengan nash.
Model ini dapat dioperasionalisasikan
dengan cara, dikonseptualisasikan lewat telaah empirik, lewat abstraksi,
lewat penjabaran yang dilangkahkan mondar-mandir antara induksi dan
deduksi, berangkat dari dasar teoritik atau sistematik ilmu itu sendiri.
Tetapi konseptualisasi tersebut jangan ditampilkan konklusif, melainkan
ditampilkan inkonklusif, mungkin problematis, mungkin tentatif, mungkin
hipotetik, mungkin bentuk lain yang membuka peluang alternatif,
nuansif, atau openanded. Kebenarannya masih bersifat probabilistik.
C. Nilai Dasar dan Instrumen Ekonomi Islam
Ekonomi Islam sebagaimana yang telah
dikemukakan terdahulu, memberikan sebuah kepastian akan model atau warna
perekonomian yang tergagas dalam ekonomi Islam yang sangat berbeda
dengan perilaku ekonomi dalam perekonomian konfensional.
Perbedaan-perbedaan ini dikarenakan pada
perekonomian Islam dilandasi oleh-ajaran-ajaran Islam, yang tentunya
menjadi dasar dalam perlakuan perekonomian. Ajaran-ajaran tersebut
termanifestasi dari dua dasar pokok sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an
dan al-Sunnah. Al-qur’an merupakan sumber yang paling pertama, dan
Sunnah Rasulullah menempati posisi sesudahnya, dan apabila dalam
penggalian sumber tersebut tidak terdapat kejelasan terhadap masalah
yang dimaksud, maka dibolehkan kepada Ummat Islam untuk melakukan
ijtihad, sehingga mayoritas ulama sependapat bahwa sumber yang dapat
dijadikan rujukan dalam Islam selain al-Qur,an dan Sunnah adalah
Ijtihad, Ijma’ dan Qiyas.
Lebih jauh dalam perekonomian Islam
sebagaimana yang dikemukakan oleh Heri Sudarsono, bahwa selain dari
sumber-sumber yang dapat dijadikan patokan dalam perekonomian Islam
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, terdapat pula sumber yang
lain yakni: ‘urf, istihsan, istislah, istihsab dan maslahah al-mursalah[14]
Adapun sumber-sumber atau dasar-dasar perekonomian dalam perekonomian Islam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Konsep Dasar Ekonomi Berdasarkan al-Qur’an
Didalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat
yang mengisyaratkan perlu adanya upaya membangun perekonomian.
Ayat-ayat tersebut diantaranya:
- Ayat tentang pengelolaaan harta yang terdapat dalam Q.S. al-A’raf (7): 128
Terjemahnya:
“Musa berkata kepada kaumnya:
“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesunggunhnya bumi
(ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang
yang bertakwa”[15]
Pada ayat ini, Allah mengamanatkan bumi
serta isinya bagi manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Dan
hendaknya manusia meningkatkan ilmu pengetahuan guna menyimak berbagai
fenomena yang ada di bumi.
Selanjutnya dalam Q.S. al-Nisa (4): 32 Allah berfirman:
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak
dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebahagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu”[16]
Ayat ini, mengisyaratkan bahwa Allah memberi rizki kepada manusia dengan ukuran yang berbeda-beda tergantung usahanya.
- Ayat tantang perdagangan yang dijelaskan dalam Q.S. al-Nisa (4): 29
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di
antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah maha
penyayang kepadamu”[17] (Q.S. al-Nisa (4): 29
Melalui ayat ini Allah mengharuskan
adanya kejujuran dalam melakukan perdagangan sehingga terciptanya
kemaslahatan yang menjadi harapan setiap individu. Masih berkaitan
dengan hal diatas, Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an Q.S.
al-Muthaffifin (83): 1-3
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”[19]
Q.S. al-Baqarah (2): 278
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman”[20].
Kedua ayat tersebut menghendaki adanya
kemaslahatan dalam perlakuan perekonomian, tidak dibolehkan menciptakan
sistem saling memaksa kepada pelaku ekonomi lain untuk melakukan sistem
tersebut, walaupun ia tahu dirinya akan menjadi korban dari para pelaku
riba.
- Ayat tentang utang
Q.S. al-Baqarah (2): 283
Terjemahnya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh orang
yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa
yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”[21].
Ayat ini mengisyaratkan bahwa, pinjaman
dibolehkan asal digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi hidup
manusia, dan demi terselenggaranya optimalisasi produksi. Karena utang
sangata rentan terhadap masalah.
2. Konsep Dasar Ekonomi berdasarkan Hadis
- Hadis Tentang Jasa
H.R. Muslim
Artinya:
“Abdullah bin Yusuf berkata kepada
kami, Malik dari Abi ziyad dari al-A’raj dari Abi Hurairah ra. Berkata.
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “menunda pembayaran bagi orang
yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seoarang dari kamu
diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu / kaya, terimalah hawalah itu. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abi Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam Malik dan al-Darimi)
- Hadis tentang bekerja keras
H.R. Ibnu Majah
Artinya:
“Berkata Abu Bakar bin Abi Syaibah
dan ‘Ali bin Muhammad dan Ishaq bin Ibrahim bin Habib mereka berkata
bahwa Abu Mu’awiyah berkata kepada kami al-A’mas dari Ibrahim dari
al-Aswad dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah saw telah bersabda:
Sesungguhnya orang yang baik adalah yang makan dari hasil kerja kerasnya
dan memberi makan anaknya juga dari hasil kerja kerasnya” (HR. Ibnu Majah, al-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad dan al-Darimi).
3. Hadis tentang Perdagangan
H.R. al-Nasa’i
4533
Artinya:
“Telah berkata ‘Usman bin ‘Abdullah
bercerita kepada kami, telah berkata kepada kami Sa’id bin Sulaiman dari
‘Ubbad bin al-‘Awwam dari Sa’id bin Abi ‘Urwah dari dari Abi Raja’
Telah berkata ‘Usman ia adalah Muhammad bin saif dari Matar al-Waraq
dari ‘Amar bin Syu’aib dari bapaknya dari neneknya berkata: Bahwa
Rasulullah saw bersabda. Tidak dibolehkan bagi seseorang yang menjual
bukan miliknya”(HR. Al-Nasa’i, Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Darimi)
4. Hadis tentang Utang
H.R.Bukhari
2127
Artinya:
“Al-Makki bin ibrahim berkata kepada
kami, Yazin bin Abi ‘Ubaid dari Salamah bin al-‘Aqwah ra. Berkata: Kami
pernah duduk disisi Rasulullah saw, dan dihadapkan sesosok mayat
laki-laki kepada Rasulullah saw untuk disahalatkan. Maka Rasulullah
bertanya, apakah ia mempunyai hutang ? mereka berkata: tidak, apakah dia
meninggalkan warisan? Mereka menjawab tidak, maka Rasulpun
menshalatkannya. Kemudian didatangkan lagi sesosok jenazah untuk
disahalatkan maka Rasul bertanya, apakah ia mempunyai hutang? Mereka
menjawab: ya, sebanyak tiga dinar. Rasulullahpun menyuruh mereka
menshalatkan (sedangkan Rasulullah tidak). Abu Qutadah berkata: “saya
yang menjamin hutangnya” maka Rasulullahpun menshalatkannya” (HR. Bukhari, al-Nasa’I dan Ahmad)
Dasar-dasar perekonomian yang terurai
dalam al-Qur’an maupun sunnah sebagaimana yang disebutkan di atas,
tentunya perlu pemaknaan yang lebih serius, agar ia sanggup berdialog
dengan kondisi perekonomian masa kini. Pemaknan kembali sumber-sumber
ini, lebih jelasnya disebut dengan rekonstruksi ajaran Islam, yakni
menafsirkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan
al-Sunnah agar ia sanggup memberikan solusi-solusi terhadap kondisi dan
situasi kapan dan dimanapun juga ia melakukan kegiatan perdagangan.
Pemaknaan-pemaknaan ini dikarenakan
kedua sumber ajaran Islam, dan yang lebih khusus lagi al-Qur’an memiliki
makna tidak hanya sebatas satu makna. Hal inilah yang disebutkan oleh
Muhammad Sabri bahwa:
“Agama adalah sebuah dunia makna. Dan makna-makna baik yang instrinsik maupun ekstrinsik-adalah dunia simbol yang mencitrakan realitas metaforis. Karena
itu, substansi agama hanya bisa diselami jika seseorang mampu menangkap
dunia-makna “terdalam” dari sebuah pesan keagamaan. Dalam tradisi
Islam, pesan simbolik-terdalam dari agama biasa disebut hikmah.[26]
Sejalan dengan ini, ayat-ayat al-Qur’an
dan sunnah tentang masalah ekonomi yang telah disebutkan di atas
mengindikasikan perlu adanya transformasi sistem perekonomian ke dalam
sistem perekonomian moderen yang lebih baik dan bertanggung jawab.
Sehingga organisasi perekonomian harus menjadi sebuah keniscayaan bagi
ummat Islam masa kini. Sejalan dengan itu, Muhammad Abduh berkata bahwa
“kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang
terorganisir”. Perkataan ini jika diintegrasikan dengan masalah ekonomi,
maka dapatlah dikatakan bahwa: Betapapun hebatnya ekonomi Islam namun
jika tidak diorganisir rapi sesuai dengan realitas kondisi terkini, maka
ekonomi Islam akan dapat dikalahkan oleh perekonomian konvensional.
Dalam dunia perekonomian dewasa ini,
sistem perekonomian konvesional telah menjadi alternatif bagi masyarakat
dunia, yang ternyata di dalamnya terjadi perlakuan kapitalisme. Sistem
ini sangat ditentang oleh Islam, akan tetapi tawaran sistem ekonomi
Islam untuk menggantikan sistem inipun terasa sangat kering, dan kurang
tersentuh bahkan dikalangan ummat Islam sendiri, kenyataan-kenyataan ini
mengharuskan adanya ijtihad Ummat Islam.
Kekeringan dan kedangkalan teori-teori
Islami dari ummat Islam dikarenakan statisnya ummat Islam menafsirkan
konsep-konsep agama. Dalam kenyataan inilah teori-teori Islami harus
kembali muncul ke permukaan yang tentunya meniscayakan adanya ijtihad
ummat Islam dalam masalah perekonomian sebagaimana ijtihad Umar bin
Khattab dalam menangani berbagai masalah ekonomi.[27]
Ijtihad ini memberikan makna bahwa perlu adanya ijtihad terus menerus
dalam masalah ekonomi dikarenakan perkembangan ekonomi akan terus
menerus menyesuakan diri dengan perkembangan realitas, yang tentunya
meniscayakan teori-teori ekonomi Islam untuk terus kreatif menjawab
tuntutan kebutuhan realitas tersebut dengan dengan tidak mengabaikan
etika-etika perekonomian yang terkonstruksi dalam al-Qur’an.
3. Ijtihad
Ijtihad dalam makna bahasa berasal dari kata ja-ha-da yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh[28].
Adapun dalam makna istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Miftahul
Arifin dan Faisak Haq adalah mencurahkan daya kemampuan untuk
menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci[29] yang tentunya bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum)[30]
Mengenai Ijtihad, menurut Imam al-Amidi
sebagaimana yang dikutip oleh Heri Sudarsono mengatakan bahwa melakukan
ijtihad harus sampai merasa tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuan, menurut Imam al-Gazali batasan sampai merasa tidak mampu
sebagai bagian dari defenisi ijtihad al-Tam (defenisi sempurna)[31]
Keberadaan ijtihad sebagai sebuah hukum dinyatakan dalam Q.S. al-Nisa: 38
Terjemahnya:
“. . . dan kalau mereka
menyerahkannya kepada rasul dan ‘Ulil ‘Amri diantara mereka, tentulah
orang-orang yang ingihn mengetahui tentang kebenarannya (akan dapat)
dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ‘Ulil Amri) . . .[32] (Q.S. al-nisa (4): 38
5. Qiyas
Qiyas adalah istilah ushul, yaitu
mempersamakan peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan
peristiwa yang terdapat nas bagi hukumnya. Dalam hukum yang terdapat
nas untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini. Qiyas merupakan
metode pertama yang yang dipegang para mujtahid untuk mengistimabtkan
hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan
paling jelas.
Adapun bentuk-bentuk qiyas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1). Qiyas Aula yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mushaqbih).
2). Qiyas Muswi yaitu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukumnya yang terdapat pada mulhaq-nya adalah sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaqbih
3). Qiyas Dalalah, yaitu suatu qiyas dimana illat yang terdapat pada mulhaq
menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti
mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada harta seorang dewasa dalam
kewajibannya mengeluarkan zakat dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
4). Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas yang mulhaq-nya dapat diqiyaskan kepada dua mulhaqbih. Akan tetapi ia diqiyaskan dengan mulhaq-bih yang mengandung banyak persamaan dengan mulhaq
5) ‘Urf, yaitu apa yang saling
diketahui dan saling dijalani orang. Apa-apa yang telah dibiaskan oleh
masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun
perbuatan. ‘Urf disebut juga adat kebiasaan. Urf terdiri dari dua macam yakni:
- Urf Shahih ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’ tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib, misalnya adat kebiasaan membayar mahar
b. Urf Fasid ialah adat
kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang berlawanan dengan ketentuan
syariat karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan
yang wajib, misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam aqad perjanjian yang
bersifat riba’.
- Al-Istihsan, yakni menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama usul, istihsan adalah membandingkan yang dilakukan oleh mujtahid dari qiyas jalli (jelas) kepada qiyas khaffi (yang tersembunyi), atau dari hukum kulli kepada hukum istisna’i. Disini terdapat kecenderungan yang lebih kuat untuk mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak didasarkan pada nas.
Berdasarkan pengertian istihsan menurut syara’ dapat dibagi menjadi dua, yakni:
- Mengutamakan qiyas khafi dari qiyas Jalli berdasarkan dalil
- Mengecualikan Juz’iyyat dari hukum kully berdasarkan dalil
- Al-Istishlah, menurut ulama Usul adalah menetapkan hukum suatu peristiwa hukum yang tidak disebut nash, dan ijma’ berlandaskan pada pemeliharaaan maslahat al-mursalah, yaitu maslahat yang tak ada dalil syara’ yang menunjukkan diakuinya atau ditolaknya.
- Al-Istishhab, yakni perjalanan yang diambil dari sahabat Rasulullah saw. Menurut istilah para ulama usul, yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan itu. Atau menjadikan hukum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang. Sampai ada dalil untuk mengubahnya.
- Maslahat al-Mursalah, menurut istilah ahli ushul, kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. karenanya, maslaha al-mursalah itu disebut mutlak. Lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.
[1]Daryanto, SS., Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), h. 350.
[2]HRA Rivai Wirasasmita et. al, Kamus Lengkap Ekonomi (Bandung: CV. Pionir Jaya, 2002), h. 142
[3] Ahmad Muhammad al- Assal dan Fathi Ahmad Abd al-Karim, al-Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam; Mabadiuhu wa Ahdafuhu diterjemahkan oleh H. Imam Saefudin dengan judul Sistem, Prinsip dan, T ujuan Ekonomi Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka setia, 1999), h. 10
[4] Lihat ibid
[5] Ibid,. h. 11
[6] Taufik Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. xiii
[7] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama;Sebuah Pengantar (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 39
[8] Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan konsumen dalam Ekonomi Islam (Cet. I; Yogyakarta: BPFE, 2004), h. 17
[9] Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islam, (Cet. I. Yogyakarta, Ekonosia, 2004), h. 30
[10] Ibid, h. 32
[11] Ibid, h. 32
[12] Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, yang diterjemahkan oleh M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, dengan Judul Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 57
[13] Ibid
[14] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar (Cet. I; Yogyakarta: Ekonosa, 2002), h. 25-47
[15]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an; Dibawah Pengawasan
Kementrian Urusan Agama Islam Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi
Arabiah, al-Qur’an dan terjemahnya (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahad Litba’ati al-Mushaf al-yarid, 1422 H), h. 240
[16] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Ibid, h. 122
[17] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Ibid
[18] Al-Qur’an dan Terjemahnya,Ibid, h. 1035
[19] Al-Qur’an dan Terjemahnya, ibid, h. 97
[20] Al-Qur’an dan Terjemahnya,Ibid, h. 7
[21] Al-Qur’an dan Terjemahnya, ibid, h. 71
[22] Maushu’ah Hadis al-Syarif CD Digital, Sahih Bukhari Kitab al-Hawalah No Hadis 2125.
[23] CD. Digital, Sunan Ibnu Majah Kitab: al-Tijarah, No Hadis 2128 ibid. ,
[24] CD Digital Sunan al-Nasa’i Kitab: al-Buyu’ No. Hadis 4533, ibid,.
[25] CD Digital, Sahih Bukhari, No. Hadis. 2127, ibid. Kitab: al-Hawalah,
[26]Muhammadiyah Amin, Menembus Lailatul Qadr; Perdebatan Interpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual (Cet. I; Makassar: Melania Press, 2004), h. xiii
[27] Salah satu contoh reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Umar adalah tentang Jizyah. Pada
masa Rasulullah dan Abu Bakar jizyah belum mendapat format standarisasi
yang jelas, akan tetapi pada masa Umar bin Khattab standarisasi itu
menjadi jelas dikarenakan pertimbangan kondisi, dimana pada saat itu
daerah kekuasaan Islam bertambah luas yang mengharuskan standar
keringanan harus jelas, yang salah satunya agar petugas penarik jizyah
memiliki dasar yang jelas. Ketentuan standar jizyah itu adalah sebagai
berikut: 1) 48 dirham untuk orang yang kaya, yaitu yang mempunyai
pekerjaan dan penghasilan tinggi. 2) 24 dirham untuk orang yang
berpenghasilan menengah. 3) 12 dirham untuk orang miskin yang
berpenghasilan minim. Lihat Quthb Ibrahim Muhammad, As-Siyasah al-Maaliyah Li ‘Umar Bin Khattab’ yang
diterjemahkan oleh Ahmad Syarifuddin Shaleh dengan judul Kebijakan
Ekonomi Umar Bin Khattab, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 146
[28]Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia Arab – Arab Indonesia, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), h. 88
[29] Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh; Kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam (Surabaya: Citra Media, 1997), h. 109
[31] Heri Sudarsono, op. cit, h. 42
[32] Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit, h. 132-133
No comments:
Post a Comment