BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam dunia zaman modern seperti ini kita
sering dihadapkan dengan masalah-masalah yang kerap menodai agama
dengan pergaulan yang tanpa dibatasi dengan aturan atas hukum yang
mengikat kepada penganut agama. Sehingga menjadi sebuah keprihatinan
bagi kita umat yang beragama Islam dengan kebiasaan orang yang tidak
peduli dengan aturan yang dalam hal ini menurutnya sebagai penghalang
atas apa yang ingin dilakukan atau dengan kata lain untuk menuruti
keinginan hawa nafsunya.
Padahal agama sama sekali tidak melarang
hambanya untuk melakukan sesuatu yang jika hal itu tidak akan merusak
atau menjadi mudharat bagi yang membangkang. Betapa banyak orang-orang
yang melakukan hubungan seks secara bebas terjangkit hubungan seks
secara bebas terjangkit oleh penyakit yang mematikan, adakah renungan
tentang semua itu, itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang
yang berakal
Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas maka penulis menarik beberapa rumusan masalah.
1) Apa yang dimaksud dengan zina?
2) Bagaimana hukuman zina?
BAB II
PEMBAHASAN
Zina
Zina adalah persentuhan dua alat kelamin
dari jenis yang berbeda dan yang tidak terikat oleh akad nikah atau
kepemilikan dan tidak juga disebabkan oleh syubhat (kesamaran).
An Nur ayat 2
Artinya :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali
dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Ayat di atas menyebutkan yaitu
perempuan pezina yang gadis dan laki-laki pezina yang masih jejaka,
yakni yang keduanya pernah menikah, maka cambuklah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali cambukan, jika kesalahan terbukti sesuai
dengan syarat-syaratnya. Laksanakanlah ketentuan ini dengan
sungguh-sungguh dan janganlah kamu dicegah oleh belas kasih yang
melimpah kepada keduanya dalam menjatuhkan ketetapan agama Allah
sehingga kamu mengabaikan ketentuan ini. Jika kamu beriman kepada Allah
dan hari akhirat, pasti kamu melaksanakan ketentuan ini karena
konsekuensi keimanan adalah melaksanakan ketetapan Allah dan hendaklah
pelaksanaan hukuman mereka berdua disaksikan oleh sekumpulan, yakni
sedikitnya tiga atau empat dari orang-orang munkar agar hukuman itu menjadi pelajaran bagi semua pihak yang melihat dan mendengarnya.
Ayat tersebut menggunakan kata az-zaini
dan az-zaniyah yakni menggunakan patron kata yang mengandung makna
kemantapan kelakukan itu pada yang bersangkutan. Tentu saja kemantapan
tersebut, tidak mereka peroleh kecuali setelah berzina berulang-ulang
tersebut, tidak mereka peroleh kecuali setelah berzina berulang-ulang
kali. Nah, apakah jika demikian, seorang baru dijatuhi hukuman yang
disebut ayat ini, bila ia berulang-ulang melakukan perzinahan? Mayoritas
ulama berpendapat tidak, yakni siapa pun yang ditemukan berzina atau
mengaku berzina, dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
agama-walau baru sekali-maka ia dijatuhi hukuman tersebut. Nah, jika
demikian, mengapa ayat di atas menggunakan patron kata tersebut? Ketika
menafsirkan Q.S al Maidah (5) : 38 yang menggunakan patron yang sama
untuk menunjuk pria dan wanita yang mencuri (pencuri), penulis antara
lain mengemukakan bahwa jawaban pertanyaan di atas antara lain ditemukan
dalam memahami sifat Allah al-Ghaffar yakni Yang Maha Pengampun. Imam
Ghazali menjelaskan bahwa al Ghaffar adalah yang menampakkan keindahan
dan menutupi keburukan. Dosa-dosa tulisnya adalah bagian dari sejumlah
keburukan yang ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia
serta mengenyampingkan siksanya di akhirat.
Nah, atas dasar itu kita dapat berkata
“seorang pencuri yang tertangkap, sebenarnya telah berulang-ulang
melakukan pencurian”. Tetapi selama ini Allah yang Ghaffar tela
berulang-ulang menutupi kesalahannya, sehingga tidak diketahui orang.
Tetapi karena ia tidak menghentikan pencurian, maka Allah tidak lagi
menutupi kesalahannya, dan ketika itu si pencuri tertangkap. Orang lain
yang tidak mengetahui bahwa Allah selama ini menutup kesalahan yang
bersangkutan menduga bahwa ia baru sekali mencuri tetap pada hakikatnya
telah berulang-ulang kali dan dari sini ayat di atas menamai mereka
pencuri. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa ada seseorang tertangkap
basah mencuri tetapi bersumpah berkali-kali bahwa baru kali itu dia
mencuri. Sayyidina Ali tetap memerintahkan memotong tangannya, sambi
menyatakan Allah tidak mempermalukan seseorang yang baru sekali
melakukan dosa. Setelah sanksi hukum dilaksanakan, beliau menggugah hati
si pencuri dan bertanya kepadanya “telah berapa kali engkau mencuri? Si
pencuri menjawab; telah berkali-kali’ nah, demikian juga halnya dengan
perempuan pezina dan laki-laki pezina.
Kata jaldah teramil dari kata jild yakni
kulit. Sementara ulama antara lain az-Zamakhsyari dan al Biqa’i
memperoleh kesan dari penggunaan kata tersebut bahwa pencambukan yang
dilakukan ketika menjatuhkan hukuman, hendaknya tidak terlalu keras
sehingga tidak menyakitkan dan tidak sampai ke daging. Dari sini pula
sehingga kata ru’fah yang digunakan di sini, bukan rahmah/rahmat. Karena
ra’fah adalah belas kasih yang mendalam melebihi rahmat. Dan dengan
demikian ayat ini tidak melarang rahmat dan kasih sayang kepada yang
dicambuk selama rahmat itu tidak mengakibatkan diabaikannya hukuman.
Mufassir al-Biqa’i, ketika menafsirkan
QS. Al Baqarah (2); 143 menjelaskan bahwa ra’fah adalah rahmat yang
dianugerahkan kepada yang menghubungkan diri dengan Allah melalui amal
saleh, karena tulisnya mengutip pendapat al Harrali, ra’fah adalah kasih
sayang pengasih kepada siapa yang memiliki hubungan dengannya.
Dengan memahami makna ra’fah dalam
pengertian di atas, dapat dipahami larangan-nya untuk tidak menghalangi
jatuhnya sanksi terhadap pezina pria dan wanita yang memiliki hubungan
dengan seseorang atas dasar ra’fah, tetapi-seperti dikemukakan di
atas-tidak melarang rahmah dan belas kasihan terhadapnya.
Memang, terjalinnya hubungan terhadap
yang dikasihi itu, dalam penggunaan kata ra’fah, membedakan kata ini
dengan rahmah. Karena rahmah digunakan untuk mengambarkan tercurahkan
kasih, baik terhadap siapa yang memiliki hubungan dengan pengasih,
maupun yang tidak memiliki hubungan dengannya.
Di sisi lain, ra’fah menggambarkan
sekaligus menekankan melimpahruahnya anugerah, karena yang ditekankan
pada ra’fah adalah pelaku yang amat kasih, sehingga melimpah-ruah
kasihnya. Sedang yang ditekankan pada pelaku yang dinamai rahim adalah
penerima. Karena itu pula, ra’fah selalu melimpah ruah bahkan melebihi
kebutuhan. Sedang rahmah, sesuai dengan kebutuhan. Ini sekali lagi
berarti, bahwa terhadap para pezina itu, rahmat harus tetap tercurah dan
yang dilarang hanya rahmat yang berlebihan, yang mengakibatkan batal
atau terabaikan atau berkurangnya hukuman. Dalam satu riwayat dinyatakan
bahwa sahabat Nabi saw Abu ad-Darda, menangis tersedu-sedu ketika
pasukan Islam berhasil menaklukkan. Cyprus dan beberapa tawanan yang
sangat anti Islam lagi berbahaya dijatuhi hukuman mati. Anggota pasukan
ketika itu berkata kepadanya “bukankah hari ini adalah hari gembira
dengan keberhasilan kita?’ sahabat Nabi itu menjawab ‘anda benar, tetapi
saya menangis sedih karena kasihan kepada manusia-manusia durhaka itu
yang terpaksa harus dibunuh”.
Cara Pelaksanaan Hukum
Sumber hukum yang pertama dalam Islam
ialah al-Qur’an. Dengan demikian sudahlah ada patokan hukum dengan
adanya 2 pada surat An nur ini. Tetapi belumlah cukup berpegang pada
bunyi ayat saja, melainkan hendaklah diperhatikan pula betapa caranya
rasul Allah melaksanakan hukum.
Sebab itu maka ‘sunnah Rasulullah”
adalah sumber hukum yang kedua. Menurut rasul Allah saw; yang melakukan
zina itu dibagi atas dua tingkat, yaitu yang mendapat hukum sangat berat
dan yang dijatuhi hukuman berat yang mendapat hukum sangat berat ialah
orang muhshan.
Arti aslinya ialah orang-orang yang
terbenteng, orang-orang yang tidak patut berzina, karena hidupnya
berbenteng oleh pandangan masyarakat, sehingga pandangan umum sudah
menganggap dia tidaklah patut berbuat demikian. Yaitu keduanya itu telah
cukup umur (baligh) dan berakal (aqil) lagi merdeka, lagi Islam dan
laki-lakinya ada isteri, dan perempuannya ada bersuami, berhubungkan
‘keberatan’ atau tidaknya suaminya atau istimewa atau isterinya yang sah
itu, hukumannya ialah rajam, yaitu diikat dan dibawah ke tengah
kumpulan orang ramai kaum muslimin, lalu dilemari dengan batu sampai
mati.
Meskipun pelemparan dengan batu itu
tidak tersebut dalam ayat, dia menjadi hujjah (alasan), karena
demikianlah telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan menjalankan hukum
ini diterima dan perawi-perawi yang dapat dipercaya, yaitu Abu Bakar,
Umar, Ali Jahir bin Abdullah, Abu Said al Khudari, Abu Hurairah, Zayid
bin Khalid Buraidah Al Aslami. Semuanya sahabat-sahabat yang besar-besar
dan ternama.
Hukuman ini pernah dilakukan oleh rasul
Allah saw kepada seorang sahabat yang bernama Ma’iz, yang datang sendiri
mengakui terus terang kepada Nabi bahwa dia telah bersalah berbuat
zina. Dia sendiri yang minta dihukum. Berkali-kali Nabi saw mencoba
meringankan soal ini, sehingga beliau berkata; ‘mungkin baru engkau
pegang-pegang saja, mungkin tidak sampai engkau setubuhi, dan
sebagainya, tetapi Ma’iz berkata juga terus-terang bahwa dia memang
telah berzina, bahwa dia memang telah melanggar larangan Tuhan, dan
belumlah dia merasa ringan dari pukulan dan pukulan batin sebelum dia
dihukum. Maka atas permintaannya sendirilah dia dirajam, sampai mati.
Kejadian itu pula hal demikian pada dua
orang wanita, seorang dari suku Bani Lukham dan seorang lagi dari
persukuan Bani Ghamid, datang pula mengaku dihadapan Nabi bahwa mereka
telah terlanjur berzina. Seorang di antaranya sedang hamil dari
perzinahan itu. Sebagai Ma’iz kedua perempuan itu rupanya merasa tekanan
batin yang amat sangat sebelum hukuman itu dijalankan atas diri mereka,
sehingga dijalankan pula hukuman rajam itu, hukum tersebut baru
dijalankan setelah anaknya lahir dan besar, lepas dari menyusui. Itu pun
perempuan itu sendiri juga yang datang melaporkan diri.
Adapun perempuan dan laki-laki yang
tidak muhshan, misalnya perempuan yang tidak atau belum bersuami dan
laki-laki yang tidak atau belum beristeri, dilakukan hukuman sebagai
tersebut dalam ayat tadi, yaitu dipukul cambuk, atau dengan rotan 100
kali, dihadapan khayalak ramai kaum muslimin.
Itulah hukuman duniawi. Adapun dalam
perhitungan agama, zina adalah termasuk dosa yang amat besar, dan azab
siksa yang akan diterimanya di akhirat sangat besar pula. Adalah tiga
macam dosa besar yang diancam oleh siksa yang besar, yaitu pertama
mempersekutukan Tuhan Allah dengan yang lain, kedua membunuh manusia,
ketiga berbuat zina. Yang pertama menjadi dosa besar karena dia
menghancurkan hubungan dengan Tuhan, yang kedua karena menghilangkan
keamanan masyarakat, yang ketiga karena mengacaukan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
- Zina adalah segala persetubuhan diluar nikah. Asal persetubuhan itu belum atau tidak disahkan dengan nikah, atau tidak dapat disahkan dengan kedua belah pihak atau tidak suka misal pihak yang seorang memaksa atau memperkosa atas pihak lain.
- Perempuan dan laki-laki yang tidak muhshan, misalnya perempuan yang tidak atau belum bersuami dan laki-laki yang belum beristri dilakukan hukuman sebagai tersebut dalam ayat, yaitu dipukul cambuk, atau dengan rotan 100 kali, dihadapan khayalak ramai kaum muslim, dan orang atau laki dan perempuan yang terbentang. Orang-orang yang tidak patut berzina, karena hidupnya berbenteng oleh pandangan masyarakat, sehingga pandangan umum sudah menganggap dia tidak patut berbuat demikian. Yaitu keduanya baligh, berakal, lagi merdeka dan laki-lakinya beristri dan perempuannya ada bersuami dihubungkan keberatan dari suaminya atau istrinya yang sah itu. Hukumannya ialah dirajam, yaitu diikat dan dibawa ketengah kumpulan orang ramai, lalu dilempari dengan batu sampai mati.
Saran / Kritik
Penulis sepenuhnya menyadari akan
kekurangan makalah kami, dengan penuh kerendahan hati, penulis menanti
kritik/saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, Abdul Karim, Abdul Malik. Tafsir Al-Azhar, pustaka Nasional PTE LT Singapura. Jakarta. 1976.
No comments:
Post a Comment