OLEH : AHMAD SHOLIHIN
A. Pengertian Ekonomi Syari’ah
Menurut bahasa, ekonomi Islam terdiri dari dua kata yaitu ekonomi dan Islam. Kata “ekonomi”, berarti perihal pengurus dan mengatur kemakmuran, dan sebagainya.[1] Dan kata “syari’ah”, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah swt. untuk hamba-Nya sebagaimana terkandung dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan diterangkan oleh Rasulullah dalam bentuk sunnahnya.[2] Jadi ekonomi syari’ah adalah ekonomi atau perihal yang mengurus dan mengatur kemakmuran berdasarkan agama atau aturan-aturan yang telah disyariatkan oleh Islam, atau pengaturan kemakmuran berdasarkan prinsip ekonomi dalam Islam.
Menurut istilah, ekonomi Islam menurut Muhammad Abdul Mannan, ialah:
Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.[3]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekonomi Islam adalah, perihal mengenai ekonomi atau mengurus dan mengatur kemakmuran dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam.
B. Ruang Lingkup Ekonomi Syari’ah
Ekonomi syari’ah atau ilmu ekonomi
syari’ah terutama mengenai permasalahan yang menyangkut uang, oleh ahli
ekonomi yang menyokong pandangan bahwa ilmu ekonomi adalah mengenai
perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan
membelanjakan uang. Tetapi penulis klasik dan pengikut mereka masa kini,
cenderung menyelidiki yang tersirat di belakang selubung keuangan itu
dan menggambarkan masalah ekonomi dari segi yang bukan moneter.
Permasalahan ekonomi umat manusia yang fundamental bersumber dari
kenyataan bahwa kita mempunyai kebutuhan dan kebutuhan ini pada umumnya
tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya energi
manusia, di samping peralatan materil yang terbatas. Bila seseorang
memiliki sarana tidak untuk memenuhi semua jenis kebutuhan, maka masalah
ekonomi tidak akan timbul. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan,
hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan
ilmu ekonomi modern. Andaikata ada perbedaan, hal itu terletak pada
sifat dan volumenya. Itulah sebabnya mengapa perbedaan pokok antara
kedua sistem ilmu ekonomi ini dapat ditemukan dengan memperhatikan
penanganan masalah pilihan. Persoalan pilihan timbul dari kenyataan
bahwa sumber daya begitu terbatas sehingga dipenuhinya suatu jenis
keinginan, berarti mengorbankan suatu kebutuhan lain yang harus terus
tidak terpenuhi. Pertikaian yang selalu terjadi antara beraneka ragamnya
keinginan dan kurangnya sarana memaksa untuk mengadakan pilihan di
antara kebutuhan-kebutuhan kita, guna menetapkan daftar prioritas dan
kemudian mendistribusikan sumber daya itu sedemikian rupa sehingga mampu
memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara maksimum. Dalam ilmu ekonomi modern
masalah pilihan ini sangat tergantung pada bermacam-macam tingkah
masing-masing individu. Mereka mungkin tidak memperhitungkan
persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam,
tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber
daya sekelompok hati. Dalam hal ini ada suatu pembatasan moral yang serius berdasarkan ketetapan Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah atas tenaga individu.[4]
Suka atau tidak suka, ilmu ekonomi
syari’ah tidak dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda-beda.
Demikianlah kegiatan membuat dan menjual minuman alkohol dapat merupakan
aktivitas ekonomi yang baik dalam sistem ekonomi modern. Namun hal ini
tidak mungkin terjadi di negara Islam. Karena dalam banyak hal usaha ini
tidak akan memajukan kesejahteraan manusia, suatu kesejahteraan yang
dapat diukur dengan uang. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan
individu dianggap sebagai fungsi yang kian meningkat dari komoditi dan
jasa yang menurut skala nilainya, ingin dimiliki. Dan sebagai fungsi
kian berkurang dari usaha pengorbanan yang harus dilakukan untuk
mencapainya. Tetapi dalam ilmu ekonomi Islam, individu harus
memperhitungkan perintah Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah dalam
melaksanakan aktivitasnya. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat
dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian
rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorang pun
lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk dalam kerangka
Al-Qur’an dan sunnah. Segala sesuatu yang tidak secara nyata terlarang
dalam Al-Qur’an dan sunnah tetapi taat dengan semangat yang sama boleh
dinyatakan islami. Dan dalam sistem ekonomi Islam, melakukan
kegiatan-kegiatan demikian, tidak dianggap salah.[5]
Walaupun ilmu ekonomi Islam, seperti
halnya ilmu ekonomi modern, tidak hanya mengenai aspek perilaku manusia
yang berhubungan dengan cara mendapatkan uang dan membelanjakannya,
namun sebagian besar ia merupakan aktivitas ekonomi kita. Benar-benar
menabjubkan, bahkan seribu empat ratus tahun yang lalu Islam telah
mengusahakan keseimbangan yang langgeng antara pendapatan dan
perbelanjaan guna mencapai sasaran keuntungan sosial yang maksimum.
Islam selalu menekankan agar setiap orang mencari nafkah dengan halal.
Semua sarana dalam hal mendapatkan kekayaan secara tidak sah dilarang,
karena hal tersebut pada akhirnya, dapat membinasakan suatu bangsa (QS.
An-Nisa (4): 29).
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu.[6]
Almaraghi mengemukakan bahwa ‘bathil”
berarti kesia-siaan dan kerugian. Yaitu mengambil harta tanpa mengganti
hakiki yang biasa, dan tanpa keridhaan dari pemilik harta yang diambil
itu atau menafkahkan harta bukan jalan hakiki yang bermanfaat, dan
termasuk dalam hal ini adalah lotre, penipuan di dalam jual beli, riba,
dan menafkahkan harta benda pada jalan yang diharamkan, serta pemborosan
dengan mengeluarkan harta untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh
akal.[7]
Kata menunjukkan bahwa harta yang haram
biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang
yang memakan dengan orang yang dimakan hartanya. Masing-masing ingin
menarik harta itu menjadi miliknya.[8]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam mensyariatkan agar dalam
memperoleh harta hendaknya dengan jalan yang halal atau tidak secara
batil karena hal tersebut dapat berakibat pertentangan atau pertengkaran
atau tidak secara ikhlas dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, telah
ditetapkan aturan-aturan tertentu yang mengatur dan menentukan bentuk
dan intensitas kegiatan-kegiatan manusia dalam memperoleh kekayaan. Hal
ini begitu dibatasi sehingga serasi dengan kedamaian dan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Pada tahap manapun tidak ada kegiatan
ekonomi yang bebas dari beban pertimbangan moral.[9]
Untuk tujuan tersebut diatur dalam QS. Al-Baqarah (2): 168.
Terjemahnya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.[10]
Al-Maraghi mengemukakan bahwa makalah kalian sebagian apa yang ada
di bumi ini yang terdiri dari berbagai makanan, termasuk binatang
ternak yang kalian haramkan, dan makanlah apa saja yang halal dan baik.[11]
Jadi, suatu negara Islam hanya dapat mendorong kegiatan-kegiatan sah,
yang sepenuhnya sejalan dengan kebajikan sosial. Karena itu Islam tidak
menyetujui segelintir sumber daya manusia kapitalis.[12]
Islam selalu menekankan agar selalu
meletakkan suatu pemanfaatan sosial yang berguni. Sebagai dasar
tersebut, dapat dipahami firman Allah dalam surah Al-Fathir (35): 29:
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang selalu
membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian
dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan
terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan
merugi.[13]
Keserakahan dianggap sebagai sifat
negatif dan merusak. Kekayaan orang-orang kikir, selain hanya memberikan
keuntungan bagi mereka, juga menjadikan rintangan dan mengalangi
pertumbuhan moral dan spiritual mereka (QS. Ali Imran/2: 180),
sebaliknya hidup bermewah-mewahan pun dikecam.[14]
Sesungguhnya Allah itu tunggal dan serba kecukupan. Manusialah yang
serba kekurangan, dan kemakmuran dapat tercapai bukan dengan
keserakahan, atau karena tidak pernah memberi, melainkan dengan
memanfaatkan harta demi kepentingan Allah swt. yakni guna pengabdian
mahluk-makhluk-Nya. (QS. Muhammad 47: 38).[15]
Dengan cara ini, Islam mengatur kegiatan-kegiatan memperoleh uang dan
mengeluarkan uang sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Demikianlah ruang lingkup ilmu ekonomi
Islam yang tampaknya menjadi administrasi kekurangan sumber-sumber daya
dalam masyarakat manusia dipandang dari segi konsepsi etik kesejahteraan
dalam Islam. Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak hanya mengenai
sebab-sebab materil kesejahteraan. Tetapi juga mengenai hal-hal non
materil yang tunduk kepada larangan Islam tentang konsumsi dan produk.
Dalam Islam, baik konsumen maupun produsen bukanlah raja. Perilaku
keduanya harus dituntun oleh kesejahteraan umum, individual dan sosial
bagaimana dipahami dalam syariat.
C. Petunjuk Tentang Perlunya Ekonomi Syari’ah
Islam menghendaki supaya manusia selalu
berada pada martabat yang tinggi dan luhur. Islam memandang manusia
sebagai makhluk yang hanya mempunyai rasa indera, seperti alam
tetumbuhan, kepada alam hewani dan meningkatkannya terus sehingga
menjadi makhluk yang berakal, berperasaan dan rasa indera. Islam juga
menghendaki agar manusia menjadi anggota yang berdaya guna bagi
masyarakatnya.[16]
Kemiskinan sungguh merupakan bencana,
yakni dapat membuat kepala tegak menjadi tunduk, merendah jiwa manusia
yang mulanya luhur, memudarkan pancaran hati, mengacaukan pikiran,
menghamburkan cita harapan, menyeret manusia ke dalam penderitaan dan
kesengsaraan dan banyak meninggalkan akhlak dan budi pekerti serta
nilai-nilai mulia, kemudian terjerumus ke dalam perbuatan dan tindakan
tercela serta bergelimang dalam dosa.[17]
Islam membuat seseorang bertanggung jawab atas
dirinya sendiri, yaitu bertanggung jawab atas kewajiban membebaskannya
dari perangai rendah, mencegah diri dari perbuatan khianat, dan
mengarahkannya kepada kegiatan bekerja untuk soal-soal keduniaan, serta
mengarahkannya kepada ketekunan beribadah. Islam bukan hanya agama
kerohanian semata-mata yang mengantarkan manusia dari kehidupan dunia
kepada kehidupan akhirat, tetapi juga merupakan tuntutan hidup yang
sempurna bagi manusia, termasuk segala dasar dan landasannya. Islam
adalah agama akhirat dan juga agama dunia, agama yang mengandung
kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat menuntut adanya kekuatan
jasmani,akal pikiran, rajin melakukan pekerjaan yang baik dan gemar
berbuat kebajikan.[18]
Kemiskinan dapat berakibat, yakni:
- Membahayakan akidah, kemiskinan merupakan ancaman yang serius terhadap akidah, tertama kaum miskin yang hidup di lingkungan kaum berada yang berlaku aniaya. Terlebih jika kaum miskin tersebut bekerja dengan susah payah sementara golongan kaya hanya bersenang-senang. Kondisi seperti ini, dapat menebarkan benih keraguan terhadap kebijaksanaan Allah mengenai pembagian rezki.[19]
- Membahayakan akhlak dan moral, yaitu selain berbahaya terhadap akidah dan keimanan, kemiskinan pun berbahaya terhadap moral.[20]
- Membahayakan keluarga, yaitu merupakan ancaman terhadap keluarga. Baik terhadap pembentukan, kelangsungan, maupun keharmonisannya. Kemiskinan merupakan salah satu rintangan besar bagi para pemuda untuk melangsungkan perkawinan seperti terpenuhinya berbagai syarat dan sebagainya.[21]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
agama tidak menghendaki adanya kemiskinan, karena kemiskinan merupakan
bencana, yakni membuat kepala menjadi tunduk, merendahkan jiwa yang
mulanya luhur, menghancurkan cita-cita harapan dan sebagainya.
Kemiskinan juga dapat berbahaya terhadap akidah, akhlak, kelangsungan
keluarga dan sebagainya; sehingga agama Islam menganjurkan untuk
menghindarinya dengan jalan berusaha, bekerja dan sebagainya.
Salah satu perkembangan positif yang
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini ialah kendaraan yang semakin besar
dari para pemimpin atau pemerintah tentang pentingnya melaksanakan
keadilan sosial sebagai bagian dari kegiatan pembangunan.[22]
Salah satu aspek keadilan sosial
tersebut ialah pembagian kekayaam nasional yang lebih murah, seperti
pembangunan rumah atau panti-panti asuhan, pemberian kredit kepada
mereka atau warga yang membutuhkan dan sebagainya.[23]
Berabad-abad manusia memikirkan masalah
tersebut, dan untuk itu telah ditulis berjilid-jilid buku yang tidak
semua memahaminya. Namun kesadaran di timbulkan hampir merata di seluruh
dunia, yaitu bahwa kepincangan sosial yang terpenting ialah menyangkut
distribusi rejeki, tujuannya yang pokok ialah bagaimana menghilangkan
kemiskinan. Dan kemiskinan itu ada karena di situ ada kekayaan: tidak
ada orang miskin dalam suatu masyarakat jika di situ tidak terdapat
orang kaya.[24]
Kemiskinan tidaklah mengakibatkan
ketidakbahagiaan. Banyak orang yang melarat dalam hidupnya ternyata
lebih gembira dan bahagia daripada orang kaya. Tapi kemiskinan
mengakibatkan degradasi, sehingga membahayakan bagi suatu masyarakat.
Kejahatan yang ditimbulkan bersifat menular, dan tidak dapat dihindari
hanya dengan pengasingan diri orang-orang kaya dalam bentuk apapun.[25]
Islam menjamin kemerdekaan setiap
individu dan mengakui hak milik atas harta kekayaan, hak untuk mengatur
dirinya sendiri dan keluarganya, dan kebebasan untuk melakukan kegiatan
yang baik untuk kebajikan, menuntun orang yang sesat ke jalan yang
lurus, bahkan wajib berjuang dan berperang untuk menangkal agresi. Islam
menuntut supaya setiap orang memberikan sumbangannya sedapat mungkin
dalam segala bidang kehidupan, dan menetapkan kewajiban agar setiap
orang menginfakkan sebagian dari harta kekayaan di jalan yang benar,
menolong kaum fakir miskin, dan untuk melawan kezaliman serta membasmi
kedurhakaan.[26]
Zakat yang telah diwajibkan oleh Islam
merupakan cara untuk memperkokoh hubungan yang paling baik antara kaya
dan kaum fakir miskin. Islam tidak hanya membebani kewajiban atas
individu terhadap masyarakatnya, tetapi juga membebani atas masyarakat
kewajiban terhadap individu dengan kewajiban para pemegang kekuasaan
supaya memelihara, mendidik, melindungi keselamatan jiwa, harta benda
dan kehormatannya, serta apa saja yang menjadi miliknya.[27]
Sebagai makhluk Allah swt. manusia
memiliki kemampuan yang berbeda satu sama lainnya. Kesabaran ditujukan
Tuhan kepada si miskin, sedang kesyukuran dan kedermawanan ditujukan
kepada si kaya.[28]
Harta menurut pengertian Islam ialah
amanat yang harus disalurkan sesuai dengan petunjuk Allah swt. karena
itu, harta dalam Islam berfungsi sosial dan tidak boleh bermewah-mewah
berlebihan yang dimilikinya.[29]
Dengan menunjukkan solidaritas di bidang
sosial, maka hubungan yang tadinya putus dapat di sambung kembali
karena telah terjelma adanya tenggang rasa. Meskipun nilainya tidak
seberapa, akan tetapi secara kejiwaan seakan-akan mereka juga
diperhatikan. Bila perasaan telah terjalin, maka terjadilah apa yang
disebut mawaddah fil qurba (jembatan rasa). Hal tersebut akan
menghilangkan dugaan-dugaan dan perasan yang tidak enak antara satu sama
lainnya hingga sulit melakukan komunikasi.[30]
Islam senantiasa mencita-citakan rumah
tangga yang aman dan tenteram, masyarakat yang kasih sayang, serta
negara yang paripurna. Kehidupan semacam itu dapat tercapai, bila satu
sama lain dapat melakukan hubungan yang harmonis, bantu membantu sesuai
kemampuan yang dimilikinya.[31]
Tidak semua orang miskin berkeinginan
agar harta orang kaya itu dibagi rata, tetapi yang ditekankan adalah
menjalin perasaan sesama makhluk Allah. Jadi bukan besar kecilnya harta,
akan tetapi nilai kasih sayang.[32]
Sebagai dasar perlunya perlindungan
sosial dalam menanggulangi kemiskinan tersebut, dapat dipahami firman
Allah swt. dalam QS. An-Nur (24) 22.
Terjemahnya:
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak)
akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah …[33]
Dengan demikian dapat dipahami
perlindungan sosial dalam Islam merupakan suatu hal yang harus
diterapkan, yakni bagi mereka yang mampu termasuk hartawan dan
sebagainya hendaknya memberi bantuan kepada kaum fakir miskin, agar
terhindari dari kemelaratan, kesengsaraan, penderitaan dan sebagainya,
agar tercipta kasih sayang, masyarakat yang aman, tentram dan bahagia.
[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 524.
[2]Nasaruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989), h. 59.
[3]Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics Theory and Practice, diterjemahkan oleh Drs. Nastangin dengan judul Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993), h.19.
[4]Lihat Ibid.
[5]Lihat Ibid., h. 20.
[6]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 122.
[7]Lihat Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1974), h. 25.
[8]Lihat Ibid.
[9]Lihat Muhammad Abdul Mannan, op.cit., h. 22.
[10]Departemen Agama RI, op.cit., h. 41.
[11]Makanan yang haram dimaksudkan di sini adalah makanan yang haram
yang telah ditetapkan oleh syariat Islam, seperti babi, dan sebagainya,
dan makanan yang mengandung mudarat bagi yang memakannya. Jelasnya lihat
Al-Maraghi, Juz II, op.cit., h. 76,
[12]Lihat Muhammad Abdul Mannan. loc.cit.
[13]Departemen Agama RI, op.cit., h. 700.
[14]Lihat Muhammad Abdul Mannan, op.cit., h. 23.
[15]Departemen Agama RI, op.cit., h. 835.
[16]Shalah Abdul Qadir al-Bakriy, Al-Qur’an Wabina al-Insan, diterjemahkan ole Abu Laila dan Muhammad Tohir dengan judul Al-Qur’an dan Pembinaan Insan (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), h. 128.
[17]Lihat Ibid.
[18]Lihat Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 26.
[19]Lihat Ibid., h. 27.
[20]Lihat Ibid.
[21]Ibid.
[22]Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993),
[23]Lihat Ibid.
[24]Lihat Ibid., h. 63.
[25]Lihat Ibid., h. 64.
[26]Ibid.
[27]Lihat Imam Munawwar, Mengapa Umat Islam Dilanda Perpecahan (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), h. 238.
[28]Ibid.
[29]Ibid.
[30]Lihat Ibid.
[31]Lihat Ibid., h. 239.
[32]Lihat Ibid.
[33]Departemen Agama RI, op.cit., h. 546.
No comments:
Post a Comment