OLEH : AHMAD SHOLIHIN
A. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani dari kata poly atau polus yang berarti banyak, dan gamein atau gamos
yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa poligami berarti
”suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan lebih dari
seorang”.[1]
Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat kita sekarang
ini,poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita.
Poligami biasa dibagi atas tiga yakni poliandri, poligini dan group marriage (group family).[2] Poliandri berasal dari bahasa Yunani Polus=banyak, aner=negative, dan andros=laki-laki.[3] Jadi, poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari satu orang laki-laki, sedangkan poligini berasal dari kata polus=banyak dan gune=perempuan. Jadi poligini adalah seorang laki-laki yang mengambil lebih dari seorang perempuan.[4] Polandri tidak lazim dibicarakan oleh para pakar perkawinan yang lebih banyak diperbincangkan adalah poligini. Sedangkan group marriage atau group family merupakan gabungan dari poligini dengan poliandri, misalnya dalam satu rumah ada lima laki-laki dan lima wanita, kemudian bercampur secara bergantian .[5]
Pembagian poligami tersebut diatas
adalah ditinjau dari segi antropologi sosial yang ada dalam
perkembangannya istilah jarang sekali digunakan bahkan bisa dikatakan
istilah tersebut tidak dipakai lagi dikalangan masyarakat, kecuali
dikalangan antropologi saja, sehingga istilah poligami secara langsung
menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara
seorang laki-laki dengan beberapa perempuan disebut dengan poligami dan
kata ini digunakan sebagai lawan dari kata polyandry.[6]
Pada masa ini sudah jarang terjadi
pelaksanaan polyandri secara terang-terangan sepengetahuan suami, maka
untuk sekarang ini poligami bisa sebagai lawan kata polyandri dan juga
sebagai lawan kata monogami, dalam hal poligami seorang laki-laki
memiliki beberapa istri, mungkin dua, tiga atau empat orang istri,
bahkan ada pula yang
memiliki dari itu sampai puluhan orang, menurut Syari’at islam seorang
laki-laki merdeka dapat melakukan poligami terbatas maksimal empat orang
istri tidak boleh dari itu.[7] Bahkan saat sekarang ini beberapa Negara, misalnya Turki dan Amerika Serikat juga beberapa Negara Eropa dan Asia, dengan berbagai pertimbangan melarang poligami atau beristri lebih dari satu istri.
B. Penyebab dan Alasan Poligami.
Seperti kita ketahui bahwa Islam
bukanlah agama yang mula-mula mengajarkan poligami. Sewaktu Islam
datang, poligami sudah umum dilakukan orang, bahkan poligami kala itu
merupakan poligami dalam bentuknya yang mutlak tanpa batas. Kemudian
islam mencari sintesa atau jalan tengah,yaitu suatu pandangan yang tidak
berlebih-lebihan dan tidak pula melampaui batas. Islam tidak membiarkan
poligami dalam bentuk yang mutlak, juga tidak membuangnya sama sekali
akan tetapi membatasinya baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif sehingga poligami dengan segala ketentuannya dapat menjadi
rahmat kepada setiap manusia.
Akan tetapi islam tetap memandang
poligami lebih banyak membawa resiko atau mudharat dari pada manfaatnya
karena manusia menurut fitrahnya (Humas Nature)
mempunyai watak cemburu, irihati dan suka mengeluh. Watak tersebut akan
mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga
yang poligami. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik
dalam kehidupan keluarga baik antara suami dengan istri-istrinya ,
anak-anak dari istrinya maupun antara istri dengan anaknya
masing-masing.[8]
Karena itu, hukum asal dalam perkawinan
menurut islam adalah monogami, sebab dengan monogamy akan mudah
menetralisasi sifat cemburu, irihati dan suka mengeluh, dalam kehidupan
poligami orang akan mudah terangsang timbulnya perasaan cemburu dan suka
mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan
keluarga dan juga dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Olehnya itu
poligami hanya dibolehkan dalam keadaan darurat.
Sungguh pun demikian Islam membatasi dan
tidak melarang poligami disebabkan karena larangan poligami akan
menimbulkan dampak yang cukup batal terhadap kaum wanita. Kehidupan
rumah tangga dan masyarakat yang sulit diatasi , satu-satunya cara yang
dapat dilakukan a dalah memperkecil dampak negatif, dengan memberikan
berbagai ketentuan.
Dan etika dalam islam yang berkaitan dengan poligami .dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Qs.Al-Baqarah (2) :185
Terjemahnya
…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…[9]
Dari ayat di atas diketahui bahwa allah
tidak akan melarang sesuatu yang diperlukan dalam keadaan terpaksa atau
sesuatu yang menarik kemaslahatan khusus. Allah tidak akan melarang
sesuartu yang merupakn kebutuhan alamiah manusia dan sesuatu memberikan
kesempurnaan akhlak.
Memang tidak diragukan bahwa tidak ada
seorang wanitapun rela mengerahkan suaminya untuk dimiliki oleh wanita
lain dan berpendapat bahwa perkawinan dengan banyak istri merupakan
penyebab timbulnya kecemburuan. Namun terkadang memang ada beberapa
kondisi/sebab yang dialami seseorang yang terkait dengan kemaslahatan
rumah tangganya, sehingga poligami bagi dirinya tidak bisa diefekkan
lagi.
Adapun sebab-sebab poligami adalah sebagai berikut:
a. Beberapa sebab yang ada pada kaum
wanita itu sendiri, misalnya sakit keras yang menyebabkan dirinya tidak
mampu memenuhi kewajibannya atau ia mengidap penyakit kronis, atau
mandul sehingga menghilangkan sifat keibuannya atau lemah nafsu seks,
panjang masa haid dan nifasnya, atau ia nusyuz terhadap suaminya atau
hal lain yang serupa yang membuat seorang suami tidak dapat bercumbu
rayu lebih banyak atau hal lain yang mengurangi keintiman keluarga.
Namun, suami rela menerima segalanya dan merasa keberatan bila
menceraikannya, hal demikian dimaksudkan untuk menjaga istrinya dari
kehinaan dan ketersia-siaan.
b. Sebab-sebab yang ada pada laki-laki
itu sendiri, misalnya seorang yang mempunyai kemauan seksual yang sangat
tinggi sehingga tidak cukup hanya seorang saja, atau ia seorang yang
mempunyai keinginan yang sangat besar untuk memperbanyak keturunan dan
ia sanggup dan mampu memenuhi kebutuhan dan pendidikan mereka.
Berkaitan dengan faktor seksual dan diperkenankannya poligami imam Ghazali berpendapat:
“Dari sifat laki-laki ada yang terlalu
kuat syahwatnya, tidak cukup baginya seorang isteri. Dikala itu baik
sekali bagi laki-laki tadi beristeri lebih dari satu, bahkan sampai
empat. Tetapi itu kalau kiranya Allah mencukupkan rasa cinta dan kasih
sayang dalam hatinya serta tentram jiwa terhadap mereka.”[10]
c. Sebab-sebab yang bersifat
sosial,seperti keadaan yang menyebabkan bertambahnya kaum wanita
dibanding kaum pria, serta pertambahan yang tidak berimbang antara
keduanya, misalnya adanya pertempuran/perang yang membinasakan banyak
pria dan terdapat suatu interfensi terhadap suatu daerah yang
penghuninya lebih banyak lelaki dibanding kaum wanitanya. Ditambah lagi
menghadang kesulitan perjuangan hidup yang meminta korban nyawa,
teruatam di lapisan yang melakukan pekerjaan diantara besi dan api,
didasar lautan, ditengah-tengah ombak dan gelombang serta pekerjaan lain
yang banyak menimbulkan resiko korban jiwa bagi laki-laki.
Berdasarkan hal tersebut sehingga dapat
disimpulkan bahwa poligami pada dasarnya merupakan kodrati yang dimiliki
oleh lelaki yang keberadaannya sudah ada sejak peradaban manusia
sendiri.[11]
d. Adanya peristiwa yang bersifat
umum berkaitan dengan masalah Ukhuwah Islamiyah yang mempunyai nilai
universal.misalnya ada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya
dengan meninggalnya banyak anak, kemudian dengan pertimbangan sosial dan
melihat kondisi dalam mendidik anak yang perlu tegur seoarng anyah atau
kondisi keuangan yang tidak cukup hanya dengan cara dibantu secara
cuma-cuma.[12]
e. Adanya sebab seperti keadaan
yang membuat seorang hidup merantau karena pekerjaannya. Dan seringkali
dai harus tinggal beberapa lama didaerah lain., sedangkan ia tidak mampu
untuk membawa anak isterinya ketika bertugas atau pergi dan ia khawatir
sesuatu yang dilarang agama.
Dengan melihat keadaan dan
kondisi-kondisi tersebut, maka tidak ada jalan bagi suami untuk tidak
melakukan poligami agar terhindar dari hal-hal yang bisa menjerumuskan
atau menyalahi segala ketentuan-ketentuan agama, adat dan peraturan
perundang-undangan. Meskipun perkawinan pada dasarnya adalah monogamy
tapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut
hukum-hukum dan agamanya mengizinjkan seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
Poligami saat ini masih menjadi
pembicaraan hangat disemua kalangan masyarakat dan sempat pul
menghebohkan saat yang menjadi subyek dalam kasus poligami tersebut
adalah seorang dai kondang “K.H Abd. Gymnstiar”. Apalagi dengan
gencarnya gerakan feminisme yang mengopinikan bahwa masalah tersebut
sebagai bentuk deskriminasi terhadap kaum perempuan. Padahal Islam telah
mengatur masalah poligami ini dengan rinci dan tegas, sebagaimana yang
termaktub dalam firman allah QS. An-Nisa (4):3
Terjemahnya
Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya, maka maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi
dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka kawinilah seorang saja…[13]
Kaum femenis radikal memandang bahwa
kebolehan poligami merupakan deklarasi pemindasan laki-laki atas
perempuan yang tiada akhir. Mereka memudah agama islam yang membolehkan
poligami telah bertindak bias gender. Pandangan seperti ini seakan-akan
memperoleh legitimasi dengan adanya praktek-praktek poligami ditengah
masyarakt kita yang tidak sesuai dengan tuntunan islam. Ditambah lagi
dengan citra negative ibu tiri, isteri muda, baik melalui film-film
maupun cerita –cerita rakyat.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, ada
pula yang berpendapat bahwa dilarangnya poligami justru menjadi pemilu
dan cenderung melegitimisikan prostitusi seorang jamah berkomentar: “
Dari pada zina, lebih baik menikah lagi, dong!“.[14]
Dan menurut cermat penulis sendiri, kenapa harus zina, kenapa harus
menikah lagi? Kedua persoalan tersebut tidak tepat jika poligami dan
zina yang menjadi solisinya. Yang perlu digali bagaimana ilmu mengatasi
persoalan keluarga dan persoalan seks tersebut.
Seorang wanita dengan sifat-sifat
kewanitaannya banyak dipengaruhi oleh perassan daripda pertimbangan
rasio sehingga bela ditanyakan mengapa seorang wanita begitu tertarik
pada seorang laki-laki sulit sekali dicari sebab-sebab dan motivasinya,
kecuali faktor-faktor kejiwaan yang tumbuh dari sifat-sifat kewanitaan
itu, antara lain: karena kekayaan laki-laki itu, pertimbangan keturunan
atau status sosial, pertimbangan kegagalan dan perkembangan agama.
Poligami telah dilakukan orang sebagai
suatu turun temurun, maka islam pun mengatur langkah-langkah dalam
pelaksanaannya, sehingga dengan demikian akan dapat dibedakan nafsu
jahiliyah yang tidak terikat dengan faedah dan manfaat yang bisa diambil
darinya. Begitu pula di Indonesia langkah-langkah untuk melakukan
poligami telah diatur dalam KHI dan beberapa peraturan
perundang-undangan, agar seorang sulami tidak seenaknya melakukan
poligami.Al-Qu’an membolehkannya,tapi kebolehan poligami sebenarnya
merupakan rukshah atau keringanan untuk keadaan-keadaan tertentu saja,
sebagaiamana yang dipaparkan oleh Yusut Qardhawi bahwa salah satu contoh
keadaan dimana poligami diperbolehkan,yaitu:
“ Ada manusia yang kuat keinginannya
untuk mempunyai keturunan, akan tetapi ia dikaruniai rezeki isteri yang
tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Apakah tidak
lebih mulia bagi seorang isteri dan lebih utama bagi suami untuk menikah
lagi dengan orang yang disenangi untuk memperoleh keinginan tersebut
dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-haknya”.[15]
Perkawinan pada asasnya adalah monogami
tapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut
hukum dan agamanya mengizinkan seorang suami boleh beristeri lebih dari
seorang. Tentang pengecualian tersebut, dalan undang-undang perkawinan
memberi pembatas yang cukup berat, yakni berupa suatu pemenuhan syarat
dengan suatu alasan tertentu dan izin pengadilan seperti dinyatakan
dalam pasal 3 dan 5 undang-undang perkawinan.
Adapun alasan yang dapat memungkinkan
seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang , dalam undang-undang
perkawinan disebutkan sebagai berikut:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[16]
Maka boleh dikatakan bahwa masalah
poligami inilah salah satu sebab yang mendorong untuk diciptakannya
undang-undang perkawinan diantara sebab-sebab yang lain. Dalam
undang-undang perkawinan dicantumkan suatu asas yaitu asas monogamy yang
hanya membolehkan suami mempunyai satu isteri pada jangka waktu
tertentu,[17]
dengan tujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah sesuai
yang termaktub dalam perundang-undangan dan kompilasi hukum Islam.
C. Syarat-Syarat poligami
Seperti kita ketahui, Islam bukanlah
agama yang mula-mula membolehkan perkawinan poligami, sewaktu Islam
datang poligami sudah umum dilakukan orang bahkan poligami kala itu
merupakan poligami dalam bentuk yang mutlak tanpa terbatas, kemudian
Islam mencari sintesa atau jalan tengah yaitu suatu pandangan yang
tidak berlebihan dan tidak melampaui batas, Islam tidak membiarkan
poligami dalam bentuknya yang mutlak juga tidak menutup jalannya sama
sekali, akan tetapi islam membatasinya baik secara kuantitatif sehingga
poligami dengan segala ketentuannya dapat menjadi rahmat bagi setiap
orang dan dapat menjamin keutuhan rumah tangga dan masyarakat.[18] Oleh karena itu ada beberapa syarat yang harus ditunaikan bagi orang yang berpoligami yaitu:
1. Dapat berlaku adil
Ketentuan berlaku adil oleh Allah SWT., dalam firmanNya QS. An-Nisa (4): 3 yang berbunyi
Terjemahnya:
… jika kamu takut untuk tidak dapat berlaku adil maka satu saja…[19]
Berdasarkan ayat tersebut, dijelaskan
bahwa barang siapa yang takut tidak akan dapat berlaku adil maka
hendaklah ia kawin dengan seorang wanita saja. Dan barang siapa yang
percaya bahwa dirinya akan mampu mewujudkan keadilan, maka boleh baginya
untuk melakukan poligami.
2. Mampu memberikan nafkah kepada
isteri-isteri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggungannya
sesuai dengan kebiasaaan masyarakat.
3. Mampu memelihara isteri-isteri dan
anak-anaknya dengan baik. Sebagaimana Allah SWT., berfirman dalam QS.
At-Tahrim (66): 6 yang berbunyi:
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …[20]
Dalam konteks perundang-undangan di
Indonesia, sebagaimana ditetapkan bahwa syarat-syarat yang harus
dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah:
1. Adanya persetujuan isteri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.[21]
Dengan melihat beberapa syarat poligami
tersebut, baik itu syarat dalam konteks Islam maupun dalam undang-undang
yang berlaku di Indonesia, ada semacam usaha agar aktivitas poligami
ini diperketat atau dipersempit pada ruang geraknya. Sehingga bagi suami
yang ingin beristeri lebih dari satu perlu memperhatikan hal-hal yang
prinsipil dalam mewujudkan suatu perkawinan yang langgeng. Selanjutnya
eksistensi dari syarat-syarat poligami tersebut memberikan suatu
indikasi bahwa sesungguhnya poligami bukanlah hal yang sangat mudah
untuk dilakukan, tetapi memerlukan keseriusan dari masing- masing pihak
yang sifat dominannya diperuntukkan kepada kaum laki-laki sebagai pihak
yang mengajukan permohonan dan tidak kalah pentingnya karena posisinya
sebagai suami merupakan pengendali utama dalam rumah tangga.
D. Prosedur Pelaksanaan Poligami
Mengenai persyaratan
untuk berpoligami bagi seorang pria menurut pasal 3 ayat 2 undang-undang
perkawinan adalah harus ada izin dari pengadilan bila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, hukum dalam hal ini penjelasan yang diterangkan
Al-Qur’an dan perundang-undangan yang berlaku ada titik persamaan baik
penjelasan maupun tujuannya.
Menyangkut prosedur pelaksanakan poligami aturannya dapat dilihat di dalam PP No. 9 tahun 1975 pada pasal 40 dinyatakan bahwa:
Apabila seorang suami bermaksud untuk
beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada pengadilan .
Sedangkan mengenai tugas pengadilan diatur di dalam pasal 41 PP No. 9 tahun 1975 sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
-. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
-. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
-. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari
isteri , baik persetujuan lisan maupun secara tertulis, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, maka persetujuan itu harus
diucapkan di depan siding pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, dengan memperhatikan:
I. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara setempat; atau
II. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
III. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka
dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang
ditetapkan untuk itu.[22]
Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan
keharusan pengadilan memanggil para isteri untuk memberikan penjelasan
atau kesaksian. Di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan
diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah
diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratannya.
Apabila diperhatikan Aturan-aturan
tersebut, pada prinsipnya mengacu kepada esensi perkawinan yaitu untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
keTuhanan yang Maha Esa atau dalam rumusan kompilasi hukum Islam, Bab II
pasal 3 bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Adapun perkawinan yang
dilakukan dengan isteri kedua, tiga atau empat tanpa izin dari
pengadilan agama, maka tidak mempunyai kekuatan hukum.[23]
Sehingga izin pengadilan agama tampaknya menjadi sangat menentukan,
sehingga di dalam perundang-undangan dan kompilasi hukum Islam
dijelaskan bahwa pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan
pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang sebelum adanya izin dari pengadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas
bahwa seorang suami yang melakukan perkawinandengan isteri kedua, tiga
atau empat adalah tidak mempunyai kekuatan hukum jika tidak mendapat
izin dari pengadilan. Dalam hal perkawinan yang tidak disetujui oleh
isteri pertama adalah sah apabila Karena suatu lain hal si isteri atau
isteri-isteri tidak mungkin dimintai persetujuannya atau tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam hukum Islam
Bab IX pasal 58 ayat (3) berbunyi: persetujuan dimaksud pada ayat (1)
huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau
isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari
isteri-isterinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain
yang perlu mendapat penilaian hakim. Dalam kompilasi hukum Islam pada
pasal 56 dijelaskan sebagai berikut:
1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2) Pengajuan permohonan izin
dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur
dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.[24]
Dalam hal isteri tidak mau memberikan
persetujuannya, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari seorang
berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam kompilasi hukum
Islam pasal 55 dan 57, Pengadilan Agama menerapkan pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi. Apabila keputusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, izin Pengadilan tidak diperoleh, maka menurut
keputusan pasal 44 PP No. 9 tahun 1975, pegawai pencatat nikah dilarang
untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud
dalam pasal 43 PP N0. 9 tahun 1975. Ketentuan hukum yang mengatur
tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat
semua pihak, pihak yang melangsungkan poligami dan pegawai pencatat
perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
pasal-pasal di atas dikenakan sanksi pidananya.
Dalam operasionalnya, pengaturan
ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak
yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan izin
isteri atau isteri-isteri, dimaksudkan untuk dapat merealisasikan
kemaslahatan yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan yang
diridhai Allah SWT., dan didasarkan pada cinta dan kasih sayang
(mawaddah warahmah). Pada akhirnya baik menurut hukum Islam maupun
menurut Undang-undang perkawinan, menerangkan bahwa pelaksanaan poligami
adalah merupakan tindakan yang hanya diperbolehkan bagi seorang pria
yang betul-betul memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi.
[1] Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I (Cet.III ; Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 107
[2] Suaramuslim.net, 21 mei 2007.
[3] Hasan Shadily, Ensiklopedi Nasional (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1984), h. 2376
[4] Ibid
[5] Suaramuslim.net, op. cit.
[6] Lihat Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam ( Cet.I; Surabaya: Usaha Nasional, t.th.), h.13.
[7] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Pebandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Muslim (Cet.II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 80.
[8] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. Ed. I ( Cet II; Jakarta : Kencana, 2006), h. 131
[9] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT Tanjung Mas Inti, 1992), h. 45.
[10] Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah ( Cet.I ; Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 60.
[11] Ibid., h. 62.
[12] Anshorie Fahmie. Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? ( Cet. I; Bandung: Pustaka IIman, 2007),h. 66.
[13] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya ( Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), h. 115
[14] Anshorie Fahmie, op. cit., h.51.
[15] Lihat Yusuf Qardhawi” Poligami dalam Islam” dalam Anshorie Fahmie, ibid., h. 177
[16] Undang-Undang Perkawinan ( Cet.I; Bandung: Fokus Media, 2005), h. 2
[17] Musda Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Lembaga Kajian Agama dan Gender, solidaritas Perempuan ( Cet.I; Jakarta: He Asia Foundation, 1999), h.2
[18] Abdul Tawab Haikal, Poligami dalam Islam dan Monogami Barat (Cet.I;Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 56
[19] Departemen Agama RI. op. cit., h. 115
[20] Ibid., h.951
[21] AmiurNuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet.II; Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 164.
[22] Undang-Undang Perkawinan, op. cit., h. 46-47.
[23] Ahmad Rofiq, Hukum Islam diIndonesia ( Cet. VI; Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 173.
[24] Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
No comments:
Post a Comment