Thursday, 30 January 2014

Makalah tentang Zina

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam dunia zaman modern seperti ini kita sering dihadapkan dengan masalah-masalah yang kerap menodai agama dengan pergaulan yang tanpa dibatasi dengan aturan atas hukum yang mengikat kepada penganut agama. Sehingga menjadi sebuah keprihatinan bagi kita umat yang beragama Islam dengan kebiasaan orang yang tidak peduli dengan aturan yang dalam hal ini menurutnya sebagai penghalang atas apa yang ingin dilakukan atau dengan kata lain untuk menuruti keinginan hawa nafsunya.
Padahal agama sama sekali tidak melarang hambanya untuk melakukan sesuatu yang jika hal itu tidak akan merusak atau menjadi mudharat bagi yang membangkang. Betapa banyak orang-orang yang melakukan hubungan seks secara bebas terjangkit hubungan seks secara bebas terjangkit oleh penyakit yang mematikan, adakah renungan tentang semua itu, itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal
Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas maka penulis menarik beberapa rumusan masalah.
1)      Apa yang dimaksud dengan zina?
2)      Bagaimana hukuman zina?

BAB II
PEMBAHASAN
Zina
Zina adalah persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda dan yang tidak terikat oleh akad nikah atau kepemilikan dan tidak juga disebabkan oleh syubhat (kesamaran).
An Nur ayat 2
Artinya :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Ayat di atas menyebutkan yaitu  perempuan pezina yang gadis dan laki-laki pezina yang masih jejaka, yakni yang keduanya pernah menikah, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan, jika kesalahan terbukti sesuai dengan syarat-syaratnya. Laksanakanlah ketentuan ini dengan sungguh-sungguh dan janganlah kamu dicegah oleh belas kasih yang melimpah kepada keduanya dalam menjatuhkan ketetapan agama Allah sehingga kamu mengabaikan ketentuan ini. Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, pasti kamu melaksanakan ketentuan ini karena konsekuensi keimanan adalah melaksanakan ketetapan Allah dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka berdua disaksikan oleh sekumpulan, yakni sedikitnya tiga atau empat dari orang-orang munkar agar hukuman itu menjadi pelajaran bagi semua pihak yang melihat dan mendengarnya.
Ayat tersebut menggunakan kata az-zaini dan az-zaniyah yakni menggunakan patron kata yang mengandung makna kemantapan kelakukan itu pada yang bersangkutan. Tentu saja kemantapan tersebut, tidak mereka peroleh kecuali setelah berzina berulang-ulang tersebut, tidak mereka peroleh kecuali setelah berzina berulang-ulang kali. Nah, apakah jika demikian, seorang baru dijatuhi hukuman yang disebut ayat ini, bila ia berulang-ulang melakukan perzinahan? Mayoritas ulama berpendapat tidak, yakni siapa pun yang ditemukan berzina atau mengaku berzina, dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan agama-walau baru sekali-maka ia dijatuhi hukuman tersebut. Nah, jika demikian, mengapa ayat di atas menggunakan patron kata tersebut? Ketika menafsirkan Q.S al Maidah (5) : 38 yang menggunakan patron yang sama untuk menunjuk pria dan wanita yang mencuri (pencuri), penulis antara lain mengemukakan bahwa jawaban pertanyaan di atas antara lain ditemukan dalam memahami sifat Allah al-Ghaffar yakni Yang Maha Pengampun. Imam Ghazali menjelaskan bahwa al Ghaffar adalah yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa-dosa tulisnya adalah bagian dari sejumlah keburukan yang ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengenyampingkan siksanya di akhirat.
Nah, atas dasar itu kita dapat berkata “seorang pencuri yang tertangkap, sebenarnya telah berulang-ulang melakukan pencurian”. Tetapi selama ini Allah yang Ghaffar tela berulang-ulang menutupi kesalahannya, sehingga tidak diketahui orang. Tetapi karena ia tidak menghentikan pencurian, maka Allah tidak lagi menutupi kesalahannya, dan ketika itu si pencuri tertangkap. Orang lain yang tidak mengetahui bahwa Allah selama ini menutup kesalahan yang bersangkutan menduga bahwa ia baru sekali mencuri tetap pada hakikatnya telah berulang-ulang kali dan dari sini ayat di atas menamai mereka pencuri. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa ada seseorang tertangkap basah mencuri tetapi bersumpah berkali-kali bahwa baru kali itu dia mencuri. Sayyidina Ali tetap memerintahkan memotong tangannya, sambi menyatakan Allah tidak mempermalukan seseorang yang baru sekali melakukan dosa. Setelah sanksi hukum dilaksanakan, beliau menggugah hati si pencuri dan bertanya kepadanya “telah berapa kali engkau mencuri? Si pencuri menjawab; telah berkali-kali’ nah, demikian juga halnya dengan perempuan pezina dan laki-laki pezina.
Kata jaldah teramil dari kata jild yakni kulit. Sementara ulama antara lain az-Zamakhsyari dan al Biqa’i memperoleh kesan dari penggunaan kata tersebut bahwa pencambukan yang dilakukan ketika menjatuhkan hukuman, hendaknya tidak terlalu keras sehingga tidak menyakitkan dan tidak sampai ke daging. Dari sini pula sehingga kata ru’fah yang digunakan di sini, bukan rahmah/rahmat. Karena ra’fah adalah belas kasih yang mendalam melebihi rahmat. Dan dengan demikian ayat ini tidak melarang rahmat dan kasih sayang kepada yang dicambuk selama rahmat itu tidak mengakibatkan diabaikannya hukuman.
Mufassir al-Biqa’i, ketika menafsirkan QS. Al Baqarah (2); 143 menjelaskan bahwa ra’fah adalah rahmat yang dianugerahkan kepada yang menghubungkan diri dengan Allah melalui amal saleh, karena tulisnya mengutip pendapat al Harrali, ra’fah adalah kasih sayang pengasih kepada siapa yang memiliki hubungan dengannya.
Dengan memahami makna ra’fah dalam pengertian di atas, dapat dipahami larangan-nya untuk tidak menghalangi jatuhnya sanksi terhadap pezina pria dan wanita yang memiliki hubungan dengan seseorang atas dasar ra’fah, tetapi-seperti dikemukakan di atas-tidak melarang rahmah dan belas kasihan terhadapnya.
Memang, terjalinnya hubungan terhadap yang dikasihi itu, dalam penggunaan kata ra’fah, membedakan kata ini dengan rahmah. Karena rahmah digunakan untuk mengambarkan tercurahkan kasih, baik terhadap siapa yang memiliki hubungan dengan pengasih, maupun yang tidak memiliki hubungan dengannya.
Di sisi lain, ra’fah menggambarkan sekaligus menekankan melimpahruahnya anugerah, karena yang ditekankan pada ra’fah adalah pelaku yang amat kasih, sehingga melimpah-ruah kasihnya. Sedang yang ditekankan pada pelaku yang dinamai rahim adalah penerima. Karena itu pula, ra’fah selalu melimpah ruah bahkan melebihi kebutuhan. Sedang rahmah, sesuai dengan kebutuhan. Ini sekali lagi berarti, bahwa terhadap para pezina itu, rahmat harus tetap tercurah dan yang dilarang hanya rahmat yang berlebihan, yang mengakibatkan batal atau terabaikan atau berkurangnya hukuman. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa sahabat Nabi saw Abu ad-Darda, menangis tersedu-sedu ketika pasukan Islam berhasil menaklukkan. Cyprus dan beberapa tawanan yang sangat anti Islam lagi berbahaya dijatuhi hukuman mati. Anggota pasukan ketika itu berkata kepadanya “bukankah hari ini adalah hari gembira dengan keberhasilan kita?’ sahabat Nabi itu menjawab ‘anda benar, tetapi saya menangis sedih karena kasihan kepada manusia-manusia durhaka itu yang terpaksa harus dibunuh”.
Cara Pelaksanaan Hukum
Sumber hukum yang pertama dalam Islam ialah al-Qur’an. Dengan demikian sudahlah ada patokan hukum dengan adanya 2 pada surat An nur ini. Tetapi belumlah cukup berpegang pada bunyi ayat saja, melainkan hendaklah diperhatikan pula betapa caranya rasul Allah melaksanakan hukum.
Sebab itu maka ‘sunnah Rasulullah” adalah sumber hukum yang kedua. Menurut rasul Allah saw; yang melakukan zina itu dibagi atas dua tingkat, yaitu yang mendapat hukum sangat berat dan yang dijatuhi hukuman berat yang mendapat hukum sangat berat ialah orang muhshan.
Arti aslinya ialah orang-orang yang terbenteng, orang-orang yang tidak patut berzina, karena hidupnya berbenteng oleh pandangan masyarakat, sehingga pandangan umum sudah menganggap dia tidaklah patut berbuat demikian. Yaitu keduanya itu telah cukup umur (baligh) dan berakal (aqil) lagi merdeka, lagi Islam dan laki-lakinya ada isteri, dan perempuannya ada bersuami, berhubungkan ‘keberatan’ atau tidaknya suaminya atau istimewa atau isterinya yang sah itu, hukumannya ialah rajam, yaitu diikat dan dibawah ke tengah kumpulan orang ramai kaum muslimin, lalu dilemari dengan batu sampai mati.
Meskipun pelemparan dengan batu itu tidak tersebut dalam ayat, dia menjadi hujjah (alasan), karena demikianlah telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan menjalankan hukum ini diterima dan perawi-perawi yang dapat dipercaya, yaitu Abu Bakar, Umar, Ali Jahir bin Abdullah, Abu Said al Khudari, Abu Hurairah, Zayid bin Khalid Buraidah Al Aslami. Semuanya sahabat-sahabat yang besar-besar dan ternama.
Hukuman ini pernah dilakukan oleh rasul Allah saw kepada seorang sahabat yang bernama Ma’iz, yang datang sendiri mengakui terus terang kepada Nabi bahwa dia telah bersalah berbuat zina. Dia sendiri yang minta dihukum. Berkali-kali Nabi saw  mencoba meringankan soal ini, sehingga beliau berkata; ‘mungkin baru engkau pegang-pegang saja, mungkin tidak sampai engkau setubuhi, dan sebagainya, tetapi Ma’iz berkata juga terus-terang bahwa dia memang telah berzina, bahwa dia memang telah melanggar larangan Tuhan, dan belumlah dia merasa ringan dari pukulan dan pukulan batin sebelum dia dihukum. Maka atas permintaannya sendirilah dia dirajam, sampai mati.
Kejadian itu pula hal demikian pada dua orang wanita, seorang dari suku Bani Lukham dan seorang lagi dari persukuan Bani Ghamid, datang pula mengaku dihadapan Nabi bahwa mereka telah terlanjur berzina. Seorang di antaranya sedang hamil dari perzinahan itu. Sebagai Ma’iz kedua perempuan itu rupanya merasa tekanan batin yang amat sangat sebelum hukuman itu dijalankan atas diri mereka, sehingga dijalankan pula hukuman rajam itu, hukum tersebut baru dijalankan setelah anaknya lahir dan besar, lepas dari menyusui. Itu pun perempuan itu sendiri juga yang datang melaporkan diri.
Adapun perempuan dan laki-laki yang tidak muhshan, misalnya perempuan yang tidak atau belum bersuami dan laki-laki yang tidak atau belum beristeri, dilakukan hukuman sebagai tersebut dalam ayat tadi, yaitu dipukul cambuk, atau dengan rotan 100 kali, dihadapan khayalak ramai kaum muslimin.
Itulah hukuman duniawi. Adapun dalam perhitungan agama, zina adalah termasuk dosa yang amat besar, dan azab siksa yang akan diterimanya di akhirat sangat besar pula. Adalah tiga macam dosa besar yang diancam oleh siksa yang besar, yaitu pertama mempersekutukan Tuhan Allah dengan yang lain, kedua membunuh manusia, ketiga berbuat zina. Yang pertama menjadi dosa besar karena dia menghancurkan hubungan dengan Tuhan, yang kedua karena menghilangkan keamanan masyarakat, yang ketiga karena mengacaukan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
  1. Zina adalah segala persetubuhan diluar nikah. Asal persetubuhan itu belum atau tidak disahkan dengan nikah, atau tidak dapat disahkan dengan kedua belah pihak atau tidak suka misal pihak yang seorang memaksa atau memperkosa atas pihak lain.
  2. Perempuan dan laki-laki yang tidak muhshan, misalnya perempuan yang tidak atau belum bersuami dan laki-laki yang belum beristri dilakukan hukuman sebagai tersebut dalam ayat, yaitu dipukul cambuk, atau dengan rotan 100 kali, dihadapan khayalak ramai kaum muslim, dan orang atau laki dan perempuan yang terbentang. Orang-orang yang tidak patut berzina, karena hidupnya berbenteng oleh pandangan masyarakat, sehingga pandangan umum sudah menganggap dia tidak patut berbuat demikian. Yaitu keduanya baligh, berakal, lagi merdeka dan laki-lakinya beristri dan perempuannya ada bersuami dihubungkan keberatan dari suaminya atau istrinya yang sah itu. Hukumannya ialah dirajam, yaitu diikat dan dibawa ketengah kumpulan orang ramai, lalu dilempari dengan batu sampai mati.
Saran / Kritik
Penulis sepenuhnya menyadari akan kekurangan makalah kami, dengan penuh kerendahan hati, penulis menanti kritik/saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, Abdul Karim, Abdul Malik. Tafsir Al-Azhar, pustaka Nasional PTE LT Singapura. Jakarta. 1976.

No comments:

Post a Comment