Thursday 30 January 2014

Tinjauan Umum tentang Ekonomi Islam

OLEH : AHMAD SHOLIHIN

A. Pengertian Ekonomi Islam

Ekonomi dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos dan nomos. oikos berarti rumah tangga dan nomos berarti, tata, aturan. Dengan demikian secara sederhana ekonomi dalam pengertian bahasa berarti. Ekonomi atau tata aturan rumah tangga. Ekonomi menurut kamus Bahasa Indonesia berarti segala hal yang bersangkutan dengan penghasilan, pembagian dan pemakaian barang-barang dan kekayaan (keuangan)[1]. Ekonomi dalam bahasa menurut HRA Rivai Wira Sasmita et.al, yakni:
“Suatu istilah yang berkenaan dengan setiap tindakan atau proses yang harus dilaksanakan untuk menciptakan barang-barang dan jasa yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan manusia. Secara lebih spesifik istilah ini dipakai untuk menyebutkan efesiensi relatif proses produksi, pengorganisasian administratif, atau penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia”[2].
Selanjutnya Ekonomi dalam pengertian istilah terdapat beberapa defenisi para ahli sebagaimana yang terdapat di bawah ini:
  1. Menurut Adam Smith, ekonomi adalah
“Ilmu kekayaan atau ilmu yang khusus mempelajari sarana-sarana kekayaan suatu bangsa dengan memusatkan perhatian secara khusus terhadap sebab-sebab material dari kemakmuran, seperti hasil-hasil industri, pertanian dan sebagainya”[3]
2. Menurut Marshall bahwa:
“Ekonomi adalah: Ilmu yang mempelajari usaha-usaha individu dalam ikatan pekerjaan dalam kehidupannya sehari-hari. Ilmu ekonomi membahas kehidupan manusia yang berhubungan dengan bagaimana ia memperoleh pendapatan dan bagaimana pula ia mempergunakan pendapatan itu”[4]
3. Menurut Ruenez
“Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhannya dengan sarana-sarananya yang terbatas yang memmpunyai berbagai macam fungsi”.[5]
Dari pengertian-pengertian ekonomi yang telah dideskripsikan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ekonomi adalah, ilmu yang mempelajari upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara perorangan maupun kelompok dengan mempergunakan segala perangkat fasilitas yang berhubungan dan mendukung usaha dilakukannya kegiatan ekonomi, dengan maksud agar memperoleh kesejahteraan atau kemakmuran.
Adapun pengertian ekonomi Islam secara garis besar tentunya ekonomi yang berbasis ke-Islaman. Dalam upaya memahami ekonomi Islam ini, sering muncul pertanyaan. Mungkinkah Agama Islam sebagai agama yang berbasis ketuhanan mempunyai konsep-konsep tentang ekonomi?. Pertanyaan seperti ini tentulah wajar bagi orang yang menganggap Islam adalah agama yang basisnya hanyalah tuhan dan bagaimana penyembahan terhadapnya, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya,
Menurut hemat penulis, memang tak dapat dipungkiri kehadiran agama Islam sebagai petunjuk peribadatan terhadap-Nya, namun sesungguhnya agama bukanlah hanya sekedar hal-hal yang bersifat ritual, akan tetapi lebih jauh lagi kehadiran agama sebagai sebuah petunjuk yang menyeluruh, hal ini berarti bahwa kehadiran agama adalah diperuntukkan untuk manusia, sehingga agama dalam kaitannya dengan manusia inilah terdapat peluang besar untuk merekonstruksi agama sesuai dengan kondisi yang berkembang. Bahkan tak heran kalau agama dalam kaitannya dengan manusia ini pulalah, ilmu pengetahuan moderenpun berupaya untuk meneliti agama, sehingga menurut pakar sosiolog yang meneliti agama menyatakan bahwa, agama terdapat beberapa kategori yang dapat diteliti yakni agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh agama, serta sikap masyarakat memeluk doktrin[6].
Dalam kaitannya antara agama dan ekonomi Islam tentunya, agama tidak dipandang sebagai doktrin ritual belaka, akan tetapi bagaimana agama dpandang sebagai sebuah potensi besar dalam membentuk struktur dan dinamika masyarakat, serta bagaimana keluesan Islam yang siap memberikan instrumen kepada pemeluknya untuk menciptakan tatanan-tatanan kehidupan yang kondisional yang tentunya dengan satu penekanan bahwa apapun yang hendak dilakukan haruslah sesuai dengan syari’ah yang dikehendaki oleh agama, dalam hal ini berarti upaya-upaya sadar yang arahnya untuk membentuk perekonomian Islam adalah sebuah kemestian yang dianjurkan oleh agama, dan ini juga bermakna bahwa ekonomi Islam haruslah diarahkan pada tujuan syiar Islam dengan mempertimbangkan faktor-faktor kemaslahatan. Pada tujuan inilah ekonomi Islam mendapat legitimasi sehingga dapat diharapkan menjadi jawaban bagi perekonomian konfensional yang  dalam operasionalnya terdapat praktik-praktik kapitalisme
Agama dalam makna sebagai petunjuk terhadap manusia sebagaimana yang telah diuraikan dahulu, ditegaskan pula oleh Jalaluddin Rachmat yang bahwa, agama muncul untuk membantu manusia menjawab masalah-masalah yang menjadi perhatian paling utama.[7] Dalam pemaknaan agama semacam inilah yang memungkinkan adanya penterjemahan-penterjemahan agama dalam berbagai bidang termasuk didalamnya terdapat penterjemahan-penterjemahan agama dalam merespon ekonomi ummat.
Persoalan kemudian dalam merespon ekonomi Islam adalah bagaimanakah bentuk ekonomi Islam tersebut. Dalam masalah ini, menurut Ahmad Muhammad al-Ashal dan Fatih Ahmad Abdul Karim yakni sebagian ahli berpendapat bahwa, ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masanya. Sementara ahli lain mendefenisikannya sebagai ilmu yang mengarahkan kegiatan ekonomi dan mengaturnya sesuai dengan dasar-dasar dan siasat ekonomi Islam.
Menurut Muhammad dan Alimin bahwa Ekonomi Islam sebagai kegiatan ekonomi berupa produksi, distribusi, dan konsumsi atau kenyataan dan permasalahan ekonomi yang dituntun oleh nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip syariat Islam.[8]
Dengan demikian, ekonomi Islam adalah bagian dari tata kehidupan yang lengkap (sistem) berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ (konsensus ulama ummat Islam) dan Qiyas (analogi Syar’i). Dari prinsip ini dapat dikembangkan suatu kerangka konseptual yang dapat dikaitkan untuk menjelaskan realitas sekarang (ekonomi aktual) atau akan datang yang diimajinasikan. Dengan demikian, teori ekonomi Islam dapat berubah, namun tidak akan terlepas dari kerangka abadi syari’ah.
Berdasarkan keterangan di atas, ekonomi Islam sebagai suatu ilmu tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari aspek normatif dan kedudukannya sebagai sebuah bagian dari sistem kehidupan yang lengkap. Sedangkan setiap usaha  mencoba untuk memisahkan hal tersebut akan menyesatkan.
B   Metodologi Ekonomi Islam
Ilmu atau teori Ekonomi Islam dapat diperoleh apabila manusia mampu menangkap ayat-ayat Allah. Ayat Allah merupakan isyarah bukti, hudan, dan rahmah kepada kehidupan keseharian, manusia dalam hubungan dengan alam, sesama manusia, dan dalam hubungan dengan Allah[9]. Nash, kadang-kadang menampilkan bukti faktual, kadang memberikan isyarah yang seharusnya mendorong kita untuk meneliti, mengadakan eksperimen untuk menemukan hukumnya atau prinsipnya atau menampilkan teorinya. Nash kadang memberikan kepada kita hudan atau petunjuk atau petunjuk bijak yang seharusnya mendorong kita untuk mengembangkan sistem organisasi, atau pelaksanaan dalam bidang ekonomi, hidup kemasyarakatan, dan lainnya.
Kebenaran wahyu yang memberikan pedoman bagi kita dalam melakukan muamalah antar manusia, yang sosok dan operasionalisasinya diserahkan sepenuhnya kepada manusia, substansial dan instrumental bersifat indeterministik. Kebenaran muamalah dalam hubungan  manusia dengan Allah dan kebenaran ubudiyah hanya dapat dijangkau melalui penafsiran kita yang pasti tidak akan pernah sampai kepada pemahaman hakiki dari kebenaran kebijakan Allah. Hal demikian ini berarti insaniyah indeterministik, Ilahiyah deterministik[10]. Manusia diwajibkan berfikir menghayati kabijakan tertinggi dari Allah. Manusia perlu mencoba menjangkau hakiki kebenaran kebijakan Allah, meskipun tidak pernah akan sampai. Manusia akan menghasilkan dari upaya mempersepsi dan menafsirkan.
Oleh karena itu, menemukan kebenaran dari manusia tidak dapat lepas dari model penemuan kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, dan kebenaran etik, serta kebenaran muamalah manusia dengan alam dan antara manusia dalam arti Ilahiyah dan insaniyah dapat terus kita kembangkan dengan menggunakan nash sebagai ayat, isyarah, hudan ataupun rahmah. Hal ini berarti bahwa dari keseluruhan kawasan tersebut manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkannya, sejauh tetap dijaga koherensinya dengan nilai Ilahiyah integratif.
Bagaimana mengembangkan yang perlu diterapkan untuk mendapatkan ilmu yang Islami ?. Menurut  Muhammad ada tiga model yang ditawarkan untuk diimplementasikan dalam pengembangan ilmu yang Islami, yaitu:
  1. Model Postulasi
  2. Model pengembangan multi disipliner dan Interdisipliner
  3. Model pengembangan reflektif-konseptual- tentatif-problematik[11]
v Model Postulasi
Model ini dibangun dengan kerangka deduksi. Pijakannya berawal dari konsep idealisasi. Model ini berangkat dari konsep idealisasi, yang meliputi, konsep idealisasi teoritik, konsep idealisasi moralistik, dan konsep idealisasi transendental. Model postulasi dalam ekonomi Islam dapat masuk dalam konsep idealisasi transendental. Karena bertolak dari aksioma, postulat, hukum, nash, atau konstruksi teoritik holistik membangun keseluruhan sistematika disiplin ilmu itu.
Model ini akan lemah konstruksinya bila postulasinya dirumuskan atau dibangun secara apriori atau spekulatif, dan akan kuat bila dibangun lewat penelitian empirik atau lewat proses berpikir reflektif. Sebagai contoh model ini diterapkan oleh Haider Naqvi dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam, dengan berdasarkan pada empat aksioma, yaitu: unity, equilibrium, free will, dan responsibility.[12] Artinya sistem ekonomi Islam dibangun dengan tujuan moral; keselarasan; keadilan; kebebasan yang tidak merusak keselarasan serta keadilan dan tanggung jawab.
Kejernihan akal budi memungkinkan  manusia menangkap makna integral dari moralitas al-Qur’an dan sunnaturrasul. Perlu disadari bahwa ada dua pemaknaan, yaitu pemaknaan substansif serta instrumentatif, dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil.
v Model Pengembangan Multidisipliner dan Interdisipliner
Model ini adalah cara bekerjanya seorang ahli di suatu disiplin dan berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin lain[13]. Adapun yang dimaksud dengan kerja interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli dari beragam keahlian dan spesialisasi untuk menghasilkan secara bersama atau membangun suatu teori atau merealisasikan suatu proyek. Kerja multidisiplin membangun disiplin ilmu ekonomi yang Islami, misalnya, akan tepat bila yang bersangkutan sekaligus memiliki kompetensi dalam disiplin ilmu ekonomi dan ilmu agama. Dengan kompetensi yang cukup tersebut merupakan modal terbaik untuk membangun suatu disiplin ilmu menjadi Islami.
v Model pengembangan reflektif-konseptual-tentatif-problematik
Model ini merupakan paduan antara konsep idealisasi dan multidisipliner serta interdisipliner. Oleh karena itu, model ini dapat bergerak serentak dari konsep idealisasi teoritik, moralistik, sampai transendental secara reflektif. Model ini menuntut peneliti untuk berangkat dari konstruksi teoritik-sistematik ilmu yang berkembang. Bagian-bagian dilematik, inkonklusif, dan kontroversial dikonseptualisasikan secara reflektif dan disajikan dalam berbagai alternatif atau disajikan sebagai masalah yang belum konklusif. Beragam keraguan tersebut dikonsultasikan dengan nash.
Model ini dapat dioperasionalisasikan dengan cara, dikonseptualisasikan lewat telaah empirik, lewat abstraksi, lewat penjabaran yang dilangkahkan mondar-mandir antara induksi dan deduksi, berangkat dari dasar teoritik atau sistematik ilmu itu sendiri. Tetapi konseptualisasi tersebut jangan ditampilkan konklusif, melainkan ditampilkan inkonklusif, mungkin problematis, mungkin tentatif, mungkin hipotetik, mungkin bentuk lain yang membuka peluang alternatif, nuansif, atau openanded. Kebenarannya masih bersifat probabilistik.
C.   Nilai Dasar dan Instrumen Ekonomi Islam
Ekonomi Islam sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu, memberikan sebuah kepastian akan model atau warna perekonomian yang tergagas dalam ekonomi Islam yang sangat berbeda dengan perilaku ekonomi dalam perekonomian konfensional.
Perbedaan-perbedaan ini dikarenakan pada perekonomian Islam dilandasi oleh-ajaran-ajaran Islam, yang tentunya menjadi dasar dalam perlakuan perekonomian. Ajaran-ajaran tersebut termanifestasi dari dua dasar pokok sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-qur’an merupakan sumber yang paling pertama, dan Sunnah Rasulullah menempati posisi sesudahnya, dan apabila dalam penggalian sumber tersebut tidak terdapat kejelasan terhadap masalah yang dimaksud, maka dibolehkan kepada Ummat Islam untuk melakukan ijtihad, sehingga mayoritas ulama sependapat bahwa sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam Islam selain al-Qur,an dan Sunnah adalah Ijtihad, Ijma’ dan Qiyas.
Lebih jauh dalam perekonomian Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Heri Sudarsono, bahwa selain dari sumber-sumber yang dapat dijadikan patokan dalam perekonomian Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas, terdapat pula sumber yang lain yakni: ‘urf, istihsan, istislah, istihsab dan maslahah al-mursalah[14]
Adapun sumber-sumber atau dasar-dasar perekonomian dalam perekonomian Islam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Konsep Dasar Ekonomi Berdasarkan al-Qur’an
Didalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mengisyaratkan perlu adanya upaya membangun perekonomian. Ayat-ayat tersebut diantaranya:
  1. Ayat tentang pengelolaaan harta  yang terdapat dalam Q.S. al-A’raf (7): 128
Terjemahnya:
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesunggunhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa[15]
Pada ayat ini, Allah mengamanatkan bumi serta isinya bagi manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Dan hendaknya manusia meningkatkan ilmu pengetahuan guna menyimak berbagai fenomena yang ada di bumi.
Selanjutnya dalam Q.S. al-Nisa (4): 32 Allah berfirman:
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu”[16]
Ayat ini, mengisyaratkan bahwa Allah memberi rizki kepada manusia dengan ukuran yang berbeda-beda tergantung usahanya.
  1. Ayat tantang perdagangan  yang dijelaskan dalam Q.S. al-Nisa (4): 29
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu[17] (Q.S. al-Nisa (4): 29
Melalui ayat ini Allah mengharuskan adanya kejujuran dalam melakukan perdagangan sehingga terciptanya kemaslahatan yang menjadi harapan setiap individu. Masih berkaitan dengan hal diatas, Allah  SWT. berfirman dalam al-Qur’an  Q.S. al-Muthaffifin  (83): 1-3
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan[19]
Q.S. al-Baqarah (2): 278
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”[20].
Kedua ayat tersebut menghendaki adanya kemaslahatan dalam perlakuan perekonomian, tidak dibolehkan menciptakan sistem saling  memaksa kepada pelaku ekonomi lain untuk melakukan sistem tersebut, walaupun ia tahu dirinya akan menjadi korban dari para pelaku riba.
  1. Ayat tentang utang
Q.S. al-Baqarah (2): 283
Terjemahnya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan[21].
Ayat ini mengisyaratkan bahwa, pinjaman dibolehkan asal digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi hidup manusia, dan demi terselenggaranya optimalisasi produksi. Karena utang sangata rentan terhadap masalah.
2. Konsep Dasar Ekonomi berdasarkan Hadis
  1. Hadis Tentang Jasa
H.R. Muslim
Artinya:
Abdullah bin Yusuf berkata kepada kami, Malik dari Abi ziyad dari al-A’raj dari Abi Hurairah ra. Berkata. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seoarang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu / kaya, terimalah hawalah itu. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abi Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam Malik dan al-Darimi)
  1. Hadis tentang bekerja keras
H.R. Ibnu Majah
Artinya:
Berkata Abu Bakar bin Abi Syaibah dan ‘Ali bin Muhammad dan Ishaq bin Ibrahim bin Habib mereka berkata bahwa Abu Mu’awiyah berkata kepada kami al-A’mas dari Ibrahim dari al-Aswad dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah saw telah bersabda: Sesungguhnya orang yang baik adalah yang makan dari hasil kerja kerasnya dan memberi makan anaknya juga dari hasil kerja kerasnya” (HR. Ibnu Majah, al-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad dan al-Darimi).
3. Hadis tentang  Perdagangan
H.R. al-Nasa’i
4533
Artinya:
Telah berkata ‘Usman bin ‘Abdullah bercerita kepada kami, telah berkata kepada kami Sa’id bin Sulaiman dari ‘Ubbad bin al-‘Awwam dari Sa’id bin Abi ‘Urwah  dari dari Abi Raja’ Telah berkata ‘Usman ia adalah Muhammad bin saif dari Matar al-Waraq dari ‘Amar bin Syu’aib dari bapaknya dari neneknya berkata: Bahwa Rasulullah saw bersabda. Tidak dibolehkan bagi seseorang yang menjual bukan miliknya”(HR. Al-Nasa’i, Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Darimi)
4. Hadis tentang Utang
H.R.Bukhari
2127
Artinya:
Al-Makki bin ibrahim berkata kepada kami, Yazin bin Abi ‘Ubaid dari Salamah bin al-‘Aqwah ra. Berkata: Kami pernah duduk disisi Rasulullah saw, dan dihadapkan sesosok mayat laki-laki kepada Rasulullah saw untuk disahalatkan. Maka Rasulullah bertanya, apakah ia mempunyai hutang ? mereka berkata: tidak, apakah dia meninggalkan warisan? Mereka menjawab tidak, maka Rasulpun menshalatkannya. Kemudian didatangkan lagi sesosok jenazah untuk disahalatkan maka Rasul bertanya, apakah ia mempunyai hutang? Mereka menjawab: ya, sebanyak tiga dinar. Rasulullahpun menyuruh mereka menshalatkan (sedangkan Rasulullah tidak). Abu Qutadah berkata: “saya yang menjamin hutangnya” maka Rasulullahpun menshalatkannya” (HR. Bukhari, al-Nasa’I dan Ahmad)
Dasar-dasar perekonomian yang terurai dalam al-Qur’an maupun sunnah sebagaimana yang disebutkan di atas, tentunya perlu pemaknaan yang lebih serius, agar ia sanggup berdialog dengan kondisi perekonomian masa kini. Pemaknan kembali sumber-sumber ini, lebih jelasnya disebut dengan rekonstruksi ajaran Islam, yakni menafsirkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah agar ia sanggup memberikan solusi-solusi terhadap kondisi dan situasi kapan dan dimanapun juga ia melakukan kegiatan perdagangan.
Pemaknaan-pemaknaan ini dikarenakan kedua sumber ajaran Islam, dan yang lebih khusus lagi al-Qur’an memiliki makna tidak hanya sebatas satu makna. Hal inilah yang disebutkan oleh Muhammad Sabri bahwa:
“Agama adalah sebuah dunia makna. Dan makna-makna baik yang instrinsik maupun ekstrinsik-adalah dunia simbol yang mencitrakan realitas metaforis. Karena itu, substansi agama hanya bisa diselami jika seseorang mampu menangkap dunia-makna “terdalam” dari sebuah pesan keagamaan. Dalam tradisi Islam, pesan simbolik-terdalam dari agama biasa disebut hikmah.[26]
Sejalan dengan ini, ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah tentang masalah ekonomi yang telah disebutkan di atas mengindikasikan perlu adanya transformasi sistem perekonomian ke dalam sistem perekonomian moderen yang lebih baik dan bertanggung jawab.  Sehingga  organisasi perekonomian harus menjadi sebuah keniscayaan bagi ummat Islam masa kini. Sejalan dengan itu,  Muhammad Abduh berkata bahwa “kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”. Perkataan ini jika diintegrasikan dengan masalah ekonomi, maka dapatlah dikatakan bahwa: Betapapun hebatnya ekonomi Islam namun jika tidak diorganisir rapi sesuai dengan realitas kondisi terkini, maka ekonomi Islam akan dapat dikalahkan oleh perekonomian konvensional.
Dalam dunia perekonomian dewasa ini, sistem perekonomian konvesional telah menjadi alternatif bagi masyarakat dunia, yang ternyata di dalamnya terjadi perlakuan kapitalisme. Sistem ini sangat ditentang oleh Islam, akan tetapi tawaran sistem ekonomi Islam untuk menggantikan sistem inipun terasa sangat kering, dan kurang tersentuh bahkan dikalangan ummat Islam sendiri, kenyataan-kenyataan ini mengharuskan adanya ijtihad Ummat Islam.
Kekeringan dan kedangkalan teori-teori Islami dari ummat Islam dikarenakan statisnya ummat Islam menafsirkan konsep-konsep agama. Dalam kenyataan inilah teori-teori Islami harus kembali muncul ke permukaan yang tentunya meniscayakan adanya ijtihad ummat Islam dalam masalah perekonomian sebagaimana ijtihad Umar bin Khattab dalam menangani berbagai masalah ekonomi.[27] Ijtihad ini memberikan makna bahwa perlu adanya ijtihad terus menerus dalam masalah ekonomi dikarenakan perkembangan ekonomi akan terus menerus menyesuakan diri dengan perkembangan realitas, yang tentunya meniscayakan teori-teori ekonomi Islam untuk terus kreatif menjawab tuntutan kebutuhan realitas tersebut dengan dengan tidak mengabaikan etika-etika perekonomian yang terkonstruksi dalam al-Qur’an.
3.  Ijtihad
Ijtihad dalam makna bahasa berasal dari kata ja-ha-da yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh[28]. Adapun dalam makna istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Miftahul Arifin dan Faisak Haq adalah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci[29] yang tentunya bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum)[30]
Mengenai Ijtihad, menurut Imam al-Amidi sebagaimana yang dikutip oleh Heri Sudarsono mengatakan bahwa melakukan ijtihad harus sampai merasa tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuan, menurut Imam al-Gazali batasan sampai merasa tidak mampu sebagai bagian dari defenisi ijtihad al-Tam (defenisi sempurna)[31]
Keberadaan ijtihad sebagai sebuah hukum dinyatakan dalam Q.S. al-Nisa: 38
Terjemahnya:
“. . . dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ‘Ulil ‘Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingihn mengetahui tentang kebenarannya (akan dapat) dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ‘Ulil Amri) . . .[32] (Q.S. al-nisa (4): 38

5. Qiyas
Qiyas adalah istilah ushul, yaitu mempersamakan peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nas bagi hukumnya.  Dalam hukum yang terdapat nas untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini. Qiyas merupakan metode pertama yang yang dipegang para mujtahid untuk mengistimabtkan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling jelas.
Adapun bentuk-bentuk qiyas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1). Qiyas Aula yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mushaqbih).
2). Qiyas Muswi yaitu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukumnya yang terdapat pada mulhaq-nya adalah sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaqbih
3). Qiyas Dalalah, yaitu suatu qiyas dimana illat yang terdapat pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat dengan illat bahwa seluruhnya adalah  harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
4). Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas yang mulhaq-nya dapat diqiyaskan kepada dua mulhaqbih. Akan tetapi ia diqiyaskan dengan mulhaq-bih yang mengandung banyak persamaan dengan mulhaq
5) ‘Urf, yaitu apa yang saling diketahui dan saling dijalani orang. Apa-apa yang telah dibiaskan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. ‘Urf disebut juga adat kebiasaan. Urf terdiri dari dua macam yakni:
  1. Urf Shahih ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’ tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib, misalnya adat kebiasaan membayar mahar
b.  Urf Fasid ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang berlawanan dengan ketentuan syariat karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib, misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam aqad perjanjian yang bersifat riba’.
  1. Al-Istihsan, yakni menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama usul, istihsan adalah membandingkan  yang dilakukan oleh mujtahid dari qiyas jalli (jelas) kepada qiyas khaffi (yang tersembunyi), atau dari hukum kulli kepada hukum istisna’i. Disini terdapat kecenderungan yang lebih kuat untuk mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak didasarkan pada nas.
Berdasarkan pengertian istihsan menurut syara’ dapat dibagi menjadi dua, yakni:
  1. Mengutamakan qiyas khafi dari qiyas Jalli berdasarkan dalil
  2. Mengecualikan Juz’iyyat dari hukum kully berdasarkan dalil
  3. Al-Istishlah, menurut ulama Usul adalah menetapkan hukum suatu peristiwa hukum yang tidak disebut nash, dan ijma’ berlandaskan pada pemeliharaaan maslahat al-mursalah, yaitu maslahat yang tak ada dalil syara’ yang menunjukkan diakuinya atau ditolaknya.
  4. Al-Istishhab, yakni perjalanan yang diambil dari sahabat Rasulullah saw. Menurut istilah para ulama usul, yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan itu. Atau menjadikan hukum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang. Sampai ada dalil untuk mengubahnya.
  5. Maslahat al-Mursalah, menurut istilah ahli ushul, kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. karenanya, maslaha al-mursalah itu disebut mutlak. Lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.

[1]Daryanto, SS., Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), h. 350.
[2]HRA Rivai Wirasasmita et. al, Kamus Lengkap Ekonomi (Bandung: CV. Pionir Jaya, 2002), h. 142
[3] Ahmad Muhammad al- Assal dan Fathi Ahmad Abd al-Karim, al-Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam; Mabadiuhu wa Ahdafuhu diterjemahkan oleh H. Imam Saefudin dengan judul Sistem, Prinsip dan, T ujuan Ekonomi Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka setia, 1999), h. 10
[4] Lihat ibid
[5] Ibid,. h. 11
[6] Taufik Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. xiii
[7] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama;Sebuah Pengantar (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 39
[8] Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan konsumen dalam Ekonomi Islam (Cet. I; Yogyakarta: BPFE, 2004), h. 17
[9] Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islam, (Cet. I. Yogyakarta, Ekonosia, 2004), h. 30
[10] Ibid, h. 32
[11] Ibid, h. 32
[12] Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, yang diterjemahkan oleh  M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, dengan Judul Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 57
[13] Ibid
[14] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar (Cet. I; Yogyakarta: Ekonosa, 2002), h. 25-47
[15]Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an; Dibawah Pengawasan Kementrian Urusan Agama Islam Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabiah, al-Qur’an dan terjemahnya (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahad Litba’ati al-Mushaf al-yarid, 1422 H),  h. 240
[16] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Ibid, h. 122
[17] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Ibid
[18] Al-Qur’an dan Terjemahnya,Ibid, h. 1035
[19] Al-Qur’an dan Terjemahnya, ibid, h. 97
[20] Al-Qur’an dan Terjemahnya,Ibid, h. 7
[21] Al-Qur’an dan Terjemahnya, ibid, h. 71
[22] Maushu’ah Hadis al-Syarif CD Digital, Sahih Bukhari Kitab al-Hawalah No Hadis 2125.
[23] CD. Digital, Sunan Ibnu Majah Kitab: al-Tijarah, No Hadis 2128 ibid. ,
[24] CD Digital Sunan al-Nasa’i Kitab: al-Buyu’ No. Hadis 4533,  ibid,.
[25] CD Digital, Sahih Bukhari, No. Hadis. 2127, ibid. Kitab: al-Hawalah,
[26]Muhammadiyah Amin, Menembus Lailatul Qadr; Perdebatan Interpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual (Cet. I; Makassar: Melania Press, 2004), h. xiii
[27] Salah satu contoh reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Umar adalah tentang Jizyah. Pada masa Rasulullah dan Abu Bakar jizyah belum mendapat format standarisasi yang jelas, akan tetapi pada masa Umar bin Khattab standarisasi itu menjadi jelas dikarenakan pertimbangan kondisi, dimana pada saat itu daerah kekuasaan Islam bertambah luas yang mengharuskan standar keringanan harus jelas, yang salah satunya agar petugas penarik jizyah memiliki dasar yang jelas. Ketentuan standar jizyah itu adalah sebagai berikut: 1) 48 dirham untuk orang yang kaya, yaitu yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan tinggi. 2) 24 dirham untuk orang yang berpenghasilan menengah.  3) 12 dirham untuk orang miskin yang berpenghasilan minim. Lihat Quthb Ibrahim Muhammad, As-Siyasah al-Maaliyah  Li ‘Umar Bin Khattab’ yang diterjemahkan oleh Ahmad Syarifuddin Shaleh dengan judul Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 146
[28]Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia Arab – Arab Indonesia, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), h. 88
[29] Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh; Kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam (Surabaya: Citra Media, 1997), h. 109
[31] Heri Sudarsono, op. cit, h. 42
[32] Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit, h. 132-133

No comments:

Post a Comment